Imam Bukhari menulis Kitab Shahih dan mampu mengumpulkan hadits berjumlah 600 ribu dan dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data
DALAM sebuah kontemplasi ringan, penulis pernah berpikir: mengapa karya tulis ulama zaman dahulu bisa sedemikian awet eksistensi dan manfaatnya hingga di era digital seperti ini?
Meminjam istilah dunia perbukuan zaman sekarang, karya para ulama boleh dibilang bestseller berabad-abad dan lintas generasi.
Padahal, mereka rata-rata menulis secara manual (tidak secanggih sekarang yang banyak mesin percetakan). Menariknya, dengan alat ala kadarnya, tidak menghalangi mereka untuk produktif dalam mengeluarkan karya tulis.
Sebagai contoh, siapa yang tidak kenal ulama besar sekelas Ibnu Jarir At-Thabari?
Dalam catatan sejarah, karangannya berjumlah 358 ribu lembar. Bila dikalkulasikan, dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar (Abdu al-Fattah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).
Belum lagi, ulama sekaliber Imam Ibnu Jauzi yang meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku; dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Setelah membaca biografi Imam Bukhari dan beberapa ulama lain, lama-lama rasa penasaran penulis mulai terpecahkan. Kebanyakan umat Islam tentu tidak asing dengan figur seperti Imam Bukhari yang dikenal melalui Kitab Shahih-nya. Sebuah kitab hadits monumental yang disepakati oleh para ulama sebagai kitab hadits
paling sahih sedunia.
Banyak yang mengenal magnum opusnya ini, namun, tahukah mereka bagaimana proses penulisan ulama hadits yang levelnya disebut Amîr al-Mu`minîn fî al-Hadîts ini?
Imam Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhir wa al-A’lâm (1413:
I/74) mencatat dengan baik proses penulisan hadits Imam Bukhari. Kitab yang berjudul lengkap al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi ini ditulis berawal dari mimpi bertemu nabi.
Pada waktu itu, Bukhari seakan sedang membawa kipas untuk melindungi nabi dari segenap gangguan agar nabi bisa tidur nyenyak.
Ketika ditanyakan kepada ulama mengenai takwil mimpinya, maknanya: Bukhari menjadi pembela Rasulullah. Karenanya, dirinya perlu menorehkan karya tulis untuk menjaga hadits-hadits nabi dari riwayat-riwayat dusta.
Dari sini, yang bisa dipelajari dari Bukhari adalah motif luhur sebelum menulis dan tau benar kualitas konten yang akan ditulis. Beliau menulis bukan sekadar menulis, tetapi memiliki niat agung berupa membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah catatan berharga bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis.
Selanjutnya, masih menurut Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm al-Nubalâ (1405: XII/402), dikisahkan bahwa Imam Bukhari menulis kitab Shahih-nya, diseleksi secara ketat dari hadits sahih yang berjumlah sekitar enam ratus ribu. Sungguh fantastis.
Dari jumlah 600 ribu itu dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Bisa dibayangkan betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data. Kalau dibahasakan dalam istilah sekarang barangkali: menulis dengan proses edit yang ketat dan diperkaya dengan data.
Lebih dari itu, ada yang cukup mencengangkan dari Imam Bukhari sebelum memulai menulis kitab. Suatu saat Al-Firabry pernah diberitahu Imam Bukhari tentang proses menulis kitab monumentalnya, bahwa setiap kali akan menulis satu hadits, beliau
mandi dan melakukan shalat sunnah (istikharah) dua rakaat (Imam Adz-Dzahabi, 1405: XII/402).
Anda bisa membayangkan berapa banyak dan berapa lama beliau merampungkan kitab ini kalau hadits yang di dalamnya sekitar 7563.
Dari sini para pembaca bisa belajar bahwa yang namanya menulis itu bukan sekadar tulisan, tapi dilatari oleh spirit ibadah dam ada ruhnya. Dalam menulis, Imam Bukhari selalu melibatkan Allah Subhanahu Wata’ala, tidak melulu mengandalkan kecerdasan semata.
Dalam sejarah, bukan hanya Bukhari yang mengamalkan ini. Misalkan: Imam An-Nawawi, sebelum menulis karya monumental Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau melakukan shalat istikharah terlebih dahulu.
Demikian juga Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitabnya yang berjudul al-Muhalla bi al-Âtsâr. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, tak lupa shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis syarah dari kitab Ihyâ ‘Ulum al-Dîn karya Bukhari (Muhammad Abu Ayyas, 2008: 73-77)
Kemudian, yang menjadi pertanyaan: apa Imam Bukhari mengerjakan karya besar ini tanpa jasa guru? Imam Ibnu Al-Jauzi dalam kitab al-Muntadham fî Târikh al-Mulûk wa al-Umam (1412: XII/115) menjelaskan bahwa ulama ahli hadits asal Bukhara ini
menulis hadits berasal dari seribu syekh atau guru.
Bayangkan untuk menulis hadits gurunya berjumlah seribu. Pelajaran yang bisa dipetik di sini, menulis itu butuh bimbingan guru.
Selanjutnya, yang tidak kalah menarik, Kitab Shahih ini ditulis dalam jangka waktu enam belas tahun. Imam Bukhari pun menjadikan kitab ini sebagai hujjah (bukti) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala (Abu Muhammad Al-Yâfi’i, Mirâh al-Jinân wa ‘Ibrah al-Yaqdhân, II/125). Artinya, untuk mendapatkan karya tulis
terbaik, bukan yang penting asal jadi, tapi benar-benar melalui keseriusan, kesabaran, dan kualitas. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kalau kita mau panen jagung, mungkin butuh waktu dua hingga tiga bulan. Tapi, kalau mau panen pohon jati, bisa berpuluh tahun. Harganya pun jelas lebih mahal jati.
Akhirnya, dari Imam Bukhari para pembaca bisa belajar bahwa jika ingin menorehkan karya tulis agung, paling tidak ada lima poin yang perlu diperhatikan:
Pertama, memiliki niat dan motif luhur dalam menulis serta mengerti dengan baik kualitas konten yang akan ditulis.
Kedua, selektif dan kaya data. Ketiga, menanamkan kesadaran internal bahwa menulis adalah ibadah, karena itu akan dipertanggung jawabkan, dan diawasi Allah Subhanahu
Wata’ala. Bukan sekedar karya untuk gagah-gagahan.
Keempat, bimbingan seorang guru (khususnya yang ibadah dan akhlaqnya mulia).
Kelima, karya berkualitas bukan asal jadi, tapi butuh kesabaran, ketelatenan dan waktu yang tidak sebentar.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita menjadi penulis atau wartawan dengan bimbingan wahyu dan niat karena Allah ta’ala atau hanya sekedar gagah-gagahan agar dipuji publik?
Mungkin inilah bedanya karya kita dengan karya para ulama. Rata-rata karya masyarakat umum hanya bertahan dan dikenang satu-dua tahun. Sementara karya para ulama itu tak lekang oleh waktu, bahkan dikaji jutaan orang selama berabad-abad.
Sementara dari kitabnya, mampu melahirkan ulama-ulama dan cendekiawan yang berakhlaq. Wallahua’lam. */Mahmud Budi Setiawan