Keutamaan Membaca Tasbih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

laa ilaaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ’ala kulli syai-in qodiir

[Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu]

dalam sehari sebanyak 100 kali;
• maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan),
• dicatat baginya 100 kebaikan,
• dihapus darinya 100 kejelekan,
• dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya,
• serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

Jadilah Penulis Seperti Imam Bukhari

Imam Bukhari menulis Kitab Shahih dan mampu mengumpulkan hadits berjumlah 600 ribu dan dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data

 

 

DALAM sebuah kontemplasi ringan, penulis pernah berpikir: mengapa karya tulis  ulama zaman dahulu bisa sedemikian awet eksistensi dan manfaatnya hingga di era digital seperti ini?

Meminjam istilah dunia perbukuan zaman sekarang, karya para ulama boleh dibilang bestseller berabad-abad dan lintas generasi.

Padahal, mereka rata-rata menulis secara manual (tidak secanggih sekarang yang banyak mesin percetakan). Menariknya, dengan alat ala kadarnya, tidak menghalangi mereka untuk produktif dalam mengeluarkan karya tulis.

Sebagai contoh, siapa yang tidak kenal ulama besar sekelas Ibnu Jarir At-Thabari?
Dalam catatan sejarah, karangannya berjumlah 358 ribu lembar. Bila dikalkulasikan,  dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar (Abdu al-Fattah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).

Belum lagi, ulama sekaliber Imam Ibnu Jauzi yang meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku; dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Setelah membaca biografi Imam Bukhari dan beberapa ulama lain, lama-lama rasa penasaran penulis mulai terpecahkan. Kebanyakan umat Islam tentu tidak asing dengan figur seperti Imam Bukhari yang dikenal melalui Kitab Shahih-nya. Sebuah kitab hadits monumental yang disepakati oleh para ulama sebagai kitab hadits
paling sahih sedunia.

Banyak yang mengenal magnum opusnya ini, namun, tahukah mereka bagaimana proses  penulisan ulama hadits yang levelnya disebut Amîr al-Mu`minîn fî al-Hadîts ini?

Imam Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhir wa al-A’lâm (1413:
I/74) mencatat dengan baik proses penulisan hadits Imam Bukhari. Kitab yang berjudul lengkap al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi ini ditulis berawal dari mimpi bertemu nabi.

Pada waktu itu, Bukhari seakan sedang membawa kipas untuk melindungi nabi dari segenap gangguan agar nabi bisa tidur nyenyak.

 

Ketika ditanyakan kepada ulama mengenai takwil mimpinya, maknanya: Bukhari menjadi pembela Rasulullah. Karenanya, dirinya perlu menorehkan karya tulis untuk menjaga hadits-hadits nabi dari riwayat-riwayat dusta.

Dari sini, yang bisa dipelajari dari Bukhari adalah motif luhur sebelum menulis dan tau benar kualitas konten yang akan ditulis. Beliau menulis bukan sekadar menulis, tetapi memiliki niat agung berupa membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah catatan berharga bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis.

Selanjutnya, masih menurut Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm al-Nubalâ (1405: XII/402), dikisahkan bahwa Imam Bukhari menulis kitab Shahih-nya, diseleksi secara ketat dari hadits sahih yang berjumlah sekitar enam ratus ribu. Sungguh fantastis.

Dari jumlah 600 ribu itu dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Bisa dibayangkan betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data. Kalau dibahasakan dalam istilah sekarang barangkali: menulis dengan proses edit yang ketat dan diperkaya dengan data.

Lebih dari itu, ada yang cukup mencengangkan dari Imam Bukhari sebelum memulai menulis kitab. Suatu saat Al-Firabry pernah diberitahu Imam Bukhari tentang proses menulis kitab monumentalnya, bahwa setiap kali akan menulis satu hadits, beliau
mandi dan melakukan shalat sunnah (istikharah) dua rakaat (Imam Adz-Dzahabi, 1405: XII/402).

Anda bisa membayangkan berapa banyak dan berapa lama beliau merampungkan kitab ini kalau hadits yang di dalamnya sekitar 7563.

Dari sini para pembaca bisa belajar bahwa yang namanya menulis itu bukan sekadar tulisan, tapi dilatari oleh spirit ibadah dam ada ruhnya. Dalam menulis, Imam Bukhari selalu melibatkan Allah Subhanahu Wata’ala, tidak melulu mengandalkan kecerdasan semata.

Dalam sejarah, bukan hanya Bukhari yang mengamalkan ini. Misalkan: Imam An-Nawawi, sebelum menulis karya monumental Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau melakukan shalat istikharah terlebih dahulu.

