Fakhitah, nama perempuan itu. Putri pamannya, Abu Thalib sekaligus sepupunya itulah yang menjadi cinta pertama Rasulullah. Saat berusia 20 tahun atau lima tahun sebelum menikahi Khadijah, Rasulullah sempat melamar Fakhitah. Namun harapannya bersanding dengan sang sepupu untuk membangun rumah tangga tak terwujud.
Lamarannya ditolak pamannya sendiri, Abu Thalib. Sang paman ingin menikahkan putrinya yang kemudian dipanggil Umm Hani itu kepada pria dari silsilah keluarga Aminah, ibu Rasulullah.
Dikutip dari buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik karya Martin Lings, Umm Hani merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di hati Muhammad muda. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya.
Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani.
Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah-lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani.
“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (Aminah), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda.
Abu Thalib menjelaskan keputusannya menikahkan Umm Hani dengan Hubayrah demi menjaga hubungan baik kedua kabilah, sesuai tradisi arab kala itu. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan paman yang amat dicintainya.
Meski ditinggal menikah oleh perempuan yang dicintainya, Muhammad muda tak lantas terus larut dalam kesedihan. Seorang saudagar perempuan terkaya di Mekkah, Khadijah dari Suku Asad, diam-diam memerhatikan Muhammad. Caranya mendekati Muhammad sangat elegan. Khadijah menjadikan Muhammad sebagai mitra kerja yang mendagangkan hartanya. Khadijah memilihnya karena nama Muhammad telah dikenal di penjuru Mekkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.
Khadijah yang tertarik kepada Muhammad kemudian melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari pemuda yang kelak menjadi nabi dan rasul terakhir. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.
Bersama Khadijah, Rasulullah memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.
Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira-kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah shalallahu alaihi wassalam berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.
Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, tetapi Rasulullah menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya (Khadijah) di surga.”
Saat Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, Fakhitah menjadi pengikutnya. Keputusan memeluk Islam membuat Fakhitah berpisah dengan suaminya, Hubayrah yang enggan masuk Islam. Ketika sudah menjadi janda, Fakhitah mengurus empat anaknya sendirian.
Setelah ditinggal wafat Khadijah, Rasulullah sempat kembali melamar sepupunya tersebut. Cinta pertamanya. Namun, Rasulullah kembali ditolak. Jika dulu pamannya yang menolak, kini Fakhitah yang menolak lamaran Rasulullah.
“Wahai Rasulullah tidak ada wanita yang tak ingin menjadi istrimu, begitu pula denganku, aku memiliki banyak anak, jika aku menikah denganmu aku bingung aku harus memilih berat ke mana. Kalau aku berat kepada suami, aku takut menelantarkan anak-anakku yang masih kecil, dan jika aku berat kepada anak aku takut zalim kepada hak suamiku. Daripada aku menjadi orang yang zalim jadi Rasulullah, maaf saya tidak bisa menerima lamaranmu.”