DI DUNIA, banyak sekali orang yang mengaku Muslim bahkan mengaku sebagai Muslim sejati, tapi Allah Subhanahu Wata’ala Wata’ala tidak mau mengakui keimanannya. Hal itu karena orang tersebut justru tidak mencerminkan dirinya sebagai Muslim sebenar-benarnya. Di dalam Al Qur’an Allah. tidak mengakui keimanan seseorang manakala kepribadiannya tidak mencerminkan seorang Muslim sejati.
Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ ٨
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allahdan Hari Kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah:8)
Agar seorang Muslim diterima dan diakui keimanan serta keislamanannya oleh Allah. Maka dia harus melekatkan dengan sesungguh hati karakteristik atau ciri-ciri khas pribadi Muslim dalam kepribadiannya.
Paling tidak, ada lima karakteristik pribadi Muslim sejati yang harus lekat dalam kepribadian kita.
Pertama, bertakwa kepada Allah. dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqatih). Tilawah dengan sebenar-benar tilawah (haqqa tilawatih). Berjihad dengan sebenar-benar jihad (haqqa jihadih). Hal ini diperlukan karena takwa merupakan kunci kemudahan seseorang, sehingga bagi Muslim yang sejati akan terus memperkukuhnya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, setiap jumat kita selalu mendapat wasiat dari para khotib untuk terus meningkatkan takwa. Manakala takwa telah berhasil diperkukuhnya dalam hidup ini, niscaya seorang Muslim selalu siap menghadapi kematian dalam keadaaan tunduk serta patuh kepada Allah. Keadaan inilah yang memang diharapkan Allah Subhanahu Wata’ala ada kita sebagaimana terdapat dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS: Ali- Imran:102).
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ١٢١
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS: Ali Imran: 121)
وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’aladengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” [QS: Ali Imran: 78]
Takwa sebagaimana dalam pengertian yang telah disepakati oleh para ulama adalah, “Takwa”: melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala dan meninggalkan larangan-Nya baik dalam keadaan sunyi maupun ramai.”
Merujuk pendapat Ibnu Abas, takwa adalah Alloh selalu ditauhidkan dan tidak disekutukan, Allah Subhanahu Wata’ala disyukuri nikmat-Nya dan tidak diingkarinya, Nama Allah selalu diingat dan tidak dilupakan sesibuk apapun dan bagaimanapun, Allah selalu didekati dan tidak dijauhi.
Kedua, selalu berusaha untuk masuk kedalam islam secara kaffah, menyeluruh, atau total. Hal ini berarti bahwa Muslim yang sejati itu tidak hanya menyesuaikan diri dalam suatu aspek, tetapi seluruh aspek kehidupannya akan terus diusahakan sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, dia tidak akan menempuh cara-cara yang tidak islami. Dia tidak akan memenuhi keingan-keinginan setan. Apa yang dipenuhinya adalah keinginan Allah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS: Al-Baqarah:208).
Kenyataan di dalam masyarakat kita yang mayoritas Muslim menunjukkan bahwa ketaatan berpandangan dan berperilaku yang islami umumnya belum terealisasi dengan baik. Misalnya dalam beribadah ritual sesuai dengan syariat Islam, tetapi dalam beribadah social menceraikan keterlibatan Allah Subhanahu Wata’ala.
Demikian pula dalam aspek social, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, absen dari bimbingan, arahan, dan petunjuk Allah. Sehingga, dalam bermuamalah, cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan jangka pendek (al ghoyatu tubarrirul wasail). Tidak ada pertemanan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Ketika sepi, memerlukan Allah, ketika dalam keramaian meninggalkan Allah.* Bersambung
Oleh: Shalih Hayim