Demikian juga Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitabnya yang berjudul al-Muhalla bi al-Âtsâr. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, tak lupa shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis syarah dari kitab Ihyâ ‘Ulum al-Dîn karya Bukhari (Muhammad Abu Ayyas, 2008: 73-77)

Kemudian, yang menjadi pertanyaan: apa Imam Bukhari mengerjakan karya besar ini tanpa jasa guru? Imam Ibnu Al-Jauzi dalam kitab al-Muntadham fî Târikh al-Mulûk wa al-Umam (1412: XII/115) menjelaskan bahwa ulama ahli hadits asal Bukhara ini
menulis hadits berasal dari seribu syekh atau guru.

Bayangkan untuk menulis hadits gurunya berjumlah seribu. Pelajaran yang bisa dipetik di sini, menulis itu butuh bimbingan guru.

Selanjutnya, yang tidak kalah menarik, Kitab Shahih ini ditulis dalam jangka waktu enam belas tahun. Imam Bukhari pun menjadikan kitab ini sebagai hujjah (bukti) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala (Abu Muhammad Al-Yâfi’i, Mirâh al-Jinân wa ‘Ibrah al-Yaqdhân, II/125). Artinya, untuk mendapatkan karya tulis
terbaik, bukan yang penting asal jadi, tapi benar-benar melalui keseriusan, kesabaran, dan kualitas. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kalau kita mau panen jagung, mungkin butuh waktu dua hingga tiga bulan. Tapi, kalau mau panen pohon jati, bisa berpuluh tahun. Harganya pun jelas lebih mahal jati.

Akhirnya, dari Imam Bukhari para pembaca bisa belajar bahwa jika ingin menorehkan karya tulis agung, paling tidak ada lima poin yang perlu diperhatikan:

Pertama, memiliki niat dan motif luhur dalam menulis serta mengerti dengan baik kualitas konten yang akan ditulis.

Kedua, selektif dan kaya data. Ketiga, menanamkan kesadaran internal bahwa menulis adalah ibadah, karena itu akan dipertanggung jawabkan, dan diawasi Allah Subhanahu
Wata’ala. Bukan sekedar karya untuk gagah-gagahan.

Keempat, bimbingan seorang guru (khususnya yang ibadah dan akhlaqnya mulia).

Kelima, karya berkualitas bukan asal jadi, tapi butuh kesabaran, ketelatenan dan waktu yang tidak sebentar.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita menjadi penulis atau wartawan dengan bimbingan wahyu dan niat karena Allah ta’ala atau hanya sekedar gagah-gagahan agar dipuji publik?

Mungkin inilah bedanya karya kita dengan karya para ulama. Rata-rata karya masyarakat umum hanya bertahan dan dikenang satu-dua tahun. Sementara karya para ulama itu tak lekang oleh waktu, bahkan dikaji jutaan orang selama berabad-abad.
Sementara dari kitabnya, mampu melahirkan ulama-ulama dan cendekiawan yang berakhlaq. Wallahua’lam. */Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLAH

Ra’aytun Nabi, Inspirasi dari Memimpikan Rasulullah

Suatu ketika Imam Bukhari mengaku memimpikan Rasulullah. Dalam mimpi itu, Bukhari memegang kipas dan berdiri di depannya. Keesokan hari, setelah bangun dari tidur, dia menanyakan mimpi tersebut kepada seorang ahli. Makna mimpi itu adalah Bukhari akan melindungi Rasulullah dari dusta. Mimpi tersebut menginspirasinya untuk menulis kumpulan hadis dalam al-Jami’ as-Sahih yang kini menjadi rujukan umat Islam.

Kisah itu ditulis oleh seorang alim asal Mesir, Abdul Aziz Ahmad bin Abdul Aziz, dalam bukunya Ra’aytun Nabiyya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Mi’atu Qishshatin min Ru’an Nabiy (Aku bermimpi bertemu Rasulullah: ratusan kisah orang-orang yang memimpiran Nabi). Berdasarkan pemaparannya, mimpi bukan sekadar gam baran alam bawah sadar atau hasrat tak terpenuhi yang mewujud dalam khayalan.

Dia bukan sekadar proyeksi ataupun emosi yang meluap ketika memejamkan mata. Lebih dari itu, mimpi dapat menjadi inspirasi untuk perubahan dan kemajuan. Mimpi menjadi pemicu lahirnya kebijakan yang konstruktif, mengingatkan kelalaian seseorang agar semakin dekat dengan Islam.

