Pandangan Ibnu Arabi Mengenai Isra Mi‘raj Rasulullah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Isra Mi’raj adalah sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad saw. dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha dan kemudian menuju Sidratulmuntaha pada malam hari untuk menerima perintah salat lima waktu.

Secara teologis peristiwa Isra Mi’raj ini diyakini benar adanya. Sebab, ia disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an (al-Isra’ (17): 1), “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” dan beberapa hadis Nabi saw.

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa hadis tentang Isra Mi’rajadalah mutawatir karena diriwayatkan oleh sekitar dua puluh sahabat. Dalam peristiwa ini, sebagian besar ulama sepakat bahwa perjalanan Rasulullah saw. tersebut dengan jasadnya.

Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi, salah satu sufi besar, juga membenarkan bahwa Rasulullah saw. melakukan perjalanan Isra Mi’raj dengan jasad dan ruhnya dalam keadaan sadar (Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, t.t.: 25).

Menurut Wahbah az-Zuhaili, Rasulullah saw. menunggangi Buraq dalam keadaan sadar dengan ruh dan jasadnya, bukan dengan ruhnya saja dan bukan pula dalam keadaan tertidur (bermimpi). Hal ini karena kalimat bi ‘abdihi menunjukkan kepada ruh dan jasad.

Kenyataan ini menandakan bahwa Rasulullah saw. melakukan perjalanan Isra Mi’rajdengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar. Sebab, kalau perjalanan Rasulullah saw. tersebut hanya dengan ruhnya saja, maka Allah akan menyebutnya dengan redaksi bi ruhi ‘abdihi. Pendapat bahwa Rasulullah saw. berjalan dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar juga diperkuat oleh an-Najm (53): 17 (at-Tafsir al-Munir, 2009, VIII: 14 & 16-17).

Di sisi lain, Ibn Katsir menyebutkan salah satu hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. melaksanakan salat berjemaah terlebih dahulu di Baitul Maqdis (masjid Al-Aqsa) sebelum menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Dalam kesempatan itu, beliau menjadi imam dan makmumnya adalah seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2000: 1086).

Peristiwa ini diabadikan secara indah dalam salawat Tarhim, karya Syekh Mahmoud Khalil al-Hussary, seraya menyebutkan bahwa yang bermakmum kepada Nabi Muhammad saw. waktu itu adalah seluruh penghuni langit (wa taqaddamta li ash-shalah fa shalla kullu man fi as-sama’ wa anta al-imam).

Selain itu, para ulama masih berbeda pendapat terkait kapan waktu (tahun, bulan, tanggal, dan harinya) terjadinya peristiwa Isra Mi’rajtersebut. Menurut Muqatil, az-Zuhri, dan ‘Urwah, peristiwa Isra Mi’rajterjadi setahun sebelum hijrah pada bulan Rabiulawal. Al-Hafizh ‘Abd al-Gani menyebutkan terjadi pada malam tanggal 27 bulan Rajab dan al-Harbi menyebutkan terjadi pada malam 27 bulan Rabiulakhir setahun sebelum hijrah.

Sementara Ibn Sa‘ad menyebutkan terjadi sebelum hijrah kurang 18 bulan. Wahbah az-Zuhaili sendiri lebih setuju kepada pendapat setahun sebelum hijrah ke Madinah (at-Tafsir al-Munir, VIII: 13-14 & 18). Adapun kalender Hijriah di Indonesia menetapkan peristiwa Isra’-Mi‘raj pada tanggal 27 Rajab. Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

14 Pendapat Ulama Kapan Isra Mi’raj Terjadi

Imam Al-suyuthi memiliki karya khusus terkait peristiwa Agung yang bernama Isra Mi’raj, dalam karyanya yang berjudul Al Isra wa al Mi’raj, Imam As Suyuti panjang lebar menjelaskan terkait banyaknya pendapat terkait kapan Isra Mi’raj terjadi. 

Dalam persoalan kapan dan waktu Isra Mi’raj terjadi, setidaknya bisa dipetakan bahwasanya perbedaan tersebut itu berada pada dua spektrum, yaitu waktu dan tempat. Berikut adalah perinciannya;

Perbedaan pendapat terkait waktu

Dalam konteks ini banyak sekali pendapat di kalangan para ulama terkait kapan dilangsungkannya peristiwa Isra Mi’raj ini, antara lain:

(1) dilaksanakan sebelum Nabi diutus menjadi nabi (Qaul Syadz).  (2) Isra Mi’raj terjadi setahun sebelum hijrah, ini merupakan pendapatnya Ibnu Mas’ud dan Imam An Nawawi memilih pendapat ini.  (3) Isra Mi’raj terjadi 8 bulan sebelum Nabi hijrah, ini di hikayatkan dari Ibnul jauzi. 

