Jangan Jadikan Sunnah sebagai Alasan Menyempitkan Ladang Kebaikan

Jangan Jadikan Sunnah sebagai Alasan Menyempitkan Ladang Kebaikan

Istilah sunnah terkadang menjadi dalil yang sering digunakan untuk menghukumi orang lain sesat, bid’ah bahkan keluar dari Islam. Hadist wakullu bidatin dhalalah, setiap bid’ah adalah kesesatan, seolah menjadi justifikasi bagi para pendakwah untuk menghukumi sesuatu yang baru yang belum pernah dikerjakan Nabi.

Persoalan sunnah dan bid’ah kerap mengguncang masyarakat. Lontaran kalimat sesat, bid’ah dan bukan pengikut sunnah menghantui masyarakat ketika mendengar seorang penceramah yang sangat berapi-api. Ukurannya adalah segala sesuatu yang belum pernah dikerjakan Rasulullah menjadi bukan sunnah. Dan di situlah bid’ah bergentayangan di tengah kebaikan dan kearifan yang bermanfaat yang sudah lama dimasyarakatkan.

Tidak sedikit persoalan bid’ah ini hanya persoalan sepele yang diungkit-ungkit. Semisal, berjabat tangan setelah shalat dianggap bid’ah karena tidak dilakukan Nabi dan para sahabat. Perbuatan seperti ini dianggap bagian dari menambah hal baru dalam agama. Setiap hal baru berarti bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Persoalannya adalah sederhana. Hal yang tidak dilakukan Nabi. Apakah semua hal kebaikan tetapi tidak dicontohkan Nabi berarti bid’ah? Apakah mansyiarkan tarawih secara berjamaah pada masa Khalifah Umar adalah bid’ah? Atau menambah adzan sebelum shalat jumat yang dilakukan Khlaifah Ustman adalah bid’ah?

Pertanyaan selanjutnya, apakah menambah titik dalam al-Quran agar lebih memudahkan membaca al-Quran oleh Yahya bin Ya’mur, salah seorang tabiin, adalah bid’ah? Ataukah menambah mihrab dalam masjid sebagaimana ditradisikan oleh Khalifah Rasyid Umar bin Abdul Aziz adalah bid’ah? Atau memperingati Maulid sebagai bagian ekspresi mencintai Nabi adalah bid’ah?

Jika hal yang baru dalam Islam yang tidak menyalahi ajaran Islam tetapi justru menambah dan memudahkan syiar Islam adalah bid’ah mungkin Islam tidak seperti saat ini. Mungkin Islam tidak bisa dikenal dengan secara luas oleh masyarakat di luar Arab seperti saat ini. Semua berawal dari ijtihad kreatif para shabat, tabiin, dan tabi’ tabiin serta ulama salafusshaleh dalam menggali ajaran dan hukum Islam dengan berpedoman al-Quran dan Sunnah.

Labeling sunnah atau tidak, yang kerap dilemparkan secara sporadis dan tanpa dasar ilmu dan akal merupakan penyempitan terhadap ajaran, syiar dan dakwah Islam. Sunnah menjadi alat untuk mempersempit amalan kebaikan yang bisa diekspresikan dalam banyak bentuk selama tidak bertentangan dengan Quran dan Sunnah itu sendiri.

Anjuran Mensunnah Kebaikan Baru

Mari kita lihat sabda Nabi : “Sungguh telah aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang tidak akan menjadikan kalian tersesat selagi kalian berpegang teguh denganya yaitu al-Qur’an dan Sunah nabiNya“. HR Muslim no: 1218.

Berpegang teguh bukan sekedar melaksanakan. Berpegang teguh berarti al-Quran dan Sunnah dijadikan pedoman. Keduanya menjadi sumber kebaikan dalam menggali hukum, ajaran dan wujud kebaikan dalam Islam. Keduanya bukan menyempitkan ladang kebaikan dalam Islam, tetapi menjadi sumber dan pedoman untuk meluaskan ajaran Islam.

Jika hal seperti salaman setelah shalat saja dihukumi bid’ah, belum kita membahas hal besar seperti maulid yang banyak manfaatnya, bagaimana kita mengartikan sunnah jabat tangan kapanpun dilakukan sebagai bagian kebaikan dan bentuk silaturrahmi. Padahal berjamaah bukan sekedar hubungan shalat antara manusia dengan Allah, tetapi cermin kekuatan Islam dalam persaudaraan.

Dalam shalat berjamaah setelah melaksanakan shalat umat Islam bisa saling silaturrahmi dan saling mengenal. Bukan sekedar shalat jamaah kemudian pulang ke rumah masing-masing. Apa esensinya berjamaah jika umat sekedar tegur sapa saja setelah berjamaah tidak dilakukan?

Itu hal yang kecil sebelum memberikan argument kepada mereka yang menolak Maulid yang jelas tidak bertentangan dengan syariat, tetapi mempunyai banyak manfaat dan wahana syiar Islam. Jika tidak ada Maulid kapan umat Islam bisa diingatkan dengan mensyukuri dan membanggakan sosok teladan Rasulullah? Sama halnya ketika tidak ada tabiin yang berijtihad dalam memberikan titik dan harkat dalam al-Quran bagaimana orang Indonesia bisa membaca al-Quran seperti saat ini?

Sungguh pembaharuan yang dilakukan para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, ulama salafussaleh dan para pengikutnya hingga hari ini dalam memberikan warna baru bagi syiar Islam adalah sebuah sunnah yang baik yang sangat bernilai pahala. Nabi tidak melarang mentradisikan sesuatu hal yang baik.

Sebagaimana sabda Nabi : “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun” (H.R. muslim).

Istilah sunnah lebih luas dari sekedar hadist. Sunnah berarti mentradisikan kebiasaan yang diulang-ulang. Umat Islam yang mentradisikan hal baru dan baik yang tidak bertentangan dengan pegangan Al-Quran dan Sunnah adalah mendapatkan pahala. Al-quran dan Sunnah adalah pedoman dan pegangan untuk menilai apakah hal baru itu baik atau buruk, bukan persoalan hal itu sudah atau belum dikerjakan oleh Nabi.

Semoga umat saat ini terus berkreatifitas dalam memajukan Islam sebagaimana para sahabat, tabiin, tabi’tabiin dan para ulama salafusshalih yang terus berijtihad dalam memajukan dan memperluas ladang kebaikan. Umat Islam bukan semakin mempersempit ladang kebaikan dan syiar Islam atas nama Sunnah.

ISLAM KAFFAH