Kisah Sedekah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Di saat itu kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,
أفضل الصدقة صدقة في رمضان
“Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadan.” (HR. Tirmidzi, dari Anas bin Malik)
Kisah Sedekah Umar dan Abu Bakr
Zaid bin Aslam meriwayatkan kisah dari ayahnya, “Aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu berkata, ‘Rasulullah memerintah kami untuk bersedekah. Kebetulan ketika itu aku sedang ada harta. Aku bergumam, ‘Hari ini aku akan bisa mengalahkan Abu Bakr.’ Ketika itu, aku sedekahkan setengah hartaku.’”
ما أبقيت لأهلك؟
“Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah.
Aku jawab, “Sejumlah yang saya sedekahkan ini, ya Rasulullah.”
Tak berselang lama Abu Bakr datang, ternyata dia menyedekahkan semua harta yang beliau miliki.
ما أبقيت لأهلك؟
“Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakr.
“Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”, jawab Abu Bakr.
Aku kemudian berkata kepada Abu Bakr,
لا أسابقك لا أسابقك إلى شيء أبدا
“Aku tidak akan pernah bisa mengalahkanmu dalam amal saleh.”
Kisah Sedekah Sahabat Thalhah bin Ubaidillah
Dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah, dia bercerita, “Nenekku Sa’di binti ‘Auf Al-Mariyah -istri dari sahabat Thalhah bin Ubaidillah- bercerita kepadaku.”
Suatu hari Thalhah menemuiku dalam keadaan gelisah.
Aku bertanya, “Apa gerangan yang membuatmu gelisah? Apa yang bisa saya bantu?”
“Tidak ada.” jawab Thalhah.
“Tapi kamu adalah istri orang yang muslim”, lanjutnya.
Aku bertanya kembali, “Apa yang sedang kamu alami?”
“Hartaku makin banyak dan menyusahkanku”, kata Thalhah.
“Oh tidak mengapa, dibagi saja harta itu”, sambutku.
Lalu, harta itu pun aku bagi–bagi sampai hanya tersisa 1 dirham.
Thalhah bin Yahya (perawi kisah) berkata, “Aku kemudian bertanya kepada berdaharanya Thalhah, “Berapa duitnya ketika itu?” Dia menjawab, “400.000 dirham.”
Sedekah di Bulan Ramadan Lebih Istimewa
Sedekah di bulan Ramadan tentu lebih istimewa. Maka, segeralah lakukan. Tunaikan semampu anda. Berikut ini jenis sedekah yang prioritas dilakukan di bulan Ramadan:
Pertama, memberi makan orang yang membutuhkan.
Allah Ta’ala telah memotivasi kita melakukan amal ini,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا ﴿١٠﴾ فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا ﴿١١﴾ وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Penduduk surga itu di dunia gemar memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (8) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (9) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (10) Maka, Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (11) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan: 8-12)
Para Salafush Shalih sangat semangat dalam beramal sosial yang mereka niatkan ibadah dengan berbagi makanan kepada orang yang membutuhkan. Bahkan, sering kali mereka mengedepankan amalan ini dari banyak ibadah. Baik dengan cara membantu orang yang kelaparan atau sekedar berbagi makanan dengan rekan-rekan yang saleh. Karena ibadah memberi makan tidak disyaratkan hanya kepada fakir miskin saja. Ibadah yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يا أيها الناس أفشوا السلام أطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام
“Wahai manusia, sebarkan salam, berikanlah makan, sambung silaturahmi dan salat malamlah ketika manusia tidur. Maka, Engkau pun akan masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengatakan,
لأن أدعو عشرة من أصحابي فأطعمهم طعاما يشتهونه أحب إلي من أن أعتق عشرة من ولد إسماعيل
“Aku mengundang sepuluh temanku untuk makan makanan yang mereka sukai, itu lebih aku sukai daripada membebaskan sepuluh budak dari keturunan Nabi Ismail.”
Banyak pula ulama salaf yang membatalkan puasa sunahnya saat diundang makan. Seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, Dawud At-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal.