(4) 6 bulan sebelum hijrah,  ini disampaikan oleh Abu Al-Rabi’ bin Sulaiman. (5) 11 bulan sebelum hijrah, ini pendapatnya Ibrahim Al-harabi dan ini dipilih oleh Ibnul Munir. (6) 15 bulan sebelum hijrah, ini pendapatnya Ibnu Faris 

(7) 17 bulan sebelum hijrah, ini pendapatnya Imam As sudi. (8) 18 bulan sebelum hijrah ini pendapatnya Ibnu Abdil bar. (9) 20 bulan sebelum Nabi hijrah. 10) 3 tahun sebelum Nabi hijrah, ini disampaikan oleh Ibnul atsir 

(11). 5 tahun sebelum hijrah ini disampaikan oleh Qodhi ‘Iyadh, dan ini diunggulkan oleh Imam Az Zuhri (12). 5 tahun pasca nabi hijrah (13). 15 bulan pasca nabi hijrah (14). 1 tahun setengah pasca nabi hijrah. 

Pada sisi lain, ulama juga berbeda pendapat tentang bulan terjadi Isra Mi’raj, sebagai berikut;

Pertama, bulan Rabi’ul akhir (pendapat ini diunggulkan oleh Ibnu Al-Munir dan Imam al-Nawawi). Kedua,  Rabiul awal (pendapat ini disampaikan Imam An Nawawi dalam fatwanya).

Ketiga, bulan Rajab (pendapat ini disampaikan Imam Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Raudhah). Keempat, Ramadhan (pendapatnya Imam al-Waqidi), Syawal (pendapatnya Imam al-Mawardi).

Akan tetapi kendati berbeda pendapat, pendapat yang masyhur bulan terjadi Isra Mi’raj terjadi adalah bulan Rajab. Pendapat ini juga yang banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia. [Baca juga: Isra Mikraj dengan Jasad atau Ruh?]

Perbedaan pendapat terkait tempat

Adapun terkait setting atau tempat di mana terjadinya peristiwa Isra Mi’raj, berikut adalah beberapa pendapat terkaitnya; yaitu Mekkah dan Madinah jika ditinjau dari segi latarnya. Adapun secara spesifik, Isra’ Mi’raj dilaksanakan di masjid, Maqam Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim As) dan air Zamzam, Hijr (ismail), rumahnya Nabi SAW rumahnya Umi Hani, rumahnya Sayyidah Khodijah (menurut kitab Al-syifa), dan Rumahnya Abi Thalib (menurut Imam Al waqidi). 

Demikianlah beberapa pendapat terkait kapan dan di mana terjadinya peristiwa Isra Mi’raj, Adapun pendapat yang masyhur adalah bahwasanya Isra Mi’raj ini terjadi pada tanggal 27 rajab di Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa kemudian Mi’raj ke sidratul muntaha. 

Keterangan ini disarikan dari karyanya Imam al-Suyuthi yang berjudul Al-Isra’ wa al-Mi’raj,  halaman 52-54. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Isra Mikraj dengan Jasad atau Ruh?

Salah satu peritiwa penting dalam bulan Rajab ialah Isra Mikraj Nabi Muhammad. Peristiwa luar biasa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam semalam. Adapun yang menjadi persoalan ialah, apakah Isra Mikraj dengan jasad atau ruh Nabi Muhammad saja?

Kita tahu, Allah Swt. telah memilih Nabi Muhammad Saw yang sudah terkenal akan kejujurannya sejak sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Kanjeng Nabi hidup di tengah-tengah kaumnya selama empat puluh tahun sebelum diutus (angkat) Allah sebagai Nabi dan Rasul.

Bahkan, sebelum beliau dibebani amanat membawa risalah kenabian, selama itu pula kaumnya belum pernah mendengar atau menyaksikan dan Nabi berdusta. Dengan prestasi yang luar biasa itu, tak mengherankan jikan Nabi Muhammad Saw diberi gelar oleh kaumnya dengan gelar al-amin, yaitu orang yang terpercaya.

Sebenarnya, jika kita baca dan telaah sejarah kehidupan Nabi (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, beliau mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Bagaimana tidak, beliau ditinggal oleh istrinya tercinta yaitu Siti Khadijah yang setia menemani dan menghiburnya di kala orang lain masih mencemohnya.

Kemudian, beliau ditinggal oleh sang paman, yaitu Abu Thalib yang walaupun kafir tetapi dia sangat melindungi aktivitasnya. Tahun itu disebut dengan amul huzni (tahun kesedihan). Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan intimidasinya kepada Nabi kala itu. Bahkan, sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas pundak Nabi.

Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, tentu saja semakin menambah perasaan Nabi dan semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Hingga akhirnya, Allah Swt. menghibur Nabi dengan memperjalankan beliau sampai kepada langit ketujuh dan menemui Allah Swt.

Peristiwa ini hingga sekarang seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dengan Isra Mi’raj. Yang, pada dasarnya peringatan itu hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah, dalam artian ibadah ritual khusus. Artinya, dalam peringatan itu, terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita teladani.

