TIDAK ada yang salah dalam sebuah pernikahan. Sama sekali tidak. JIka di perjalanannya kelak kau temukan senyum dan tawa, sungguh itulah pernikahan.
Pun jika nanti kau hanya jumpai air mata, juga sungguh, itulah pernikahan. Bahkan jika kai temukan keduanya silih berganti, maka sungguh itulah pernikahan. Kau percaya kan? Begitu pun aku.
Ketika namamu tertuang dalam buku kecil bersanding erat dengan namanya, maka ketika itu jelaslah dirimu telah terikat dengannya. Ketika jari manismu telah diisi cincin oleh pemilik yang sah, maka ketika itu sempurnalah hidupmu berubah. Dan ketika ibu-ayahmu bukan lagi orang pertama yang kau jumpai saat bangun tidur, maka ketika itu berputarlah arah abdimu padanya.
Hubungan ini tidak semudah yang dibicarakan. Ikatannya bukan hanya pada dia yang kelak akan hidup bersamamu saja, tapi juga pada keluarganya. Tidak sebatas tali di antara manusia saja, tapi juga ketersambungan tanggung jawab terhadap Tuhan.
Sebuah prolog di atas sebenarnya hanya bagian kecil dari gambaran apa yang akan dibahas kali ini. Yap, tentunya bahasan itu semua bagian dari kata pernikahan. Coba pikirkan baik-baik, apa sih yang terpikirkan jika mendengar kata “nikah”? Apakah Janji Suci? Apakah Bahagia? Apakah Cinta? Atau mungkin penderitaan? Mungkin setiap orang mempunyai definisi tersendiri tentang kata itu.
Semua orang pasti tau menikah merupakan sunah Rasulullah. Menikah dengan seseorang yang sudah dipilihkan Allah untuk kita pastinya akan membuat hidup ini menjadi tenang, tentram dan bahagia. Akan terasa indah jika rumah tangga yang akan dibangun dipenuhi dengan manisnya iman, nikmatnya ibadah dan ringannya jiwa raga untuk beramal.
Terasa sejuk rasanya jika kehidupan ini dikelilingi oleh orang yang tulus mencintai dan menyayangi kita, mengikat janji setia dan bersama bahu membahu berjuang mencapai surgaNya. tetapi sebenarnya bukan sampai disitu saja, bukan sampai menunaikan keinginan akad saja. Karena sesudahnya banyak amanah yang harus dipegang eratm ada berbagai rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan ada beribu tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
Membahas persiapan hati dan kesiapan mental sebelum menikah dan juga calon mungkin sesuatu hal yang asyik untuk diperbincangkan. Namun kita juga harus tahu ketika fase dimana sesudah ijab terucap dan kabul terkata. Ketika tangan sudah berada di bawah tangan djuga ketika janji bukan lagi milik kita namun sudah berada dalam genggangan Allah SWT.
Pertama, jadilah pasangan yang sempurna dengan saling melengkapi. Memang di dunia ini tidak akan ada seseorang yang sempurna, namun ketika sudah bersatu, anggaplah kekurangan pasangan itu sebagai pelengkp kesempurnaannya. Contohnya, seorang suami bertanggung jawab penuh terhadap arah kehidupan keluarga yang dipimpinnya. Mau dibawa kemana dan kelak akan seperti apa, maka suamilah yang harus menentukan.
Lantas, kepada siapa seorang suami harus bergantung? Pasti kebanyakan orang akan menjawab kepada istri yang tentu akan menjadi orang yang paling dekat dan besar dukungannya kepada suami. Oh ya, benarkah? Tentu tidak. Dalam mengarungi kehidupan berumah tangga, sang suami haruslah hanya bergantung pada Allah. Namun sayangnya, di zaman sekarang banyak yang menjelaskan bahwa seorang suami bisa bergantung pada istri. Akibatnya jelas jika sang suami bergantung pada istri, bahtera rumah tangga yangs sedang dijalani akan cepat rapuh dan roboh. Coba ingat-ingat, banyak hadis yang mengatakan bahwa salah satu pelemah keimanan seseorang adalah wanita? Oleh karena itu, istri seharusnya bukan tempat bergantung suami, namun seseorang yang harus dicintai dan dilindungi satu-satunya. Libatkan Allah dalam setiap cinta kita, walaupun kepada pasangan sendiri, jangan sampai cinta kita kepada istri melebih cinta kita kepada Allah.
Sebaliknya, seorang istri juga harus melibatkan Allah dalam perasaan cinta kepada suaminya. Supaya kelak tujuan keluarga selalu dalam jalur yang diridaiNya. Semua pembahasan pada point pertama ini intinya adalah jangan mencintai seseorang melenihi rasa cinta serta takut kita kepada Allah.
Kedua, sesudah menikah, tanggung jawab terbesar selanjutnya adalah menjadi orang tua. Anak yang allah titipkan pada kita merupakan sebuah amanah yang menjadi saksi sejauh mana seseorang bisa mengarahkan dan menjaga amanah sebagai seseorang yang sudah menikah. Allah sudah melimpahkan sepenuhnya kepada pasangan yang sudah menikah, mau kita bentuk dan dijadikan seperti apa seorang anak terserah orang tuanya.
Karena itu, tidak mudah menjadi orang tua. Diibaratkan anak seperti kertas putih, mau dikasih coretan atau warna apapun tergantung orang yang memiliki kertas itu. Hal pertama yang harus ditancapkan kepada anak adalah pendidikan dan pemahaman agama Islam, Alquran. Intinya pendidikan islami harus diajarkan sedini mungkin kepada Anak.
Demikian artikel singkat yang membahas tentang ada apa di balik Ijab Qabul. Semoga kelak ketika akan menikahah, kita bisa mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga dengan persiapan yang matang.[fimadina]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2385741/janji-suci-itu-bernama-ijab-qabul#sthash.zzkIJXLC.dpuf