Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berfirman di dalam al-Qur’an,
وَتَمَّت كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدقًا وَعَدلًا
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (yakni, al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” [Surat al-An’am: 115]
Kalimat yang benar adalah hal-hal yang wajib untuk kita imani dan yakini, seperti perkara i’tiqadat, dan kalimat yang adil adalah hal-hal yang wajib untuk kita patuhi dan taati, seperti perkara ‘amaliyyat.
Apa yang disebutkan oleh syari’at berupa perkara i’tiqadat atau perkara akidah, seperti tentang Nama dan Sifat Allah, kehidupan akhirat dan alam kubur, kejadian dan peristiwa yang terjadi di masa lalu ataupun di masa mendatang, maka semua ini adalah perkara yang benar dan haq sehingga wajib untuk kita imani dan yakini. Sedangkan apa yang ditetapkan oleh syari’at berupa perkara ‘amaliyyat atau perkara fikih, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan umrah, dan hukum-hukum jual-beli, maka semua ini mengandung perintah dan larangan Allah yang adil sehingga wajib untuk kita patuhi dan taati.
Sebagian besar dari perkara akidah adalah perkara yang terdapat ijma’ di dalamnya, sehingga tidak boleh bagi kita untuk menyelisihinya, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara akidah yang merupakan perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, seperti apakah mizan (timbangan) di akhirat kelak itu jumlahnya hanya ada satu atau jumlahnya satu untuk setiap orang atau untuk setiap amalan. Adapun sebagian besar dari perkara fikih adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara fikih yang merupakan perkara ijma’, seperti tentang wajibnya shalat dan haramnya zina.
Tidak boleh bagi kita untuk memunculkan pendapat kedua dalam perkara-perkara yang telah terdapat ijma’ para ulama’ mujtahidin di dalamnya. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ dalam masalah ini, maka dia telah keluar dari akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah. Di antara masalah-masalah fikih yang berkaitan erat dengan akidah ahlus-sunnah, dan bahkan dijelaskan oleh para ulama’ untuk menjelaskan akidah ahlus-sunnah dalam kitab-kitab akidah mereka adalah sebagai berikut.
Masalah Pertama: Mengusap khuff
Jika seseorang mengambil wudhu’ lalu mengenakan khuff kemudian wudhu’nya tersebut batal karena hadats kecil, maka ketika berwudhu’ kembali dia tidak perlu untuk melepas khuffnya. Dia cukup untuk mengusap khuff, dengan tata cara dan ketentuan seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Dalil disyari’atkannya mengusap khuff adalah dari ayat Qur’an, hadits Nabi, dan bahkan ijma’. Dalil dari Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يـٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا إِذا قُمتُم إِلَى الصَّلوٰةِ فَاغسِلوا وُجوهَكُم وَأَيدِيَكُم إِلَى المَرافِقِ وَامسَحوا بِرُءوسِكُم وَأَرجُلَكُم إِلَى الكَعبَينِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Surat al-Ma’idah: 6]
Dalam qira’ah lain, ayat ini dibaca “wa-arjulikum” yang tafsirnya adalah mengusap khuff.
Adapun dalil dari Sunnah misalnya adalah hadits dari al-Mughirah ibn Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأهويت لأنزع خفيه، فقال: دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين. فمسح عليهما.
“Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebuah safar, maka aku menjulurkan tanganku untuk melepaskan kedua khuff beliau, tetapi beliau bersabda, ‘Biarkanlah keduanya, karena aku mengenakannya dalam keadaan suci.’ Maka beliau pun mengusap kedua khuff tersebut.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Bahkan hadits-hadits tentang mengusap khuff diriwayatkan oleh banyak sahabat, sehingga derajatnya mencapai derajat mutawatir. Dalam masalah ini juga terdapat ijma’, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Mundzir dan Ibnul-Mubarak rahimahumallah, sehingga tidak boleh bagi kita untuk mengingkari syari’at mengusap khuff ini. Akan tetapi, kaum syi’ah menolak dan mengingkari syari’at ini, padahal telah ada riwayat dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه، وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه.
“Seandainya agama itu berdasarkan akal logika, maka bagian bawah khuff itu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas dari kedua khuff beliau.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud]
Itu mengapa Imam ath-Thahawiy rahimahullah memasukkan permasalahan ini ke dalam kitab beliau tentang akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah, untuk menjelaskan bahwa mengusap khuff adalah syi’ar akidah ahlus-sunnah yang membedakan dengan akidah kaum syi’ah. Beliau rahimahullah berkata,
ونرى المسح على الخفين في السفر والحضر كما جاء في الأثر.
