Beberapa waktu yang lalu, Indonesia digemparkan dengan rilisnya 200 nama penceramah yang secara resmi telah direkomendasikan oleh kementrian Agama (kemenag). Awalnya kemenag hanya ingin merespon pertanyaan dari sebagian besar masyarakat yang menginginkan nama-nama penceramah atau ulama yang bisa mengisi kegiatan keagamaan.
Namun, setelah dirilis pro kontra bergeliat dimana-mana, bahkan kemenag diminta untuk menarik kembali edaran 200 nama penceramah tersebut dengan alasan banyaknya penceramah-penceramah yang mumpuni tidak masuk dalam daftar nama tersebut.
Padahal kemenag telah menjelaskan bahwa 200 nama tersebut tidak membatasi dan masih dalam tahap awal, serta kemenag juga telah memilih 200 nama tersebut sesuai dengan tiga kriteria yakni memiliki kompetensi keilmuan yang tinggi, reputasi yang baik dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.
Terlepas dari kisruh 200 nama penceramah tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua umat Islam itu mampu memahami teks-teks agama Alquran dan hadis, sehingga mereka butuh panutan dan wejangan-wejangan dari orang yang paham agama atau biasa disebut dengan ulama.
Namun, di zaman sekarang banyak sekali orang yang menipu atas nama agama, ia hanya bermodalkan pakaian jubah, sorban dan berjenggot panjang lantas membicarakan agama sekenanya saja bahkan ia lebih pantas menjadi tontonan saja daripada tuntunan. Oleh karena itu, agar tidak tertipu dengan penampilan atau gelar saja, maka perlu sekali kita mencermati lima kriteria ulama menurut almarhum KH. Ali Mustafa Ya’qub berikut ini:
- Ilmu Agama
Kriteria pertama, seorang dapat disebut ulama ahli waris Nabi adalah ia memiliki ilmu agama (Islam). dimaksudkan dengan memiliki ilmu agama ini adalah ia bukan sekedar mengetahui ilmu-ilmu agama Islam untuk diamalkan kepada dirinya sendiri melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan keagamaan yang disampaikan orang lain.
Ulama sebagai ahli waris Nabi adalah seorang yang dapat disebut sebagai ahli agama, bukan ahli dalam bidang kedirgantaraan, kelautan, kehutanan, pertanian, urusan tanah, cacing dan sebagainya. masalahnya, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa ulama’ itu ahli waris para Nabi. Sementara para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham tetapi mewariskan ilmu. Begitu kata Nabi Saw. seperti diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dalam kitab Sunannya. Dan ternyata para Nabi itu khusus Nabi Muhammad Saw. tidak pernah mewariskan ilmu kehutanan dan sebangsanya melainkan ilmu syariah atau ilmu agama Islam. Nabi Muhammad saw. sendiri pernah ditanya masalah pertanian, ternyata beliau menjawab “Kamu lebih tahu mengetahui tentang dunia (pertanian) kamu dari pada saya.”
Jadi Ulama ahli waris Nabi hanyalah orang orang yang ahli agama Islam yang batasan mudahya adalah mampu memahami Al Quran dan Hadis-hadis Nabi Saw. atau dengan kata lain mampu membaca kitab kuning begitu saja. sebab orang yang tidak mampu membaca kitab kuning, keahlian agamanya belum meyakinkan.
2. Khasy’yah kepada Allah
Dalam surah Fathir ayat 28, Allah berfirman “Yang khasyah kepada Allah dari hamba hambaNya hanyalah para ulama saja.” Khasy’yah artinya takut yang dibarengi dengan penghormatan dan ketundukan. Orang yang khasy’yah kepada Allah justru semakin mendekat Allah, bukan lari meninggalkan Allah.
Karenanya Ulama ahli waris Nabi ditandai dengan perilakunya yang selalu takut dan taat kepada Allah. Ia bukanlah seorang yang berprilaku maksiat dan atau takut kepada selain Allah. Ia juga bukan sosok yang akrab dan suka runtang runtung dengan para pelaku maksiat, sebab perbuatan seperti ini juga sudah tergolong maksiat, Nabi Saw. sendiri pernah memboikot para pelaku maksiat. Beliau tidak mau berbicara bahkan menjawab salam pun tidak, sampai mereka bertaubat kepada Allah.