Mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya, inilah kebutaan yang lebih parah
TIDAK semua buta atau kebutaan akan membawa petaka atau kesengsaraan, sebab tak sedikit kita menyaksikan, betapa seorang yang buta ternyata mampu menjadi Penghafal Al-Qur’an, juga di bidang yang lain. Kekurangan indra penglihatan tidak menjadikan mereka kehilangan semangat, bahkan, subhanallah, mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah kekurangan.
Beberapa tahun lalu, kita menyaksikan sebuah video yang viral, Muadz (11 tahun), seorang remaja buta sejak lahir dari Mesir yang menjadi penghafal Al-Qur’an. Ketika ditanya oleh Syaikh Fahd Al-Kandari tentang bagaimana perasaannya, dia menjawab: “Dalam shalat, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku, bukannya aku tak yakin pada Allah, bukan. Namun aku menginginkan yang lebih indah dari sekedar penglihatan.”
“Semoga ini menjadi keselamatan bagiku pada hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Nanti saat berdiri di hadapanNya, takut dan gemetar, Allah menanyakan tentang nikmat penglihatan dan Dia akan bertanya “apa yang telah engkau lakukan pada Al-Qur’an ini?” Aku hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untukku pada hari kiamat kelak.” Jawaban remaja ini membuat Syaikh menangis tersedu-sedu.
Pendahuluan dan cerita di atas hanya sebuah pengantar agar kita mampu dengan kebersihan hati mengakui bahwa ketiadaan kekurangan penglihatan bukanlah sebab dan alasan untuk sebagai Insan yang memiliki akal dan nurani mengingkari dan menolak Kebenaran. Hati yang tulus dan jujur akan membimbing kita untuk tak akan pernah berbohong dan memutarbalikkan fakta, sekalipun kita tak mampu melihat.
Tak pernah ada dalam sejarah manusia selama berabad-abad ini, ada seseorang yang cuma karena kehilangan indra penglihatannya menjadikan dia berperilaku di luar batas kemanusiaan. Namun, sejak beratus tahun lalu kita membaca sejarah, betapa banyak manusia yang demi memuaskan hawa nafsunya bertindak diluar batas kemanusiaan, baik secara perorangan maupun kelompok.
Kebutaan Membawa Petaka
Di zaman super teknologi kini, di mana semua tak bisa luput dari catatan dan pemantauan, atau ada rekam dan jejak digital, tak mampu mengubah mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya. Inilah kebutaan yang lebih parah, karena secara indrawi mereka sempurna, tetapi hati dan akal mereka telah tertutup oleh kebencian akut.
Dalam masalah apapun, tak terkecuali dalam persoalan kebangsaan, mereka dalam kelompok buta hati ini tak akan pernah mampu -untuk tak disebut sebagai tak mau- memberikan solusi, apalagi jika solusi itu tak memberikan keuntungan secara finansial atau mengangkat nama mereka.
وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا
“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (QS: Al-Israa, ayat 72).
Sebenarnya tak mampu memberikan solusi bukan sebuah aib. Tapi mereka, alih-alih memberikan solusi, biasanya tidak suka jika ada seseorang di luar kelompoknya mampu menawarkan solusi. Kalau mereka sekedar mementahkan solusi orang lain, itu masih fair, yang dilakukan mereka adalah memfitnah, membuat citra jelek, membully, membuat opini sesat dan pembunuhan karakter.
Banyak kita temui di media social kedengkian-kedengkian dibungkus ceramah, kajian, dll. Memfitnah orang, kembaga sekolah, pondok pesantren, lembaga amal, ritual keagamaan –bahkan gelombong tuntutan pembubaran ormas Islam sekelas MUI– sudah menjadi sarapan keseharian mereka.
Tentu mereka yang diliputi kebutaan tidak sendirian dalam hal ini. Dengan nada seperti suara koor, serempak, senada dan berbarengan, terlihat ada koordinasi, ada pembinaan secara masif.
Tidak pernah dalam sejarah republik ini ada sekelompok orang berani menuntut pembubaran MUI. Tuntutan pembubaran MUI seperti ini hanya ada ketika zaman kejayaan PKI berkuasa.
Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pembantu Presiden sering diutus untuk menanyakan sesuatu, bahkan Mentri Agama (Menag) tak akan pernah berani memutuskan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Qurban terkecuali setelah duduk bersama dengan MUI dan Perwakilan Ormas Islam.
Mencaci ulama dan Kiai serta intitusi MUI itu boleh jadi hanya sebuah tujuan antara, karena tujuan akhir mereka adalah menghabisi Islam (Baca: agama). Apa yang kita khawatirkan amat sangat mungkin menjadi kenyataan di suatu hari nanti.
Siapapun bisa saja diam, tetapi semua punya konsekwensi. Maka kami memilih bicara, karena diam hanya akan membuat kebenaran terkubur dan sebaliknya yang hidup adalah kebathilan.
Jangan sampai Allah menutup mata, hati dan telinga kita dan dimasukkan dalam golongan mereka yang telah dikunci Allah dan tidak diberi hidayat. Na’udzubillah.
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (QS: Al-Baqarah, ayat 7).*/Hamid Abud Attamimi