Bersuci dan salat adalah dua syariat yang wajib dilaksanakan baik oleh laki-laki ataupun perempuan muslim yang sudah mencapai usia dewasa (balig) dan memiliki akal. Kewajiban tersebut tidak gugur, meskipun pribadi muslim tersebut sedang dalam kondisi sakit. Hanya saja, dengan indahnya syariat Islam yang mulia ini, ada beberapa keringanan (rukhshah) dan kemudahan yang dapat dilakukan oleh mereka yang sedang sakit ketika hendak bersuci atau melaksanakan salat. Semua itu dimulai dari identitas agama Islam yang mudah dan memudahkan pemeluknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama Islam itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39)
Dalam ilmu fikih juga terdapat satu kaidah utama yang berbunyi,
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
“Kesulitan itu akan membawa kemudahan.”
Kita ketahui bersama bahwa sakit merupakan kondisi yang mengakibatkan rasa sulit dan susah bagi penderitanya. Oleh karena itu, di dalam perkara bersuci dan salat, Islam memberikan beberapa rukhshah (kemudahan dan keringanan) bagi mereka yang sedang sakit pada beberapa keadaan. Di antaranya:
Keringanan dalam bersuci
Pertama: Saat tidak mampu menggunakan air untuk bersuci dari hadas besar maupun kecil, maka diperbolehkan tayamum untuk menggantikan keduanya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Kapan saja orang yang sakit diperbolehkan bertayamum?
Pertama, saat khawatir timbulnya bahaya ketika menggunakan air.
Kedua, khawatir bertambahnya rasa sakit karena penggunaan air.
Dan yang terakhir, khawatir jika menggunakan air, maka akan memperlama sakit yang dideritanya. Atau timbulnya rasa sakit yang tidak tertahankan jika ia menggunakan air.
Pada keadaan-keadaan di atas, sangat disarankan untuk bertayamum sebagai pengganti bersuci dengan air baik ketika safar maupun ketika mukim (tidak safar).
Adapun rasa sakit atau luka yang tidak membuat penderitanya khawatir terhadap penggunaan air, seperti sakit kepala (pusing) atau dia bisa menggunakan air hangat, atau penyakitnya tersebut tidak membuatnya harus meninggalkan penggunaan air, maka ia tidak diperbolehkan untuk bertayamum. Mengapa? Karena tayamum diperbolehkan dengan tujuan untuk menjauhkan bahaya dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penggunaan air. Sedangkan pada kasus di atas, orang yang sakit tersebut, sama sekali tidak merasakan kesulitan yang menjadi penyebab diperbolehkannya tayamum.
Kedua: Saat tidak bisa mencuci atau mengusap langsung pada anggota tubuh yang diwajibkan untuk dicuci atau dibasuh, diperbolehkan untuk mengusap pada gips atau perban luka saja, baik bersuci untuk hadas besar maupun untuk hadas kecil.
Diperbolehkan bagi orang yang sakit dan memiliki luka perban ataupun gips untuk mengusap gips atau perbannya. Yaitu, tatkala ia tidak bisa dan tidak dimungkinkan untuk mencuci langsung bagian anggota tubuh yang sedang diperban atau digips tersebut. Baik lukanya tersebut karena patah tulang, atau adanya luka sayatan, ataupun karena sebab lainnya. Hal ini diperbolehkan manakala ia takut bertambahnya rasa sakit jika ia langsung mengusap pada lukanya, atau bertambah lamanya pemulihan, atau timbulnya rasa sakit yang tak tertahankan, atau timbulnya rasa sakit baru apabila ia langsung mengusap pada luka tersebut.
Dalil yang menyebutkan bolehnya mengusap perban, gips, dan yang semisalnya ketika bersuci adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan,
“Kami keluar untuk bersafar. Kemudian salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian orang tersebut mimpi basah, lalu orang tersebut bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapati keringanan bagiku untuk melakukan tayamum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu sementara kamu mampu untuk menggunakan air.’ Kemudian orang tersebut mandi, lalu meninggal.
Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau diberi tahu tentang hal ini, maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak mau bertanya jika mereka tidak tahu. Sesungguhnya obat tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum dan menutup lukanya tersebut dengan potongan kain, kemudian dia mengusap di atasnya.” (HR. Abu Dawud no. 33, Ad-Daruqutni 1: 189, dan Al-Baihaqi no. 1115)
Keringanan dalam salat
Adapun keringanan bagi orang yang sakit dalam bab salat, maka terdapat dalam beberapa hal:
Pertama: Bolehnya salat tidak menghadap kiblat ketika tidak mampu atau ketika tidak ada yang membantunya untuk menghadapkannya ke arah kiblat.