Syahdan, dalam al-Qur’an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada empat ayat yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj, yaitu QS. Al-Isra’: 1, dan QS. An-Najm: 13-18. Artinya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini, tapi pada konsep, sistem, dan muatannya.

Pada Surat An-Najm: 13-18 itu, menggambarkan bahwa Kanjeng Nabi menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra’ Mi’raj. Sebelumnya, Nabi juga pernah menjumpai malaikat Jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (Al-Alaq: 1-5) dari Allah Swt., yaitu ketika berada di gua Hira.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Swt. kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Pun, peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thaif.

Isra Mikraj dengan Jasad atau Ruh

Masih tentang Isra’ dan Mi’raj. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah satu peristiwa yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia karena penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai kemampuan penalarannya, Isra’ Mi’raj itu sangat tidak rasional dan tidak sesuai dengan pengalaman hidup selama ini.

Sangat mustahil seseorang dapat menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu, hanya dalam waktu kurang dari semalam, pergi dari Makkah ke Madinah dengan mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan menerobos perbatasan langit yang tujuh.

Kendati demikian, para mufassir tidak mempersoalkan apakah Kanjeng Nabi memang Isra’ Mi’raj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah Nabi ber-Isra’ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan.

Satu golongan mengatakan bahwa Kanjeng Nabi Isra’ hanya dengan ruhnya saja, dan golongan lain mengatakan Isra’ dengan jasadnya.

Menarik, Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Diantara riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat adalah, pertama mengatakan bahwa Nabi Isra’ dengan jasadnya. Kedua, dengan jasad dan ruhnya. Ketiga, dengan ruhnya saja dan tanpa jasad.

Kiai Moenawar Chalil dalam bukunya Peristiwa Isra’ dan Mi’raj, telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini. Ia menulis:

“Tentang bagaimana terjadinya Isra dan Mi’raj yang dilakukan Nabi Saw., yakni apakah dengan tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya dengan tubuh halus (ruhani) nya saja.”

Rupanya, para ulama, para cerdik-pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga sekarang pun masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni: apakah Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan ruh serta jasad?Apakah dilakukan dengan ruh saja? Apakah dilakukan dengan jalan mimpi?

Atau apakah dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak dengan ruhani, ataukah Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan wahdatul wujud?. Tapi yang jelas, menurut penulis Isra’ dan Mi’raj itu nyata adanya.

Terlepas dari itu semua, yang penting dicatat adalah bahwa ternyata tidak ada perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra’ dan Mi’raj. Misalnya, dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-Ulum, yang hanya menjelasakan Isra’ dan Mi’raj secara tekstual dan kemudian mengutip riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini.

Demikian juga dengan penafsiran al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang setelah menjelaskan kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para tabi’in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat tersebut.

Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi sebagai tafsir bi al-Ma’tsur ini tidak bisa menjenalisir bahwa tafsir bi al-Ma’tsur demikian seluruhnya.

Demikian penjelasan tentang apakah Isra Mikraj dengan jasad atau ruh Nabi Muhammad saja? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Isra Mikraj Antara Jasad atau Ruh, Simak Perdebatan Antara Aisyah dan Sahabat Lain

Dalam bulan Rajab terdapat peristiwa besar yang di luar nalar, sebagai bukti kemaha kuasaan Allah Swt. yang mana Allah memerintahkan Rasulullah Saw untuk melakukan perjalanan spiritual dalam rangka mengemban amanah yang besar. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ mikraj.

Karena peristiwa ini menembus dinding logika manusia, mungkin saja terlintas dalam benak, apa bisa seorang hamba melakukan perjalanan dalam durasi singkat menuju ke radius jarak yang sangat jauh, yaitu dari Mekkah ke Palestina, kemudian disambung ke langit ke tujuh.

Meski di luar nalar, kita harus percaya, sebab tuhan itu punya kuasa. Semua perkara yang tidak mungkin, dalam kuasa-Nya pasti menjadi mungkin, termasuk peristiwa yang dialami Nabi Saw ini. 

Sebagai seorang muslim yang taat, pasti kita percaya terhadap peristiwa ini. Namun ketika dipikirkan, mungkin terlintas dalam benak, Rasulullah ini Isra Mi’raj dengan jasadnya sahaja atau dengan ruhnya juga? 

Mengenai permasalahan ini, terjad khilaf di antara kibar as-sahabat. Menjadi 2 poros besar, Sayyidah Aisyah R.A menganggap peristiwa Isra mi’raj ini dialami ruhnya Nabi saja sebagaimana redaksi berikut:

وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَقُولُ مَا فُقِدَ جَسَدُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنْ اللَّهَ أَسْرَى بِرُوحِهِ. وَالْأَكْثَرُونَ عَلَى أنه أسرى بجسده وروحه فِي الْيَقَظَةِ وَتَوَاتَرَتِ الْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةُ عَلَى ذَلِكَ.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah R.A, beliau berkata “Rasulullah isra’ itu dengan ruhnya, bukan dengan jasadnya”. Namun menurut matoritas, Rasulullah isra’ itu dengan ruh dan jasadnya juga (dalam keadaan terjaga dan sadar). Sungguh telah banyak hadis sahih yang menjelaskan demikian. (Tafsir Al-Baghawi, jilid III, halaman 105). 

