PAGI itu, hari Jumat, 11 Rabi’ul Akhir 1439 H bertepatan 29 Desember 2017. Abah masih akan melanjutkan amanah untuk menyelesaikan beberapa urusan keluar kampus.
Abah merupakan panggilan untuk Ustadz Robi’in, salah seorang dai di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Dengan mengendarai sepeda motor bebek berwarna hitam yang sering digunakannya, Abah berangkat dengan penuh semangat tanpa pernah terlihat lelah.
Sekitar pukul 9 Abah pulang, karena ada beberapa berkas tertinggal, sambil singgah ke tepi kolam ikan patin yayasan -yang selama ini Abah rawat- untuk mengecek kondisi air. Kemudian Abah kembali ke kota untuk melanjutkan kegiatan yang sedang diselesaikan.
Sekitar pukul 11.10 WIB, Abah pulang dan berpesan kepada Ummi, demikian Ustadzah Fatimah, istri Abah, biasa dipanggil. Pesan Abah, selesai shalat Jumat ia akan balik lagi ke bank untuk melanjukan urusan dan berkas masih dititip di sana.
Jam di dinding menunjukkan bahwa 10 menit lagi adzan Jumat akan berkumandang.
Abah berucap kepada Ummi: “Saya lapar dan saya juga belum mandi, apa saya mandi ini…”
Jawab Ummi, “Makan dulu, setelah itu mandi, karena ini Jumat, nanti disiapkan air hangat.”
Setelah makan beberapa suap nasi dan sebiji donat, Abah bertanya lagi, “Itu suara ngaji di masjid kok kecil?”
“Nyaring kok suaranya, sampai rasa mau tuli kedengarannya,” Ummi menjawab sambil sedikit berekspresi.
“Owh… Berarti telingaku saja yang agak tuli, dan kepala agak pusing,” jawab Abah sambil sedikit bercanda.
“Mungkin Abah terlalu lelah itu,” Ummi menambahkan.
Abah pun segera menuju kamar mandi untuk mandi, sambil berucap, “Kepalaku agak pusing, dan berkunang-kunang pandangan”
“Kalau begitu, tidak usah ditutup pintu kamar mandinya, biar bisa dibantu kalau masih pusing,” Ummi menanggapi lantas bergegas menutup pintu depan dan belakang rumah. Supaya tidak ada yang masuk rumah ketika Abah sedang mandi.
Selesai mandi, Abah berhanduk sambil dibantu Ummi, karena terlihat Abah seperti agak berat melakukannya. Abah berwudhu pun sambil dipegangi Ummi, karena Abah seperti kepayahan untuk merunduk.
Selesai berwudhu, sambil tetap dipegangi Ummi, Abah menuju kamar untuk berpakaian. Namun tiba-tiba Abah bertahlil dengan intonasi yang agak cepat dan tidak terputus;
“Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh ….”
“Abah kenapa ?” tanya Ummi.
“Kepalaku sakit… Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh …” jawab Abah sambil menunjukkan bagian belakang kepalanya yang sakit.
Ummi pun menyarankan Abah baring, Abah turut, sambil terus melanjukan dzikir tahlilnya.
“Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh ….”
Ummi jadi semakin panik atas kondisi Abah yang demikian. Ia pun memanggil putra sulungnya yang sudah ada di masjid depan rumah.
Setibanya di rumah, putra sulung Abah duduk di sisi kanan Abah sambil ikut memijat-mijat dan bertanya, “Abah kenapa? Sakitnya di bagian mana?”
Abah menjawab dengan isyarat tunjukan ke kepala bagian belakangnya sambil terus berdzikir.
“Laailaha illalLoh … di sini … Laailaha illalLoh … Laailaha illalLoh …,” demikian jawab Abah.
Sang sulung bertanya ke Ummi, “Ummi, Abah sudah minum? Coba tawarin minum.”
Kemudian Ummi mengambilkan botol berisi air zam-zam di rak dan menawarkan ke Abah, lalu menyuapkan air itu. Sampai tiga teguk, Abah beri isyarat cukup sambil terus melanjutkan dzikirnya.
Adzan Jumat berkumandang. Ummi masih dalam kondisi panik sambil terus memanggil-manggil Abah.
“Abah… Abah… Dengar adzan, Abah!”
Abah hanya menjawab dengan anggukan dan deheman yang menandakan beliau masih mendengar.
Semakin mendekati akhir adzan, suara dzikir Abah semakin tidak jelas, hanya terdengar seperti orang bergumam berulang-ulang.
Ummi semakin panik dan terus memanggil dan bertanya apakah masih mendengar adzan, Abah masih terus bergumam dan semakin tidak jelas.
Selesai adzan berkumandang, Ummi dan putra sulungnya membisikkan doa selesai adzan ke telinga Abah. Bersamaan itu pula suara Abah menghilang, Ummi pun semakin panik.
Putra sulungnya menyarankan untuk segera membawa Abah ke rumah sakit, sambil segera keluar memanggil salah seorang ustadz Hidayatullah untuk mengantar ke sana.
Sesampainya, pihak rumah sakit berusaha untuk memberikan pertolongan. Namun kemudian, mereka memberikan kesimpulan, Abah sudah tidak bernapas meskipun detak jantung dan nadi masih terdeteksi sangat lemah. Kemungkinan Abah sadar sangat kecil.
Akhirnya salah seorang ustadz mengajak Ummi dan ketiga putranya berkumpul. Kemudian disepakati bersama-sama untuk menyatakan keikhlasan apa pun yang terjadi dengan Abah, supaya bisa meringankan apa yang sedang dilalui beliau.
Setelah selesai berkumpul, Ummi mengajak anaknya dan beberapa ustadz yang belum sempat shalat untuk pergi shalat ke mushalla rumah sakit. Sedangkan Abah ditunggui oleh putra bungsunya yang memang sudah shalat. Selesai shalat, dikabarkan bahwa Abah sudah wafat.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan Abah! InsyaAllah Ridha Allah menyertai perjalananmu.*
Dikisahkan untuk hidayatullah.com oleh Taqin Abuu Haniyya, putra sulung Ustadz Robi’in. Almarhum kelahiran Kediri, 28 Maret 1955, terakhir diamanahi sebagai Ketua Dewan Pembina Kampus Madya Hidayatullah Palangka Raya. Selain seorang istri, almarhum meninggalkan tiga orang putra.
Foto: (Almarhum) Ustadz Robi’in, dai Hidayatullah Palangka Raya, Kalimantan Tengah dalam suatu acara semasa hidupnya.