Hal tersebut terbukti dalam sebuah kejadian yang diriwayatkan Ashim, anak Umar bin Khattab. Suatu ketika, sang anak menyaksikan seorang bernama Haris al-Muzni datang. Dia mengaku, bertemu Rasulullah dalam mimpinya. Utusan Allah itu berpesan, hujan akan turun. Pesan itu harus disampaikan kepada Umar bin Khattab.

Ketika pesan itu disampaikan, Umar terkejut. Sang khalifah bertanya beberapa kali untuk memastikan keaslian mimpi Haris. Tidak lama setelah itu, Umar mengajak kaum Muslimin untuk mendirikan shalat meminta hujan (istisqa). Khalifah yang kerap disebut Abu Hafs ini berdoa, Ya Allah, para pendukung kami telah lemah. Daya dan kekuatan kami melemah, begitu pula dengan diri kami. Tiada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan- Mu. Ya Allah anugerahkanlah kami siraman hujan.

Mimpi bertemu Rasulullah juga menjadi titik awal perubahan seseorang menjadi lebih baik. Mereka yang semula tidak mengimani Islam berubah sehingga mau bersyahadat. Suatu ketika Khalid bin Ash bermimpi akan dijerumuskan ke jurang negara oleh ayahnya. Namun, tangannya dipegang oleh Rasulullah.

Khalid ingat betul gambaran neraka yang panas dan menyeramkan. Setelah bangun dari tidur, dia menemui Rasulullah dan menyatakan keislamannya. Seumur hidupnya, Khalid mengabdi kepada Rasulullah.

 

REPUBLIKA

Mengenal Imam Bukhari

Bulan Syawal menjadi momentum beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA terjadi di bulan Syawal. Beberapa peperangan, seperti Khandaq, Uhud, dan Hunain, juga terjadi di bulan ini.

Salah satu tonggak bersejarah lainnya dalam bulan Syawal adalah kelahiran imam besar dalam bidang hadis. Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari atau yang terkenal dengan sebutan Imam Bukhari lahir di bulan Syawal.

Sang Imam lahir tepatnya pada 13 Syawal 194 H di Bukhara, sebuah daerah di tepi Sungai Jihun,  Uzbekistan. Ayahnya, Ismail, adalah seorang ulama yang saleh. Bukhara, yang juga disebut sebagai daerah Ma Wara an-Nahr, memang banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim.

Selain Imam Bukhari, beberapa ulama yang lahir di Bukhara adalah Abdul Rahim bin Ahmad al-Bukhari dan Abu Hafs al-Bukhari. Imam Bukhari lahir dengan lingkungan yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Sejak kecil, Imam Bukhari sudah menunjukkan bakat-bakat kecerdasan.

Ketajaman ingatan dan hafalannya melebihi anak-anak seusianya. Saat berusia 10 tahun, Imam Bukhari berguru kepada ad-Dakhili, seorang ulama ahli hadis. Sang Imam tidak pernah absen belajar hadis dari gurunya itu.

Setahun kemudian ia mulai menghafal hadis Nabi SAW. Saat itu ia sudah ditunjuk untuk mengoreksi beberapa kesalahan penghafalan matan maupun rawi dalam sebuah hadis yang diucapkan gurunya. Pada usia 16 tahun ia sudah mengkhatamkan hafalan hadis-hadis di dalam kitab karangan Waki al-Jarrah dan Ibnu Mubarak.

Imam Bukhari tak berhenti hanya belajar pada satu guru saja. Siapa pun dia jika dipandang memiliki kapasitas dalam sebuah hadis akan dijadikan guru meski orang tersebut adalah temannya sendiri. Imam Bukhari disebut memiliki lebih dari seribu guru. Ia sendiri pernah berujar bahwa kitab fenomenalnya, Jami’as as-Sahih, dikumpulkan dari menemui lebih dari 1.080 guru pakar hadis.

Pengarang Fathur Bari, sebuah kitab yang mensyarah Sahih Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengungkapkan, guru-guru Imam Bukhari bisa dibagi menjadi lima tingkatan. Mulai dari para tabiin hingga kawan-kawan seangkatan yang bersama-sama menimba ilmu hadis.

Imam Bukhari dikenal sangat objektif dalam memberi penilaian terhadap para gurunya itu.  Penilaian ini dimaksudkan untuk menentukan dapat diterima atau tidak sebuah hadis yang ia dapatkan.