Hadis dari sayyidah Aisyah ini ternyata bermasalah dalam segi transmisinya, Alawi As-segaf menyatakan bahwa hadis ini berstatuskan daif, sebab Ibnu ishaq meriwayatkannya dengan sanad yang munqati’ (terputus sampai taraf sahabat). (Takhrij ahadits wa atsar kitab fi dzilal al-qur’an https://al-maktaba.org/book/2615/297#p1 halaman 299) 

Mengenai hadis yang meriwayatkan peristiwa isra’ mi’raj, Ibnu Hajar al-Haitami  dalam kitab Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, juz VIII halaman 609, selaku komentator sahih bukhari yang paling masyhur mengatakan:

وَظَاهِرُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي الْإِسْرَاءِ تَأْبَى الْحَمْلَ عَلَى ذَلِكَ بَلْ أُسْرِيَ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ وَعُرِجَ بِهِمَا حَقِيقَةً فِي الْيَقَظَةِ لَا مَنَامًا وَلَا اسْتِغْرَاقًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Secara leksikal, hadis yang meriwayatkan peristiwa isra’ itu tidak bisa diarahkan terhadap pemahaman bahwa yang isra’ itu ruhnya nabi bukan jasadnya, bahkan yang isra’ adalah kedua-duanya. 

Mengapa bisa demikian? Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-qur’an al-adzim, halaman 41 juz 5 mengatakan;

وَأَيْضًا فَإِنَّ العبد عبارة عن مجموع الروح والجسد

Sebab ketika Allah menceritakan peristiwa isra’  mi’raj dalam surat al-isra’ ayat 1, Allah itu menggunakan redaksi abd, yang mana kata tersebut merupakan representasi dari ruh dan jasad.

Jadi menurut pendapat yang valid, dikatakan bahwasanya yang Isra Mikraj itu adalah ruh dan jasadnya Nabi Saw. Adapun mengenai riwayatnya sayyidah Aisyah, tidak bisa dijadikan dalil, sebab transmisinya itu bermasalah. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Nabi Muhammad Isra` Mi’raj dengan Ruh dan Jasadnya?

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang menunjukkan tanda kekuasaan Allah. Saat itu, peristiwa ini sulit sekali dipercaya karena dengan teknologi yang belum modern seperti saat ini, perjalanan ke Masjidil Aqsha di Palestina tidak mungkin hanya dilakukan semalam. Kemudian di kalangan setelahnya, terjadi perdebatan apakah Nabi Muhammad melakukan Isra` dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya?

Peristiwa ini disepakati oleh para ulama karena merujuk pada surat al-Isra’ ayat 1,

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Artinya: Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menampilkan dua permasalahan yang menjadi perdebatan para ulama. Pertama, apakah Nabi Muhammad menjalani Isra` Mi’raj dalam keadaan terjaga atau tidur? Kedua, apakah Nabi Muhammad Isra` Mi’raj dengan ruh dan jasadnya atau ruhnya saja?

Permasalahan pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa Isra` dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad adalah dalam keadaan terjaga bukan mimpi. Sedangkan pendapat Hasan al-Bashri berbeda dari pendapat mayoritas yaitu, Nabi mengalami peristiwa ini dalam keadaan terlelap berdasarkan ayat 60 surat al-Isra`,

 وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ

”Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an.

Tapi pendapat ini tidak diunggulkan dibandingkan pendapat mayoritas.

Adapun permasalahan kedua yaitu, apakah Nabi melaksanakan Isra` dan Mi’raj dalam keadaan terjaga atau terlelap, mayoritas ulama berpendapat bahwa saat itu Nabi melaksanakannya beserta ruh dan jasadnya. Mereka berhujjah dengan ayat 1 surat al-Isra` yang menghadirkan kalimat tasbih sebagai dalil bahwa peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa dan menakjubkan. Kalau peristiwa itu terjadi saat Nabi terlelap, tentu bukanlah merupakan kejadian luar biasa.

Akan tetapi, ada dua sahabat yang berbeda pendapat dari pendapat mayoritas ulama yaitu, Muawiyah dan Aisyah. Keduanya meyakini bahwa peristiwa Isra` Mi’raj yang dialami oleh Nabi adalah ruhnya saja tanpa jasadnya. Pendapat keduanya dibantah oleh fakta bahwa saat peristiwa itu terjadi, Muawiyah belum masuk Islam dan Aisyah belum menjadi istri Nabi bahkan anak-anak.

Begitu juga dengan disebutkannya ayat 1 surat al-Isra dengan bunyi, Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) bukan dengan narasi memperjalankan ruh hamba-Nya. Ungkapan “Abdihi” pada ayat itu mencakup ruh dan jasad Nabi. Begitulah pendapat mayoritas ulama untuk membantah pendapat Muawiyah dan Aisyah.