Ibnu Umar tidak berbuka puasa, kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Ada pula ulama salaf yang menyuguhkan makanan kepada rekan-rekannya, padahal dia sedang sendiri puasa. Dia duduk menemani makan dan menuangkan minuman kepada para tamu. Contohnya seperti Hasan Al-Basri dan Abdullah bin Mubarak.
Abu Suwar Al-‘Adawi berkabar,
كان رجال من بني عدي يصلوم في هذا المسجد، ما أفطر أحد منهم على طعام قط وحده، إن وجد من يأكل معه أكل، وإلا أخرج طعامه إلى المسجد فأكله مع الناس وأكل الناس معه
“Masyarakat Bani ‘Adi salat magrib di masjid ini. Mereka tidak pernah berbuka puasa sendirian. Di saat ada orang yang bisa mereka ajak buka bersama, barulah mereka makan. Jika tidak ada, maka mereka bawa makanan ke masjid, kemudian berbuka bersama dengan para jemaah masjid.”
Ada banyak ibadah yang terkandung di dalam ibadah berupa berbagi makanan. Di antaranya menumbuhkan kasih sayang pada saudara anda yang Anda beri makanan. Amalan seperti ini bisa memasukkan Anda ke surga. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لن تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا و لن تؤمنوا حتى تحابوا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidak akan menjadi orang mukmin, kecuali kalian saling mencintai.” (HR. HR. Muslim)
Kedua, memberi makan buka untuk orang yang puasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang memberi makan buka puasa orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kisah Membaca Al-Qur’an
Kami akan paparkan dua keadaan terkait para salaf bersama Al-Quran:
Pertama, mereka banyak membaca Al-Qur’an.
Kedua, mudah menangis saat membaca atau mendengarkan ayat Al-Qur’an. Karena khusyuknya hati mereka serta tunduk kepada Allah yang Mahamulia.
Banyak Membaca Al-Quran
Bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Sebuah momen yang tepat bagi seorang muslim untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan ini. Para pendahulu kita (Salafus Shalih) adalah teladan dalam membaca Al-Quran. Berikut ini teladan yang dapat diambil.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyimakkan hafalan Al-Qur’an beliau kepada malaikat Jibril di bulan Ramadan.
‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika bulan Ramadan mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sehari.
Sebagian salafush shalih mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam salat malam Ramadan selama tiga hari. Ada pula yang mengkhatamkan sepekan sekali. Ada yang khatam sepuluh hari sekali. Mereka membaca Al-Qur’an baik ketika salat maupun di luar salat.
Imam Syafi’i rahimahullah kalau bulan Ramadan khatam Al-Qur’an enam puluh kali. Itu yang beliau baca di luar salat.
Qotadah rahimahullah biasa menghatamkan Al-Qur’an sepekan sekali. Namun, untuk bulan Ramadan, beliau menghatamkannya dalam tiga hari. Saat sepuluh hari terakhir, beliau khatamkan dalam satu malam.
Az-Zuhri rahimahullah apabila tiba Ramadan, beliau meliburkan aktivitas membaca hadis dan bermajlis dengan para ulama. Beliau habiskan waktu untuk membaca Al-Qur’an pada mushaf.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah apabila masuk bulan Ramadan, beliau meliburkan semua ibadah, kemudian beliau fokuskan semua waktu untuk membaca Al-Qur’an.
Bukankah ada hadis yang melarang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari?
Ibnu Rajab rahimahullah telah menjawabnya,
وإنما ورد النهي عن قراءة القرآن في أقل من ثلاث على المداومة على ذلك ، فأما في الأوقات المفضلة كشهر رمضان خصوصاً الليالي التي يطلب فيها ليلة القدر، أو في الأماكن المفضلة كمكة لمن دخلها من غير أهلها فيستحب الإكثار فيها من تلاوة القرآن اغتناماً للزمان والمكان ، وهو قول أحمد وإسحاق وغيرهما من الأئمة
“Sesungguhnya riwayat yang menerangkan larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari hanya berlaku jika dilakukan terus menerus. Namun, pada waktu-waktu mulia seperti bulan Ramadan, lebih-lebih di malam-malam yang terdapat lailatul qadr, atau di tempat-tempat mulia seperti Mekah bagi pengunjung yang tidak menetap di sana, dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an. Dalam rangka optimalisasi waktu dan tempat yang mulia. Inilah pendapat Ahmad bin Hambal, Ishaq, dan para imam lainnya.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 171)
Menangis Saat Membaca dan Mendengar Al-Quran
Melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan syahdu layaknya syair, namun tanpa tadabur, bukan termasuk petunjuk dari Salafus Shalih. Mereka itu orang-orang yang mudah tersentuh dengan ayat Al-Quran. Berikut kisah mereka:
Tangisan Rasulullah
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu pernah menceritakan, “Rasulullah pernah memintaku,
اقْرَأْ عَلَيَّ القُرْآنَ
“Tolong bacakan ayat Al-Quran kepadaku.”
