Kairo, dari Dinasti Fatimiyyah Hingga Sultan Salahuddin

Pembangunan Kota Kairo tak lepas dari tradisi kaum Muslimin yang membangun kota baru sesudah penaklukan sebuah wilayah.

Letak ibu kota itu disesuaikan dengan kepentingan khilafah atau dinasti dan kesultanan.

Keberadaan Kairo atau yang disebut dengan al- Qahirah bermula ketika Khalifah al-Mu’iz li Dinillah (953-975) dari Dinasti Fatimiyah berniat melakukan ekspansi ke Mesir.

Dia mengutus panglima perangnya, Jauhar as-Siqili untuk melaksanakan eks pedisi ke Mesir. Jauhar kemudian berhasil menaklukkan Mesir. Dia lantas membangun sebuah kota baru yang diberi nama al Qahirah pada 969 atau disebut sekarang sebagai Kairo.

Dilansir dari buku Ensiklopedia Pera daban Islam, Kairo dibangun di atas wilayah yang tidak terlalu luas. Letaknya hanya sedikit di tepian Sungai Nil yang subur dan dikelilingi gurun.

Kota ini kini menjadi tempat tinggal dan rumah bagi lebih dari juta jiwa. Jumlah penduduknya diperkirakan akan terus bertambah.

Pada 973, Khalifah al-Mu’iz li Dinillah berhijrah ke Mesir. Dia menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahan.

Ia kemudian membangun Masjid Besar al-Azhar dari asal kata az-Zahra, nama panggilan Sayyidah az-Zahra. Di bawah Dinasti Fatimiyyah, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan.

Dinasti ini menorehkan kegemilangan selama hing ga 200 tahun. Wilayahnya mencakup Afrika Utara, Sisilia, Pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, hingga Hijaz.

Pada masa itu, Kairo tumbuh menjadi pusat perdagangan di kawasan Laut Tengah dan Samudra Hindia.Khalifah al-Mu’iz dan para penggan- tinya seperti al-Aziz Billah (975-996) dan al-Hakim bi Amrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan.

Peradab an Kairo pun berkembang pesat karena keinginan yang kuat dari penguasa nya.

Kairo bahkan menyaingi Baghdad, ibu kota Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahannya, Khalifah al Hakim mendirikan Baitul Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad.

Pada akhir masa kejayaan Fatimiyah, Kairo hampir jatuh ke tangah pasukan Kristen dalam Perang Salib.Beruntung, Salahuddin al-Ayyubi, seorang panglima perang dari Kurdi berhasil menghalaunya.

Sejak saat itu, Salahuddin mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera Dinasti Ayyubiyah. Ketika Salahuddin al Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fatimiyah, sang sultan mengambangun Dinasti Ayyubiyah yang berdiri di samping Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.

Sultan Salahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Dinasti Fatimiyyah.

Dia malah melanjutkan pembangunan Kairo dengan antusiasme yang sama.

Hanya, Salahuddin mengubah paham keagamaan negara dari syiah menjadi sunni.

Sekolah, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa dan banyak fasilitas sosial lain dibangun Salahuddin.

 

REPUBLIKA