Oleh: Asep Effendi Al Faqir
Hati yang Bersinar “Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku Rabb-mu, Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).'” (QS al-A’raaf: 172) Ketika ruh masuk ke dalam jasad, maka beragam tuntutan jasad pun memberikan perubahan yang berpengaruh langsung kepada hati.
Bila cahaya menyinari hati begitu kuat, maka seseorang dapat menahan beragam desakan tubuh yang diharamkan. Rasulullah SAW adalah teladan kita. Beliau SAW merupakan cermin seorang yang mampu menahan pengaruh kehidupan dunia, sehingga hatinya selalu bercahaya. Hal itu tecermin dari akhlak beliau, baik terhadap Allah maupun terhadap mahluk-Nya.
Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah berkata, “Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya bila cermin hati kita memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang dengan keinginan kerasnya untuk masuk ke hadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya.
Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya.” Dua hal tersebut di atas tentu saja sangat mustahil dikumpulkan menjadi satu. Bahkan, orang akan keheranan apabila ada orang yang menghendaki berbinar-binar cahaya, padahal ia sendiri belum mampu memisahkan diri dari gambaran dunia yang mengasyikan.
Tidak mungkin cahaya Allah itu dapat ditangkap untuk menghiasi hatinya apabila cermin hatinya masih tertutup oleh kegelapan dunia. Karena cermin hati dapat cahayanya apabila telah mendapat sinar keimanan. Bagi hati yang telah mendapatkan cahaya, persoalan dunia bukanlah tujuan utamanya. Mereka akan tetap beribadah walaupun hidup dalam kesederhanaan.
Rezeki terkadang datang dari pintu yang tidak terduga, setelah kita berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha dan terus berdoa. Kisah tukang sol sepatu, misalnya, pernah melintasi cerita inspiratif tentang makna keimanan seorang hamba. Di tengah usahanya yang terus berjalan dan tanpa order, tukang sol sepatu terus berusaha dan tidak berhenti berdoa dan shalat dalam setiap perjalanannya.
Namun, di tengah kesedihan karena sepinya order, justru rezeki diberikan Allah lewat seorang tetangga melalui istrinya yang sedang ada di rumah. Sang lelaki itu tak mampu menahan air mata, seraya berucap, “Allahu Akbar,” sambil bersujud dan berucap, “Ya Allah, benar Engkau Mahakaya, Pengasih, serta Penyayang, muliakan tetangga kami serta tambahkan rezekinya, amin, ya Allah.” Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Mukmin ayat 61, “Allahlah yang menjadikan malam untukmu supaya kamu beristirahat, dan menjadikan siang terang benderang.
Sungguh besar karunia Allah kepada manusia! Tetapi kebanyakan manusia tidak mau bersyukur.” Kini lihatlah diri kita yang setiap hari bergelimang dengan harta. Setiap saat kita berdiskusi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, bahkan terkadang kita membicarakan jabatan agar bisa meraihnya. Padahal semua itu akan kita tinggalkan ketika malaikat maut datang menjemput.
Ketika hati kita sudah diisi dengan hawa nafsu dunia, maka cahaya Allah makin redup dalam diri kita. Dunia sudah kita besarkan setiap saat, sementara Allah yang telah menciptakan dan mencukupkan rezeki kita justru dikecilkan kedudukannya. Di manakah cinta kita kepada Allah yang Rahman dan Rahim?