Pada suatu kesempatan, baginda Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabatnya. “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu (al-muflis)?” Mereka menjawab, “Menurut kami, yang bangkrut itu adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.” Lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, memakan harta, membunuh, dan menyakiti orang lain.
Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang yang dianiayanya sampai habis, sementara tuntutan masih banyak yang belum terpenuhi. Lalu, sebagian dosa mereka dibebankan kepadanya hingga ia dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim). Riwayat ini, memberi banyak pelajaran kepada kita, apalagi di tengah suasana politik yang semakin menghangat jelang Pilpres 2019. Berita hoaks, ujaran kebencian, caci maki, fitnah, dan adu domba menyebar luas lewat media sosial (medsos).
Seakan, ungkapan dan perilaku seseorang tidak lagi merefleksikan agamanya. Padahal, pribadi Muslim itu mesti selaras antara hati, pikiran, ucapan, dan perbuatan. Artinya, iman yang tertanam dalam kalbu harus melahirkan amal saleh, baik berupa perkataan maupun perbuatan sehingga diganjar surga. (QS 18:88).
Amal saleh itu ada dua macam dan tidak bisa dipisahkan, yakni kesalehan individual atau ritual (ibadah mahdhah) dan kesalehan sosial (ibadah ghairu mahdhah). Ketika ibadah ritual rusak, tidak akan membuah kan dampak positif pada perilaku yang baik (akhlak karimah). Karenanya, manusia itu ada empat macam, pertama, orang yang beramal ritual dan tidak berdosa sosial. Ia disebut orang yang beruntung (QS 28:67). Kedua, orang yang tidak beramal ritual dan tidak pula berdosa sosial, ia disebut orang merugi (QS 18:103-104).
Ketiga, orang yang tidak beramal ritual, tetapi beramal sosial, ia disebut orang yang tertipu (QS 4:142). Ke em pat, orang yang beramal ritual, tapi banyak melakukan dosa sosial, ia disebut orang yang bangkrut secara hakiki (49:11-12). Lalu, kita termasuk kategori yang mana ?
Imam al-Gazali dalam buku Khuluq al-Muslim menegaskan, gambaran orang yang bangkrut dalam amal saleh diumpamakan dengan seorang pedagang yang memiliki barang dagangan senilai seribu, tetapi dia mempunyai utang lebih dari dua ribu. Sama halnya dengan seorang Muslim yang banyak mengumpulkan pahala amal ibadah, tetapi lebih banyak lagi dia melakukan maksiat, seperti mengumpat, memfitnah, memakan harta orang lain dengan cara tidak halal dan mengganggu ketenteraman masyarakat.
Oleh karena itu, kita wajib menjaga lisan dari segala macam perkataan buruk yang menimbulkan kerugian. “Berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari). Begitu pun jari jemari dari meng-up date status yang negatif di media sosial atau membagi informasi hoaks (bohong) atau yang belum tentu kebenarannya. Saring dahulu sebelum sharing (tabayyun), agar tidak merugikan dan menyesal kemudian (QS 49:6).
Sebagai orang tua, guru, dan pejabat publik, hendaklah santun dalam berkata dan bijak dalam bertindak agar menjadi pembelajaran yang baik bagi anak-anak. Jika kita memberi contoh yang buruk, mereka akan meniru bahkan melakukan hal yang lebih buruk dari itu. Bukankah pepatah Melayu mengingatkan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Kiranya, jangan sampai kita mengalami kebangkrutan hakiki di kehidupan akhirat nan abadi. Allahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Hasan Basri Tanjung