Hasan bin Ali merupakan cucu tercinta Rasulullah. Baginda Nabi begitu mencintainya. Dalam pelbagai riwayat, dikisahkan kecintaan Nabi terhadap Hasan. Abdullah bin Zubeir menceritakan suatu waktu Nabi sedang sujud—ketika itu baginda sedang shalat—, tiba-tiba Hasan naik ke punggung Nabi. Meskipun dalam keadaan shalat, Nabi tak menurunkan Hasan, hingga ia sendiri yang turun.
Tak hanya itu saja, suatu waktu Nabi sedang rukuk. Melihat Rasulullah membungkuk, Hasan keluar-masuk di antara kedua kaki Nabi Muhammad. Usai shalat Nabi tak membenteknya. Tak juga memarahinya. Bahkan Nabi meletakkan Hasan di pundaknya sembari berkata; ” Ya Allah aku mencintainya, maka cintailah dia,”.
Kelembutan hati dan kemuliaan akhlak Rasulullah sejatinya diwarisi langsung oleh Hasan. Demikian dijelaskan dalam kitab Tārīkh al Khulafā, karya Imam Jalaluddin Suyuthi. Hasan merupakan insan penuh kasih, laiknya kakeknya, baginda Nabi. Ia memiliki kepribadian sempurna. Akhlaknya terpuji. Seorang yang penyabar. Yang tenang pembawaannya. Tegas dalam bersikap.
Yang tak kalah membuat kagum, Hasan adalah manusia pemurah. Rajin bersedekah. Ia tidak menyukai pertengkaran. Apalagi pertumpahan darah.
Ia pernah dicemooh warga Kufah. Sebab memberikan jabatan khalifah pada Muawiyah. Ia dituding sebagai pengkhianat. Juga dicap sebagai orang yang menghinakan kaum muslimin.
Ketika mendapat ejekan dan hinaan, apa yang ia perbuat? Melawan? Membela? Tidak. Ia berkata;
لست بمذل المؤمنين، ولكني كرهت أن أقتلكم على الملك
Artinya: Saya bukanlah orang yang menghinakan kaum mukminin, namun saya tidak suka membunuh kalian lantaran berebut kekuasaan.
Marwan Gubernur Hijaz yang Membenci Hasan dan Ali
Sikap tak pendendam Hasan dan kemuliaan budinya, ia pelihara hingga dewasa. Ia tak pernah membenci seorang pun. Meskipun ia dihina. Tak juga berkata kasar. Ia adalah manusia dengan suri tauladan terbaik. Terjelma dari sosok Baginda Nabi.
Imam Suyuthi mengisahkan kelapangan hati Hasan bin Ali. Alkisah, Gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam seorang pejabat pemerintah yang diangkat oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Marwan begitu membenci Ali bin Abu Thalib. Saban Khutbah Jum’at, di mimbar masjid senantiasa mencaci-maki Ali bin Abu Thalib. Sumpah dan serapah selalu keluar dari mulutnya.
Padahal Hasan ada di masjid itu. Ia mendengar semua yang dikatakan Marwan. Setiap hinaan yang terlontar. Setiap cemooh yang ditujukan pada ayahnya. Ia tak sedikitpun ada rasa ingin balas dendam. Tak ingin juga berdebat. Hasan tak memberikan respons yang memancing perselisihan.
Pada kesempatan lain, Marwan sengaja mengutus seorang laki-laki ke rumah Hasan. Utusan itu untuk menyampaikan pesan Marwan pada Hasan. Pesan apa? “Ali dan Kau! Aku tidak menganggap mu, kecuali sebagai seekor keledai yang jika dikatakan padanya: Siapa ayahmu? Dia menjawab : “Ibuku adalah seekor kuda,” itu pesan hinaan dari Marwan.
Lantas apa jawab Hasan menerima cacian dan makian Marwan terhadap dirinya dan ayahnya, Ali? Hasan lantas menyuruh lelaki itu balik. Dan menyampaikan pesan balasan. Renungi jawaban Hasan menerima hinaan tersebut;
إني والله لا أمحو عنك شيئًا مما قلت بأن أسبك ولكن موعدي وموعدك الله فإن كنت صادقًا جزاك الله بصدقك وإن كنت كاذبًا فالله أشد نقمة
Artinya: Saya tidak akan membalas apa yang kamu katakan dan saya tidak akan mencacimu karena perkataanmu. Namun ingatlah perjumpaan kita adalah di hadapan Allah, jika kamu benar maka Allah akan mengganjarmu dengan kebenaran yang kamu katakan dan jika kamu bohong maka sesungguhnya siksa Allah sangatlah pedih.
Pada kesempatan lain, terjadi juga perselisihan Hasan dan Marwan juga terus berlanjut. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Zuraiq bin Siwar menceritakan Marwan datang langsung datang menemui Hasan. Bukan lagi melalui perantara orang lain. Tanpa basa-basi, Marwan langsung mengucapkan pelbagai kata kasar. Penuh cacian dan makian. Umpatan. Sumpah serapah.
Menerima kata-kata kasar tersebut, Hasan hanya diam. Tak balik membalas. Tak ingin melayani emosi berlebihan. Tak memberikan respons yang diinginkan Marwan. Sehingga membuat emosinya semakin menjadi-jadi. Lalu Marwan membuang ingusnya dengan tangan kirinya. AI-Hasan berkata: “Celaka kamu! Tidakkah engkau tahu bahwa tangan kanan untuk wajah dan tangan kiri untuk kemaluan. Celakalah kamu.” Kata Hasan bin Ali. Mendengar itu, Marwan diam membisu.
Kebencian Marwan terhadap Hasan bin Ali berlanjut sampai akahir hayat. Menjelang ajalnya, Hasan berwasiat pada Husein, jika kelak ia meninggal, ingin dikuburkan berdampingan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad. Ia pun telah berbicara dengan Aisyah binti Abu Bakar untuk meminta izin. Aisyah pun telah menyetujuinya.
Ketika telah wafat, Husein menemui Aisyah dan menyampaikan wasiat saudaranya, Hasan. Sayang, Gubernur ketika itu, Marwan melarangnya. Penguasa Madinah itu menentang wasiat Hasan tersebut. Ia tak mengizinkan Hasan dikuburkan disebelah makam Rasulullah.
Tak mendapat restu dari Gubernur Hijaz, akhirnya, jenazah Hasan bin Ali dikuburkan di Baqi. Bersebelahan dengan kuburan ibundanya, Putri Rasulullah, Fatimah bin Muhammad. Itulah akhir riwayat hidup cucu Nabi Muhammad. Manusia yang penuh kasih. Seorang yang baik akhlaknya. Tak mudah membenci, apalagi berkata kasar.