Begitu juga dengan adanya buroq sebagai kendaraan yang dinaiki oleh Nabi saat peristiwa Mi’raj menunjukkan bahwa Nabi menjalaninya dengan ruh dan jasadnya.

Syekh Hafiz al-Hakami (W 1958 M) dalam kitabnya, Ma’arij al-Qabul menyebutkan kalau Nabi mengalami peristiwa Isra` Mi’raj dengan ruhnya saja atau dalam mimpi maka itu tidak disebut mukjizat dan tidak akan kaum Quraisy menafikan peristiwa ini apalagi sampai ada yang murtad dari kalangan muslim pada masa itu. Karena hal itu akan dianggap peristiwa yang biasa saja.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini lebih mengunggulkan peristiwa ini terjadi saat Nabi dalam keadaan terjaga dan hadir bersama ruh dan jasadnya. Sedangkan pendapat sebaliknya tidak diunggulkan dan dianggap lemah. Wallahu a’lam.

Rahasia di Balik Kata Mahasuci Sebagai Pembuka Ayat 1 Surat Al Isra

Surat Al Isra memuat tentang peristiwa Isra Miraj Rasulullah SAW

Perjalanan Isra dan Miraj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diabadikan dalam surat Al Isra. Surat ini memiliki 111 ayat dan ayat pertama memuji Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya Nabi Muhammad SAW.  

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Mahasuci Dia, yang telah memperjalankan hambanya di malam hari dari Masjiidil Haram ke Masjid Al Aqsha yang kami berkati sekelilingnya, karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS Al Isra ayat 1) 

Prof Dr Hamka mengatakan, ayat ini menegaskan bahwa Tuhan Allah  SWT memang telah mengisrakan, memperjalankan di waktu malam, akan hamba-Nya Muhammad SAW dari Masjidil-Haram, yakni Makkah Al-Mukarramah, ke Masjid Al Aqsha, di Palestina. Al Aqsha, artinya yang jauh.  

“Perjalanan biasa dengan kaki atau unta dari Makkah ke Palestina itu ialah 40 hari,” kata Prof Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar. 

Di dalam ayat ini sudah bertemu susunan kata yang menunjukkan kesungguhan hal ini terjadi. Pertama dimulai dengan mengemukakan kemahasucian Allah SWT bahwasanya apa yang diperbuatnya Mahatinggi dari kekuatan alam.  

Mahasuci Dia, yang membelah laut untuk Musa, menghamilkan Maryam dan melahirkan Isa tidak karena persetubuhan dengan laki-laki. Sekarang Mahasuci Dia, yang memperjalankan Muhammad SAW ke masjid jauh di malam hari.  

Kata penegas yang ketiga di ayat ini ialah menyebut Muhammad SAW hamba-Nya. Hamba-Nya yang boleh diperbuat-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka jika dibaca ayat ini dengan renungan mendalam, memang jarang biasa terjadi.  

Tetapi tidak mustahil bagi Allah SWT Yang Mahasuci dan Maha-Agung, terhadap hamba-Nya yang telah dipilihNya.

Dalam ayat pun disebut bahwa Masjid Al Aqsha itu adalah tempat yang telah diberkati sekelilingnya. Karena di situlah nabi-nabi dan Rasul-rasul, berpuluh banyaknya, sejak Musa sampai Dawud dan Sulaiman alaihimussalam telah menyampaikan wahyu Tuhan.  

Ke situlah Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu dibawa, lalu dipertemukan dengan arwah mereka itu sebelum beliau dimirajkan, diangkatkan ke langit.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Isra’ dan Mi’raj Mukjizat Besar dan Terdapat Banyak Pelajaran Hadapi Krisis

Malam 27 Rajab biasa diperingati umat Islam sebagai malam Isra’ dan Mi’raj. Dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj ini, Nabi Muhammad SAW mendapat perintah salat lima waktu dari Allah SAW. Selain itu, banyak hal ghaib yang terjadi selama berada di Sidratul Muntaha, seperti surga, neraka, malaikat dan hal lainnya yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Penasihat ilmiah untuk Mufti Mesir, Syekh Dr Majdi Asyur menekankan, perjalanan Isra’ Mi’raj sungguh merupakan mukjizat yang besar. Di dalamnya terdapat pelajaran yang dapat dipetik dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan sekarang ini, terutama menghadapi pandemi Covid-19.

“Bahwa di balik setiap krisis atau kesulitan, harus ada yang kita perjuangkan dengan ketekunan dan kerja keras,” ujar Syekh Asyur seperti dilansir Elbalad dan dikutip dari laman republika.co.id, Jumat (18/2).

Syekh Asyur juga menjelaskan, di malam Isra’ Mi’raj nanti, yaitu di malam 27 Rajab, umat Muslim perlu memperbanyak ibadah. Di antaranya membaca Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW serta menyelami kembali perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam.

