Kerinduan Kala Ramadhan

Gema takbir, tahmid, dan segala puji-pujian mengalun samar di pagi itu. Semua orang bahagia menyambutnya. Semua umat Muslim bersuka ria menjalaninya. Ada apa?

Pada hari itu umat Muslim di seluruh dunia merayakan kemenangannya setelah bertempur sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Hingar-bingar keceriaan membuncah, meninggi, dan menyebar memenuhi atmosfer Kota Hujan. Semua wajah yang biasa dihinggapi dengan masam, kini mulai dilukis kembali dengan senyuman yang mengem¬bang indah. Satu per satu mulai bersalaman dan memberikan senyuman terbaik mereka untuk saudara seiman.

Saat semua orang begitu bahagia dalam momen Lebaran, aku merasakan hal kebalikan di SMART Ekselensia Indonesia. Pada hari Lebaran itu aku merasa begitu sedih. Sudah empat kali aku Lebaran tidak dengan orangtua. Mungkin saja jika aku bukan seorang laki-laki, aku pasti sudah menangis sejadi-jadinya.

Saat orang lain melapangkan hatinya untuk saling memaafkan, aku justru merasakan sesak yang begitu besar di dalam dada ini. Tak henti-hentinya kuusap air mataku saat aku berpapasan dengan beberapa teman asrama dan guru asramaku. Aku tidak ingin terlihat beda dengan yang lainnya. Kuseka lagi mataku yang mulai berkaca-kaca.

Sekembalinya ke asrama, Aldi menghampiriku. Waktu itu aku tengah sibuk mencoret-coret tembok asrama. “Arya, izin keluar aja yuk. Gue bosen di asrama terus,” ajak Aldi. “Sekalian jalan-jalan, mumpung Lebaran nih.”

Aku menghentikan aktivitasku sejenak dan menatapnya. Dia masih mematut penampilannya di depan sebuah cermin besar. “Mau ke mana? Enggak ada tempat yang asyik dikunjungi lagi. Mending di asrama saja. Enak tidur.”

Dia menatapku dengan agak bingung. Seolah-olah aku ini sedang demam tinggi karena sudah berkata aneh seperti barusan tadi. “Dasar orang aneh, Lebaran kok malah tidur! Mending izin keluar, nyari baju baru.”

Dia menyelesaikan rias dirinya dan melenggang pergi, tanpa pamitan kepadaku terlebih dahulu.
Aku menghela napas panjang dan melanjutkan kegiatansebuah pensil yang ada di tangan kananku. Sebenarnya tidur bukanlah alasan yang asli dalam penolakanku kepada Aldi. Itu hanya selimutku. Selimut yang melindungi sempurna sebuah ketakutan yang menyakitkan.

Tentang keberadaanku sebagai siswa baru di SMART. Waktu itu aku sedang izin ke¬luar pada saat sehari setelah Lebaran. Aku menyusuri jalan selapak yang lumayan banyak dengan hilir mudik orang-orang yang ingin bersilaturahim dengan yang lainnya. Saat itulah, aku melihat seorang anak laki-laki (mungkin berusia 9 tahun) bersama kedua orangtuanya. Keluarga itu berjalan dengan ri¬ang tepat tiga langkah di depanku. Sesekali waktu, sang ayah menggendong anak itu dan menggelitiknya dengan riang. Me¬lihat itu, jujur, aku iri.

Aku belum terbiasa dengan keadaan tanpa pelukan orangtua pada saat anak-anak yang lain ma-sih dipeluk. Apalagi umurku kala itu baru beranjak dari ke¬pompongnya, 12 tahun. Bukankah seumurku ini masih dalam masa-masa manja dengan orangtua?

Di sini, di jalan yang sempit ini, aku masih memandangi anak yang beruntung di depanku itu. Entah kenapa, perlahan-lahan aku merasakan ada kehangatan di dalam mataku. Dan aku begitu terkejut dengan apa yang kulihat.

Di depanku ada aku, ibuku dan juga ayahku yang tengah berjalan beriringan dengan bahagianya. Aku mencoba untuk memastikan penglihatanku ini tidak salah. Tapi tetap saja, di depanku ada ‘aku’ yang lain namun di dalam dunia yang berbeda. Aku bisa melihatnya dengan jelas.

Ya, aku yang lain memang sudah berada di dunia bahagia saat ini. Tapi kau harus ingat, aku yang aku, tengah berada di dunia yang sebenarnya saat ini. Dunia yang penuh dengan kegembiraan, kesedihan, dan tentunya… kerinduan.

 

Oleh: Aditya Perkasa, siswa SMART Ekselensia Indonesia – Dompet Dhuafa

sumber: republika Online