Lisa Suhay menjadi mualaf sebelum Ramadhan tahun ini. Ia mengaku, menjalani ritual di bulan suci ini membuatnya kecanduan Islam.
Pekan pertama Ramadhan ia jalani dengan bahagia. Perempuan asal Virginia, AS ini tak mengalami kesulitan menjalani puasa walaupun ia punya masalah dengan pola minum. Ia khawatir lupa minum. Bagi dia, rasa haus lebih menyiksa daripada rasa lapar.
Keluarganya bukan Muslim. Bahkan, suaminya sangat keberatan dengan semua hal berbau Islam. Namun, Lisa justru tertarik datang ke masjid. Berbuka puasa di masjid merupakan hadiah yang baginya lebih besar daripada makanan budaya baru yang dibagikan di sana.
Masyarakat sekitar tak menyambut baik keputusannya menjadi seorang Muslim. Walaupun begitu, selalu ada sekumpulan orang yang menyambut dia.
Pada pekan kedua, ia telah menemukan strategi untuk sahur. Ia mulai bisa menghindari agar tidak kekurangan energi dan gangguan tidur. Ia sadar akan lebih sulit pada 10 hari terakhir.
Dengan berdiri selama shalat tarawih dari pukul 10.00 WIB, kakinya terasa keram dan punggungnya sakit, namun ada ikatan pertemanan yang lebih kuat. Pada jam kedua, ia mulai bergoyang ke kiri-kanan agar otot tak kaku.
Dengan semangat mengabdi kepada Allah SWT dan makan sahur pukul 03.30 WIB, Lisa membaca Alquran dan 99 asmaul husna dengan lantang. Ia mengaku kagum kepada para perempuan yang mengorbankan waktu-waktu shalat untuk menyiapkan makan dan bersih-bersih selama Ramadhan.
Lisa mengaku tak punya guru. Ia mengandalkan pencarian online tentang tata cara salat dan aplikasi Muslim Pro serta Youtube. Akibatnya, ia tak tahu yang harus dilakukan pada 10 malam terakhir Ramadhan dan Idul Fitri. Ia mendengar seorang perempuan berkata, “Baiklah kita dalam 10 malam terakhir sekarang.”
Lisa mulai bertanya tentang tahajud. Ia berpikir, ia berdiri selama berjam-jam dalam pertaubatan dengan bahasa yang tidak ia mengerti.
Ia tak tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat sulit. Tahajud membawanya pada tingkat yang benar-benar berbeda. Bangun di tengah malam ke tempat ibadah selama berhari-hari belum pernah dijalani. Ia tak punya persiapan apa pun. Baginya ini pengalaman komunitas dan keimanan yang menakjubkan.
“Aku berharap bisa kelelahan, mengantuk dan kesepian,” kata dia.
Mencoba pengalaman itu membuatnya menyadari sifat adiktif Ramadhan dan Islam itu sendiri. Ia merasa dituntun pada kehidupan baru dan kekuatan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Pagi-pagi, ia bukannya kelelahan tapi justru merasa penuh energi.
Ia terbiasa berjalan kaki ketika tarawih dan tahajud, sebab masjid hanya berjarak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Namun, setelah seorang gadis Muslim berusia 17 tahun diculik dan dibunuh saat berjalan pulang dari sebuah masjid di Virginia, Lisa memilih tinggal di masjid.
Lisa senang memakai abaya hitam pemberian Khadijah dari Maroko. Pakaian itu sederhana, ramping, dan sejuk di tengah panasnya Virginia. Ia percaya abaya adalah busana Muslim yang setara dengan little black dress. Pakaian itu cantik dan klasik dan secara universal sesuai untuk setiap kesempatan.
Hampir setiap non-Muslim yang ia kenal terkejut, ngeri, jijik dan marah saat melihat Lisa mengenakan abaya dan jilbab untuk pertama kali. Mereka mengasosiasikan keduanya dengan stereotip Muslim negatif. Lisa berharap, dengan melihat satu per satu perubahan menuju kebaikan, orang-orang itu akan dilembutkan hatinya.
Di malam-malam terakhir Ramadhan, ia merasa mendapat perlindungan dari Allah. Kemana pun ia pergi dan dengan siapa pun, ia mencoba mempraktikkan Islam dengan baik.
“Jadi sekarang saya menantikan Idul Fitri. Saya sedih Ramadhan akan berakhir. Saya harus menunggu satu tahun lagi untuk tenggelam dalam masyarakat karena begitu banyak saudara laki-laki dan perempuan ini datang ke masjid selama liburan ini,” kata Lisa.