“Termasuk juga sholat dua rakaat di malam harinya. Karena salat adalah perjalanan spiritual di mana manusia bisa melintasi jarak sehingga menjadi dekat antara dirinya dan Allah SWT,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan, di dalam salat, seorang Muslim sedang berada di dalam inti kedekatan dan cinta Ilahi yang sungguh agung. Dengan salat, seorang hamba merendahkan hatinya dan mengabdi kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Dalam beberapa riwayat hadits, Rasulullah SAW mengisahkan tentang perjalanan Isra’ Mir’aj. Salah satunya, berkisah tentang neraka yang sebagian besar penghuninya adalah perempuan.

Dari Asma, Rasulullah SAW bersabda, “Surga berada sangat dekat denganku sehingga jika aku mau, aku bisa memetik beberapa buahnya. Neraka juga dekat sekali denganku sehingga aku berkata, ‘Ya Allah, bahkan aku masih bersama mereka?’

Aku melihat seorang wanita yang sedang dicakar seekor kucing, dan aku bertanya, ‘Mengapa ini?’ Mereka memberitahuku, ‘Dia (wanita itu) menyekap kucing tersebut sampai mati kelaparan. Dia tidak memberinya makan, dan tidak melepaskannya supaya kucing itu bisa memakan tikus-tikus di bumi.” (HR Bukhari)

ISLAM KAFFAH

Nabi Muhammad Didampingi Malaikat Ini saat Isra Miraj, Siapa Dia?

Isra Miraj merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat muslim yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak sendirian, saat peristiwa Isra Miraj Nabi, Muhammad SAW didampingi oleh malaikat yang menemaninya dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Siapakah dia?

Menurut catatan hadits-hadits Rasulullah SAW, diketahui malaikat yang mendampingi beliau saat Isra Miraj adalah malaikat Jibril. Berikut keterangan yang diungkap dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum karya Furqon Syarief Hidayatullah.

“Menurut sunnah nabi, perjalanan malam itu (Isra Miraj) berlangsung sangat cepat, ditemani Malaikat Jibril dengan kendaraan buraq (barqun) artinya kilat,” tulis keterangan buku terbitan IPB Press tersebut.


Perjalanan Isra Miraj tersebut sebetulnya menjelaskan dua kategori perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW. Kata Isra menjelaskan perjalanan yang menembus ruang sehingga Rasulullah bisa menempuh jarak Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu singkat.

Di sisi lain, perjalanan Miraj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha, tempat diterimanya perintah salat. Perjalanan inilah saat Rasulullah SAW didampingi oleh Malaikat Jibril untuk menghadap Allah SWT.

Bersama Malaikat Jibril, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke langit dengan menunggangi buraq. Buraq tersebut berdasarkan keterangan hadits adalah sejenis hewan berwarna putih yang memiliki sayap di kedua pahanya. Ukuran tubuhnya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil dari bighal atau kuda.

Perjalanan Rasulullah SAW menghadap Allah SWT tersebut harus melalui langit yang terdiri dari tujuh lapis. Di tiap lapisan langit inilah, Malaikat Jibril memperkenalkan Rasulullah SAW pada para nabi yang ada di sana.

Di langit pertama, beliau bertemu dengan Nabi Adam AS. Kemudian, di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa AS dan pada langit keenam dikenalkan dengan Nabi Musa AS. Hingga terakhir di langit ketujuh, Rasulullah SAW dan Malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Ibrahim AS.

Setelah menghadap Allah SWT dan menerima perintah salat 50 waktu, Rasulullah SAW kemudian turun kembali dan sampai ke langit keenam bertemu dengan Nabi Musa AS. Pada momen inilah Nabi Musa menyarankan keringanan jumlah salat kepada beliau.

Hingga sampai saat ini, pensyariatan salat yang berlaku bagi umat muslim adalah salat 5 waktu dalam sehari. Kisah Isra Miraj https://www.detik.com/tag/isra-miraj ini termaktub dalam hadits yang berbunyi sebagai berikut,

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ، لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ”. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: رَاجِعْ رَبَّكَ. فَقُلْتُ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي

Artinya: “Lima waktu itu setara dengan lima puluh waktu. Tak akan lagi berubah keputusanKu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku kembali bertemu dengan Musa. Ia menyarankan, ‘Kembalilah menemui Rabbmu’. Kujawab, ‘Aku malu pada Rabbku’.” (HR Bukhari).

Malaikat Jibril sebagai penghubung dalam membuka pintu langit

Kisah perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang didampingi oleh Malaikat Jibril terbukti dalam hadits yang dikisahkan oleh Hamad ibn Salamah dari Tsabit. Anas RA kemudian menarasikan hadits berikut yang dinukil dari buku Isra Miraj karya Ibnu Hajar Al Asqalani dan Jalaluddin As Suyuti.