Aku jawab,
يَا رسولَ الله، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟!
“Bagaimana mungkin, ya Rasulullah? Aku membaca Al-Quran kepadamu padahal Al-Qur’an diturunkan pada Anda?”
إنِّي أُحِبُّ أَنْ أسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي
“Aku senang mendengar bacaan Al-Quran dari selainku”, jawab Nabi.
فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هذِهِ الآية: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} قَالَ: «حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. متفقٌ عَلَيْهِ.
“Saya lalu membacakan ayat dalam surah An-Nisa’. Saat sampai pada ayat ini (yang artinya), “Bagaimanakah jika Kami datangkan kepada setiap umat seorang saksi dan Engkau Kami jadikan saksi atas umat ini?” (QS. An-Nisa’ 42).
Setelah itu beliau bersabda, “Cukup … cukup.”
Saya menoleh ke arah beliau. Ternyata, beliau bercucuran air mata.” (Muttafaq ‘alaih)
Tangisan Ahlu Sufah (para sahabat yang tinggal di emperan masjid Nabawi)
Al-Baihaqi rahimahullah menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Beliau berkisah, “Di saat turun ayat
أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ ﴿٥٩﴾ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ ﴿٦٠﴾
“Apa kamu merasa heran kepada kabar ini? Kamu mentertawakan dan tidak menangis?!” (QS. An-Najm: 59-60)
para Ahlu Sufah ketika itu menangis, sampai air mata menetes dari dagu mereka. Ketika Rasulullah mendengar tangisan Ahlu Sufah ketika itu, beliau pun ikut menangis. Kami pun menangis melihat Rasulullah menangis. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يلج النار من بكى من خشية الله
“Orang yang menangis karena takut kepada Allah, tak akan disentuh oleh api neraka.”
Tangisan Sahabat Ibnu Umar
Ketika Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu membaca surat Al-Muthaffifin sampai pada ayat,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Hari kebangkitan adalah hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”
Beliau menangis sampai jatuh tersungkur, sampai tak mampu melanjutkan bacaan.
Tangisan Sufyan As-Tsauri
Dari Muzahim bin Zufar, beliau menceritakan, ”Kami pernah salat magrib bersama Sufyan As-Tsauri rahimahullah. Di saat beliau membaca ayat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
beliau menangis sampai tak sanggup melanjutkan ayat. Kemudian beliau mengulang lagi dari “Alhamdu…”
Tangisan Fudhail bin Iyadh
Dari Ibrahim bin Al-Asy’ats, beliau berkisah, ”Pada suatu malam aku mendengar Fudhail membaca surah Muhammad. Beliau menangis mengulang-ulang ayat ini,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami mengabarkan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad: 31)
Beliau selalu mengulang kalimat ayat “Wa nabluwa akh-baarokum.. (Kami menguji (baik buruknya) hal ihwalmu).”
“Engkau akan menguji ihwal kami?! Bila Engkau menguji baik buruknya hal ihwal kami, sungguh aib kami akan tampak, menjadi tersingkaplah yang tertutupi dari kami. Jika Engkau menguji keadaan kami, sungguh kami bisa binasa dan Engkau akan mengazab kami”, lanjut beliau. Kemudian beliau menangis.
[Bersambung]
***
Penulis: Ahmad Anshori, Lc.
Sumber: https://muslim.or.id/74426-kisah-teladan-dari-para-ulama-hebat-di-bulan-ramadan-bag-2.html