Imam Bukhari terkenal gigih dalam memburu sebuah hadis. Jika ia mendengar sebuah hadis, maka ia ingin mendapat keterangan tentang hadis itu secara lengkap. Ia harus bertemu sendiri dengan orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Dalam mengumpulkan hadis-hadis itu, Imam Bukhari melanglang buana mulai daerah Syam, Mesir, Aljazair, Basra, menetap di Makkah dan Madinah selama enam tahun, Kufah, dan Baghdad. Tak jarang beliau bolak-balik ke tempat tersebut karena mendapati keterangan baru atau hadis baru.

Perjalanan panjang itu akhirnya membuat sang Imam dapat mengumpulkan sedikitnya 600 ribu hadis. Dari angka tersebut, 300 ribu di antaranya dihafal. Hadis-hadis yang dihafal itu terdiri dari 200 ribu hadis tidak sahih dan 100 ribu hadis sahih.

Jumlah yang banyak itu tidak lantas dimasukkan semua dalam Sahih Bukhari. Dari 100 ribu hadis yang  sahih, ia hanya mencantumkan 7.275 hadis dalam kitab tersebut. Jumlah ini diseleksi dengan metode yang sangat ketat. Karena itu, tak mengherankan jika para ulama menempatkan Sahih Bukhari sebagai kitab pertama dalam urutan kitab-kitab hadis yang muktabar.

Selama hidup, selain Jami’as as-Sahih, Imam Bukhari juga menulis kitab-kitab lain seperti Tarikh as-Sagir, Asami as-Sahabah, al-Kuna, dan al-‘Illal yang kesemuanya membahas tentang hadis.

Berbagai Sumber

Nasihat Imam Bukhari tentang Kematian Mendadak

IMAM aL BukhAri rahimahullah telah mengingatkan masalah kematian mendadak melalui syairnya, seraya menasihatkan untuk memperbanyak amalan. Beliau rahimahullah berkata, “Manfaatkanlah di saat longgar keutamaan rukuk (salat, ibadah); kemungkinan kematianmu datang tiba-tiba; berapa banyak orang sehat yang engkau lihat tanpa sakit; jiwanya yang sehat pergi dengan mendadak.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Termasuk perkara yang mengherankan, bahwa beliau (Imam al-Bukhari rahimahullah) mengalaminya (kematian mendadak) atau yang semacamnya”.

Seorang yang mulia mengatakan bahwa banyak di antara kawanku yang telah melepaskan nyawanya di saat mengikuti syahwatnya, menjadi tawanan kenikmatan, dan lalai dari mengingat maut dan hisab (perhitungan amal). Setelah Allah Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepadaku untuk mentaati-Nya, aku segera menemui sahabatku untuk menasihatinya, mengajaknya kepada ketaatan, dan mengancamnya dari kemaksiatan. Tetapi ia hanyalah beralasan dengan keadaannya yang masih muda, ia telah tertipu oleh panjang angan-angan. Maka demi Allah, kematian telah mendatanginya secara mendadak, sehingga hari ini ia telah berada di dalam tanah, terkubur.

Dia terbelenggu dengan keburukan-keburukan yang telah ia lakukan. Kenikmatan telah hilang darinya. Penyanyi-penyanyi wanita telah meninggalkannya. Tinggallah berbagai tanggung-jawab di atas lehernya. Dia telah menghadap kepada al-Jabbar (Allah Yang Maha Perkasa) dengan amalan-amalan orang-orang fasik dan durhaka. Semoga Allah melindungiku dan Anda dari catatan amal, seperti catatan amalnya, dan dari akhir kehidupan, seperti akhir kehidupannya.

Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah- janganlah engkau seperti dia, sementara engkau tahu bahwa dunia ini telah berjalan ke belakang, dan akhirat berjalan mendatangi. Ingatlah saat kematian dan perpindahan, dan (ingatlah) apa-apa yang akan tergambarkan di hadapanmu, berupa keburukan yang banyak sedangkan kebaikan begitu sedikit. Kebaikan yang ingin engkau amalkan, maka segera amalkan sejak hari ini. Dan apa yang ingin engkau tinggalkan, maka (tinggalkanlah) sejak sekarang:

Maka seandainya jika kita telah mati, kita dibiarkan,
Sesungguhnya kematian itu merupakan kenyamanan seluruh yang hidup,
Tetapi jika kita telah mati, kita pasti dibangkitkan,
Dan setelah itu, kita akan ditanya tentang segala sesuatu.

[baca lanjutan: Awas! Mati Mendadak Tanda Kemurkaan Allah?]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2363060/nasihat-imam-bukhari-tentang-kematian-mendadak#sthash.odE0kbcj.dpuf