Hukum asalnya, orang yang sakit tetap harus menghadap kiblat ketika salat. Hanya saja ketika ia sudah tidak mampu bergerak untuk menghadap ke arahnya dan tidak ada orang lain yang bisa membantunya untuk menghadap ke kiblat, maka ia diperbolehkan untuk salat ke arah yang sesuai dengan kondisi dan posisinya ketika itu. Boleh baginya untuk menghadap ke arah manapun yang mudah bagi dirinya.
Hal ini sejalan dengan kaidah,
الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ , فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ , وَلاَ مُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ
“Pelaksanaan kewajiban berkaitan erat dengan kemampuan. Oleh karenanya, kewajiban melaksanakan sesuatu menjadi gugur jika seseorang tidak mampu melaksanakannya. Dan sesuatu yang dilarang (diharamkan) menjadi boleh dalam kondisi darurat.”
Kedua: Boleh salat sambil duduk atau menyesuaikan kemampuannya (seperti salat dalam posisi berbaring menyamping) ketika tidak mampu lagi duduk pada salat wajib.
Imran bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhu suatu ketika terkena penyakit wasir, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perihal tata cara salatnya. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Salatlah dengan berdiri! Jika kamu tidak bisa, maka duduklah! Dan jika tidak bisa, maka salatlah dengan berbaring.” (HR. Bukhari no. 1117)
Orang yang sakit, tatkala sudah tidak mampu lagi berdiri total di dalam salatnya, atau dengan ia berdiri maka akan memberatkannya dan menyusahkannya, atau dengan berdiri maka akan menjadikan sakitnya semakin parah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan salat dengan posisi menyesuaikan kemampuannya, baik salat sembari duduk di atas lantai, tidur dalam posisi menyamping, atau dengan posisi telentang, namun kakinya tetap menghadap kiblat.
Jika cara-cara di atas tidak mampu juga untuk dilakukan, maka ia boleh salat dengan cara apapun yang ia bisa dan sanggupi.
Ketiga: Membuat isyarat dengan kepala saat tidak mampu ruku’ atau sujud.
Orang yang sakit, apabila ia mampu berdiri pada salat wajib, namun ia tidak mampu ruku’ maupun sujud, maka ia tetap harus salat sembari berdiri. Karena kewajiban berdiri tidak gugur dari dirinya selama ia mampu melakukannya.
Barulah ketika sudah sampai pada posisi ruku’, ia membuat isyarat anggukan dengan kepalanya, kemudian duduk dan memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti sujud dalam kondisi duduk tersebut semampunya.
Adapun orang sakit yang sudah tidak mampu berdiri, maka ia salat sembari duduk. Jika ia tidak mampu ruku’ dan sujud, maka ia memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti keduanya. Untuk posisi sujud, maka isyarat kepalanya harus lebih rendah dari posisi ruku’. Berdasarkan kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang salat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut tetap mengambil benda berupa kayu untuk salat beralaskan dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam pun mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu, Nabi bersabda, ‘Salatlah di atas tanah jika kamu mampu! Jika tidak mampu, maka salatlah dengan isyarat! Jadikan posisi sujudmu lebih rendah dari rukukmu.“ (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 2: 306)
Jika tidak mampu juga untuk duduk, maka ia salat dengan posisi berbaring menyamping. Jika tidak mampu juga, maka ia salat dengan posisi berbaring telentang sedangkan posisi kakinya menghadap ke arah kiblat dan ia membuat isyarat juga untuk melakukan ruku’ dan sujudnya.
Saat orang yang sakit tersebut sudah tidak bisa lagi membuat isyarat dengan kepalanya, namun ia masih bisa membaca doa-doa dalam salat, maka doa-doa tersebut tetap wajib dibaca dan tidak gugur hukumnya darinya menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ia masih mampu melakukan bacaan doa-doa tersebut dan yang gugur darinya hanya gerakannya saja, karena ketidakmampuannya di dalam melaksanakan hal tersebut.
Keempat: Meninggalkan salat Jumat dan salat jemaah saat sakit parah.
