Pemimpin yang Bijaksana

Soliditas bangsa itu antara lain terbentuk dari sifat pemaaf para pemimpin.

Islam agama yang sempurna. Tidak ada satu pun sisi kehidupan kecuali Islam telah memberikan panduan secara lengkap, termasuk dalam kehidupan sosial. Manusia tinggal menjalankannya. Dalam kehidupan sosial, dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kemampuan dalam mengatur, mengelola, mengendalikan, dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Berkaitan dengan sosok pemimpin, Nabi SAW bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan suatu kaum, dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Allah jadikan harta benda di tangan orang-orang yang dermawan.

Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang berakhlak rendah. Dijadikan-Nya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir.” (HR ad-Dailami).

Abu Ridha dalam bukunya ‘Politik Tegak Lurus PKS’ mengatakan, untuk memastikan apakah seorang pemimpin itu bijaksana dalam memimpin atau tidak, bisa dilihat dari sifat-sifat yang melekat dalam diri seorang pemimpin tersebut. Pertama, amanah. Menurut Ahmad al-Maraghi, amanah adalah sesuatu yang dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya. Amanah menjadi salah satu syarat menjadi pemimpin dalam Islam.

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26). Kedua, cerdas. Kecerdasan seorang pemimpin yang dibutuhkan bukan hanya kualitas kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan dalam emosional dan spiritual. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, tegas. Muhammad al-Amin al-Syinqithi dalam Adhwa’ul-Bayan menjelaskan, pemimpin harus seorang yang mampu menjadi qadhi (hakim) bagi rakyatnya dan menjadi seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakat.

Dalam menghadapi kasus tertentu, Nabi tidak hanya diperintahkan bersikap tegas, tetapi juga bersikap keras. Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan, itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS at-Taubah [9]: 73).

Keempat, kuat. Dalam sebuah hadis disebutkan, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Kelima, pemaaf. Pemaaf dan tidak menyakiti perasaan orang lain sebagai sifat mulia dan terpuji. Soliditas bangsa itu antara lain terbentuk dari sifat pemaaf para pemimpin. Sifat pemaaf ini dikategorikan sebagai sifat orang baik yang dicintai Allah. “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 134). Semoga Allah menganugerahkan kepada bangsa ini pemimpin yang bijaksana yang dapat mengantarkan kepada baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Amin

Oleh: Imam Nur Suharno