“Dibawakan kepadaku Buraq , sejenis hewan berwarna putih, tubuhnya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal, yang langkah kakinya sejauh matanya memandang. Aku pun mengendarainya sampai tiba di Baitul Maqdis. Buraq ini kutambatkan dengan tali yang digunakan oleh para nabi (untuk menambatkan hewan tunggakan mereka).

Kemudian, aku masuk Masjidil Aqsa dan kudirikan sholat dua rakaat di sana. Setelah aku keluar, Malaikat Jibril A.S membawakan ke hadapanku segelas arak dan segelas susu. Aku lantas memilih susu, Jibril pun berkata, ‘Engaku telah memilih fitrah.’

Selanjutnya, kami dinaikkan ke langit terdekat (pertama). Jibril lalu meminta agar pintunya dibukakan. Dia pun ditanya oleh penjaga pintunya, ‘Siapa kamu?’

Jibril menjawab, ‘Aku Jibril.’
Jibril ditanya lagi, ‘Siapa yang bersamamu?’
Dia menjawab, “Muhammad.’
Penjaga pintu langit itu kembali bertanya, ‘Apakah dia diutus (untuk naik menghadap Allah)?’
Jibril menjawab ‘Dia memang diutus (untuk naik menghadap Allah).’

Maka, pintunya dibukakan untuk kami dan aku bertemu dengan Nabi Adam AS. Dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.”

Hal serupa juga terjadi di tiap-tiap lapisan langit setelahnya. Dalam artian, Malaikat Jibril bertugas untuk membantu Nabi Muhammad SAW dalam membukakan pintu tiap lapisan langit saat perjalanan Isra Miraj https://www.detik.com/tag/isra-miraj menghadap Allah SWT.

Wallahu ‘alam.

Baca artikel detikedu, “Nabi Muhammad Didampingi Malaikat Ini saat Isra Miraj, Siapa Dia?” selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5945152/nabi-muhammad-didampingi-malaikat-ini-saat-isra-miraj-siapa-dia.

4 Pelajaran yang Dapat Diambil dari Isra Miraj

Muslim dapat mengambil empat pelajaran dari Isra Miraj

Setiap bulan Rajab, umat Islam memperingati Isra Miraj atau perjalanan Nabi Muhammad yang ditempuh dalam waktu semalaman. Perjalanan tersebut dimulai dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kemudian lanjut dari bumi menuju langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Dari perjalanan Rasulullah, para Muslim dapat mengambil empat pelajaran yang dilansir About Islam Selasa (9/3)

1. Melalui tes sulit
Di awal tahun kenabian, Rasulullah mengalami kerugian yang sangat besar. Dia kehilangan paman tercintanya, Abu Thalib yang merupakan pelindung utama umat Islam. Selain itu, dia juga kehilangan sang istri, Khadijah di tahun yang sama. Tragedi yang menimpa Rasulullah tak hanya berhenti di sana. Harapan Nabi hancur setelah dia dilempari batu di jalanan Ta’if.

Namun, dari pengalaman tersebut, sesuai janji Allah dengan kesulitan datang kemudahan. Kemudahan datang dalam bentuk perjalanan ajaib yang ditemani oleh malaikat Jibril ke tujuh langit tidak lama setelah Tahun Kesedihan.

2. Motivasi dari rekan
Selama perjalanan, Rasulullah bertemu dengan nabi lain, yaitu Adam, Isa, Yusuf, Musa, dan Ibrahim. Dengan bertemu mereka, Rasulullah mendapat dukungan dan motivasi.

Sebagaimana Nabi dapat bersandar pada mereka yang memiliki misi yang sama untuk mendapatkan dukungan, kita dapat melakukan hal yang sama. Dikelilingi dengan rekan dan memiliki hubungan sehat dan suportif merupakan hal penting. Persahabatan bisa memperkuat iman Anda.

3. Shalat adalah obat
Nabi mengalami banyak hal dalam perjalanannya. Dia bertemu para nabi dan malaikat, melihat taman Jannah dan api Jahannam. Namun, setelah Isra Miraj, dia membawa satu hadiah, yakni perintah shalat.

Shalat adalah obat dan perwujudan terakhir dari perdamaian. Jadi, ketika Anda memasuki Tahun Duka Anda baik pendek atau panjang, perlakukan shalat seperti obat.

Kita seharusnya tidak melakukan shalat wajib. Shalat tengah malam pun atau tahajud perlu dilakukan. Tengah malam adalah waktu yang memiliki keberkahan luar biasa. Shalat tahajud kita lakukan untuk menyenangkan Allah.

4. Setia pada iman Anda
Ketika Rasulullah kembali ke Makkah dan menggambarkan perjalanannya, kaum Quraisy mengejeknya tanpa henti. Mereka memberitahu Abu Bakar tentang perjalanan Nabi dengan maksud untuk menggoyahkan keyakinannya.

Abu Bakar berkata, “Apa yang begitu mengejutkan? Saya percaya padanya ketika dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tidak bisa dimengerti. Dia bilang dia menerima wahyu dari Tuhan dan saya percaya dia.”