Orang yang sakit, namun masih mampu untuk berangkat ke masjid, maka ia wajib untuk melaksanakan salatnya secara berjemaah menurut pendapat yang lebih kuat. Salat berjemaah dengan berdiri jika ia masih mampu atau menyesuaikan kondisi kesehatan dirinya. Yang jelas tetap harus berjemaah.
Adapun jika ia benar-benar tidak mampu berangkat ke masjid, maka ia salat berjemaah di tempatnya sendiri. Jika tidak mampu berjemaah, maka ia mendapatkan keringanan untuk salat sendirian.
Dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sakit parah, beliau tidak salat di masjid padahal beliau adalah imam kaum muslimin. Lalu, beliau memerintahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menggantikannya sebagai imam.
Kelima: Menjamak salat ketika mendapati rasa berat dan susah.
Sakit parah yang membuat penderitanya merasa susah dan berat untuk melaksanakan setiap salat pada waktunya merupakan salah satu uzur yang memperbolehkan seorang muslim untuk menjamak antara dua salat, baik antara zuhur dengan asar atau magrib dengan isya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Sebab diperbolehkannya jamak adalah rasa susah dan berat. Sedangkan sakit merupakan kondisi yang menyebabkan rasa susah pada diri seorang hamba. Oleh karenanya, para ulama memperbolehkan jamak bagi orang yang sakit apabila ia mendapati kesulitan dan kesusahan untuk melaksanakan setiap salat pada waktu aslinya.
Ada dua catatan penting terkait menjamak salat ini:
Catatan pertama: Untuk menjamak salat karena sakit atau sebab lainnya, tidak disyaratkan adanya uzur (sebab) yang memperbolehkan jamak tersebut pada permulaan salat pertama (zuhur atau magrib). Jika semisal dia telah menyelesaikan salat pertamanya (zuhur atau magrib), lalu uzurnya (sebab) tersebut baru muncul, dia tetap diperbolehkan untuk menjamak salat pertamanya tersebut dengan salat yang berikutnya (asar atau isya).
Begitu pula, tidak disyaratkan bertahannya uzur (sebab) sampai berakhirnya salat yang kedua (asar atau isya). Contohnya: Seseorang yang menggabungkan dan menjamak salat zuhur dan asar karena sakit. Dan pada salat yang kedua penyakitnya terangkat darinya dan ia sembuh, maka hukum jamak salatnya tidak batal dan tetap terhitung sah. Di dalam jamak salat tidak disyaratkan berkelanjutan dan bertahannya uzur yang membolehkan jamak hingga berakhirnya salat yang kedua.
Catatan kedua: Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah salat Jumat tidak boleh digabungkan dan dijamak dengan salat asar dengan cara jamak ta’khir (dilakukan di waktu salat asar). Hal ini dikarenakan salat Jumat merupakan syariat salat tersendiri, memiliki syarat-syarat tertentu dan tata cara yang berbeda. Berbeda pula rukun-rukunnya dan pahalanya dengan salat lima waktu lainnya.
Adapun jika dilakukan dengan cara jamak taqdim, maka sebagian ulama membolehkannya, seperti dalam mazhab Syafi’iyyah misalnya.
Walaupun yang lebih aman (wallahu a’lam bisshawab) hendaknya tidak menjamak salat Jumat dengan salat asar secara mutlak, baik dengan di-taqdim maupun di-ta’khir. Karena jika melihat hadis-hadis yang menyebutkan perkara jamak salat, maka yang disebutkan hanyalah menjamak antara zuhur dan asar dan tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menggabungkan salat asar dengan salat Jumat. Sehingga tidak benar apabila salat Jumat dikiaskan dan disamakan dengan salat zuhur.
Oleh karena itu, orang yang sakit apabila berada di hari Jumat dan ingin menjamak antara salat zuhur dan salat asar, hendaknya ia tidak ikut hadir dalam salat Jumat. Dan sebagai gantinya, ia melaksanakan salat zuhur lalu menjamaknya dengan salat asar.
Atau jika ia berpegang dengan mazhab Syafi’iyyah yang membolehkan jamak antara salat Jumat dengan salat asar dan tetap ingin menghadiri salat Jumat serta menjamak salatnya, maka ia harus menjamak salat Jumatnya tersebut secara jamak taqdim dan tidak boleh menjamaknya secara jamak ta’khir.
Wallahu a’lam bishawwab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86534-keringanan-syariat-bagi-orang-yang-sakit-dalam-bersuci-dan-salat.html