DALAM sebuah perjalanan, Nabi Isa bersama para sahabatnya mendekati suatu desa yang terlihat sepi. Ketika mereka memasuki desa itu, semua penduduknya dalam keadaan tergeletak tak bernyawa, baik yang ada di dalam rumah maupun di luar rumah.
“Mereka tidaklah mati biasa, tapi mati akibat mendapat murka Tuhan. Jika tidak, mereka pasti akan menanam jasad secara bergiliran,” kata Nabi Isa setelah memperhatikan kondisi desa.
“Seandainya kami bisa mengetahui, gerangan apa yang telah menimpa mereka?” tanya sahabat yang berdiri terpaku menyaksikan jasad bergelimpangan.Setelah terdiam sejenak, utusan Allah itu pun berseru, “Wahai penduduk desa!”
Dan para sahabat pun terkejut dengan apa yang dilakukan oleh pembawa ajaran Injil itu. Tidak lama kemudian, salah satu jasad penduduk menjawab seruan putra Maryam. Sahabatnya semakin terkejut.
“Apa yang Anda ingin ketahui wahai Rasulullah?” sahut salah satu jasad.
“Mengapa engkau terbunuh dan bagaimana itu peristiwa ini terjadi?”
“Kami bangun pagi dalam keadaan sehat dan tenang, namun pada malam harinya kami telah dicampakkan ke hawiyah.”
“Apa hawiyah itu?”
“Lautan api dari gunung api yang menggelegak ”
“Lalu mengapa kalian tertimpa petaka semacam itu?”
“Cinta dunia dan ketaatan pada tiran yang membuat kami menerima petaka ini.”
“Sejauh mana kalian cinta pada dunia?” lanjut Isa.
“Seperti cinta bayi pada air susu ibunya. Setiap kali dunia datang pada kami, kami bersenang-senang. Namun ketika dunia menjauh, kami susah hati dan putus asa.”
Ketika para sahabatnya masih diam seribu bahasa menyaksikan dialog agung itu, Isa pun terdiam sejenak. Kemudian Nabiullah itu kembali bertanya, “Sejauh mana ketaatan kalian pada tiran?”
“Apa pun yang mereka katakan, kami menaatinya,” kata jasad itu.
“Mengapa di antara yang mati, hanya engkau yang menjawab?,” tanya Isa kembali.
“Karena mulut mereka telah disumbat oleh api dan malaikat telah ditugaskan untuk mengawasi mereka. Saya adalah penduduk desa ini namun tidak mengikuti perilaku mereka. Meski demikian, ketika azab Tuhan turun, saya pun terkena dampaknya. Kini, saya hanya seperti sebatas rambut yang bergelantung di atas Neraka. Saya sangat takut jatuh ke tengah-tengah api.”
Situasi kembali hening. Lalu manusia mulia yang namanya disebut 25 kali dalam Alquran itu berkata pada para sahabatnya, “Tidur di kandang sampah dan memakan roti kering lebih baik jika hal itu menjadi syarat keselamatan agama seseorang.” []
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358359/ketika-nabi-isa-dialog-dengan-mayat-tergeletak#sthash.BtITgWQ6.dpuf