Dengan keyakinan, Allah memberi Anda kekuatan untuk mengatasi kesulitan. Keyakinan akan menenangkan kecemasan kita. Itu menanamkan dalam diri untuk melakukan tindakan yang menyenangkan Allah seperti berbicara kebenaran, berdoa, beribadah, dan mengenakan pakaian sopan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Yakin Peristiwa Isra’ Mi’raj Terjadi di Bulan Rajab?

Pada hari ini kita sudah menginjakkan kaki di bulan Rajab. Bulan ini merupakan bagian dari asyhurul hurum yang di dalamnya ada sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Isra’ dan Mi’raj. Sudah masyhur kita ketahui Isra’ dan Mi’raj umumnya diperingati pada tanggal 27 Rajab, karena populernya Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal tersebut. Bahkan negara kita ini secara khusus menyediakan libur Isra’ dan Mi’raj secara nasional setiap tahun pada tanggal Masehi yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bisa dipastikan jika peristiwa besar dalam sejarah Islam tersebut memang benar-benar terjadi pada tanggal 27 Rajab? Ulama masih berbeda pendapat apakah peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi benar terjadi pada bulan ini. Mari kita simak ulasan berikut.

Syaikh Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitab fenomenalnya Rakhiqil Makhtum menyebutkan enam macam pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Oleh karena itu, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Hal ini didukung oleh Al-Aini dalam karyanya Umdatul Qari dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan beberapa tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kedua pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi.

Kedua, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kelima pasca diutusnya Nabi. Pendapat ini diamini oleh Imam Nawawi dan Qurthuby.

Ketiga, pendapat yang dipilih oleh Al-Manshur Faury, yakni pendapat yang lumrah dan populer di kalangan masyarakat, 27 Rajab tahun kesepuluh pasca diutusnya Nabi.

Keempat, pendapat Imam Baihaqi yang menyitir pendapat Az-Zuhri, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada Rabi’ul Awal tahun ketiga belas pasca diutusnya Nabi, yakni satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah.

Kelima, menurut pendapat yang dikemukakan oleh As-Sadi, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada sembilan belas bulan sebelum peristiwa Hijrah, yakni bertepatan dengan bulan Dzul Qa’dah.

Keenam, menurut Sayyid Al-Harby, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Ketujuh, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua belas pasca kenabian, yakni enam belas bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Kedelapan, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Muharram 13 tahun pasca kenabian, yaitu bertepatan dengan satu tahun dua bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Selain beberapa pendapat di atas, ada juga pendapat yang sangat lemah, yaitu terjadinya Isra’ dan Mi’raj sebelum Rasulullah diutus dan diangkat sebagai Nabi.

Hal ini dibantah oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj-nya. Imam Nawawi menuturkan bahwa pada malam Isra’ dan Mi’raj tersebut Nabi diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Dan tidak mungkin hal itu terjadi jika Nabi belum mendapatkan wahyu. Hal ini juga dibuktikan dengan pendapat Ibnu Hisyam dalam karyanya Tarikh Ibnu Hisyam bahwa pada saat terjadinya Isra’ dan Mi’raj, Islam sudah tersebar di Kota Mekkah.

Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada hari Jumat pertama bulan Rajab. Karena pada malam itu merupakan malam renungan atau malam kesedihan di mana Nabi merasa sedih karena ditinggalkan oleh paman dan istri tercintanya, Sayyidah Khadijah. Namun menurut Al-Aini, pendapat ini tidak ada dasar sumbernya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, manakah yang paling benar atau minimal mendekati benar? Secara sharih (jelas) memang belum bisa disimpulkan pendapat mana yang paling benar. Namun, semua pendapat tersebut berlabuh kepada dua hal, yakni Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan ini dipengaruhi gaya perhitungan yang berbeda oleh masing-masing pendapat.

Masing-masing dari pendapat diatas ada yang mendasarkan pada sebuah kejadian, seperti sudah tersebarnya Islam di Mekkah dan lain sebagainya. Ada pula yang mengacu pada jumlah bulan pasca diutusnya nabi maupun sebelum hijrahnya Nabi. Sehingga wajar jika menimbulkan banyak pendapat. Kapan seharusnya kita memperingati Isra’ dan Mi’raj?

Yang terpenting dan paling inti pada momen peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah semangatnya, yaitu semangat untuk selalu mengingat usaha dan jerih payah Nabi Muhammad untuk umatnya. Lebih-lebih dalam hal bilangan shalat fardhu. Serta kisah-kisah pertemuan nabi dengan berbagai kejadian yang mengiringi Isra’ dan Mi’raj. Karena yang paling penting adalah belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan muhasabah (introspeksi diri) agar menjadi umat Nabi Muhammad yang taat terhadap semua tuntunan-tuntunannya.

Wallahua’lam Bis Shawab.

BINCANG MUSLIMAH