“Kami meyakini (disyari’atkannya) mengusap khuff baik ketika safar ataupun tidak sebagaimana yang disebutkan dalam atsar.” [al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, karya Ahmad ibn Muhammad Abu Ja’far ath-Thahawiy]
Masalah Kedua: Qashar shalat saat safar
Ahlus-sunnah meyakini bahwa qashar shalat saat safar itu disyari’atkan, baik safarnya dalam kondisi aman ataupun takut terhadap serangan musuh. Akan tetapi, kaum khawarij meyakini bahwa qashar shalat itu hanya disyari’atkan ketika safarnya dalam kondisi takut. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَإِذا ضَرَبتُم فِى الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلوٰةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu, jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” [Surat an-Nisa’: 101]
Mereka berkata bahwa ada syarat “takut diserang oleh orang-orang kafir” pada ayat ini, sehingga qashar shalat hanya disyari’atkan jika safarnya dalam kondisi takut terhadap serangan orang-orang kafir. Adapun jika safarnya dalam kondisi aman, sebagaimana safar yang kita lakukan selama ini alhamdulillah, maka mereka berkata bahwa qashar shalat tidak disyari’atkan.
Padahal, tidak ada riwayat yang shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan bilangan raka’at shalat (yakni, tidak qashar) ketika beliau sedang safar. Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة فكان يصلي ركعتين ركعتين حتى رجعنا إلى المدينة.
“Kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau shalat dua raka’at dua raka’at sampai kami kembali ke Madinah.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لا يزيد في السفر على ركعتين، وأبا بكر وعمر وعثمان كذلك، رضي الله عنهم.
“Aku membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at ketika safar. Demikian pula Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Yang dimaksud tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at di sini adalah pada shalat yang jumlah raka’atnya adalah empat raka’at, yaitu shalat zhuhur, ashar, dan isya’. Adapun shalat maghrib, maka tetap dikerjakan sebanyak tiga raka’at.
Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qashar shalat walaupun safar beliau dalam kondisi aman, seperti safar yang terjadi setelah Fathu Makkah. Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan syarat tambahan pada ayat di atas, yaitu syarat “jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir”?
Jawabannya adalah bahwa ini bukanlah syarat tambahan. Kalimat tersebut disebutkan dalam ayat karena itulah kondisi dominan yang terjadi pada saat ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Fathu Makkah, maka safar yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah safar yang membahayakan, baik itu safar untuk hijrah ke Habasyah, safar untuk hijrah ke Madinah, safar untuk menuju Badar, dll. Oleh karena itu, kalimat di atas disebutkan dalam ayat bukan sebagai syarat, tetapi sebagai penegas saja. Dalam ilmu ushul fikih, hal ini dikenal dengan kaidah: “Tidak ada mafhum mukhalafah dalam kalimat atau frasa yang itu disebutkan karena terjadi secara dominan.”
Oleh karena itu, baik menggunakan dalil Qur’an ataupun Sunnah, kita simpulkan bahwa qashar shalat saat safar adalah hal yang disyari’atkan, walaupun safarnya dalam kondisi aman. Hal ini memberikan kita pelajaran bahwa tidak boleh bagi kita untuk langsung mengambil kesimpulan hukum dari sebuah dalil tanpa merujuk pada penjelasan para ulama’ tentang tafsiran dan pemahaman yang benar tentang dalil tersebut. Banyak pemahaman menyimpang yang muncul disebabkan oleh perbuatan seperti ini.
Masalah Ketiga: Bersiwak menggunakan siwak milik orang shalih
Hukum asal dari bersiwak adalah mandub atau sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.
“Siwak itu membersihkan mulut dan membuat Allah ridha’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’iy]
Akan tetapi, hukumnya bisa menjadi wajib jika mulut kita memiliki bau yang harus dihilangkan sebelum menghadiri shalat berjama’ah, atau ketika ada najis pada mulut kita yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara bersiwak, atau ketika kita bernadzar.
Bersiwak bisa menjadi haram jika kita menggunakan siwak milik orang lain tanpa izinnya dan tidak diketahui apakah dia ridha’ dengan hal tersebut. Adapun jika kita menggunakan tanpa izinnya tetapi diketahui bahwa dia ridha’ dengan hal tersebut, maka hukumnya menjadi makruh. Demikian pula, bersiwak bisa menjadi makruh jika kita melakukannya setelah waktu zawal sementara kita sedang berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.
“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di Sisi Allah daripada bau misik.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Adapun jika kita bersiwak menggunakan siwak milik orang lain setelah mendapatkan izin darinya, maka hukumnya adalah khilaful-aula. Akan tetapi, jika yang kita gunakan tersebut adalah siwak milik orang shalih dengan niat untuk tabarruk (mencari berkah), maka sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukumnya menjadi sunnah.
Masalah yang terakhir ini berkaitan erat dengan hukum tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih. Sebagian ulama’ membolehkan hal ini dengan misalnya bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
كان نبي الله صلى الله عليه وسلم يستاك فيعطيني السواك لأغسله فأبدأ به فأستاك ثم أغسله وأدفعه إليه.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian memberikan siwaknya kepadaku untuk aku cuci. Maka aku pun bersiwak dengan menggunakan siwak itu terlebih dahulu lalu aku cuci dan aku berikan kepada beliau.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud]
Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,
والحديث فيه ثبوت التبرك بآثار الصالحين والتلذذ بها، وفيه أن استعمال سواك الغير جائز، وفيه استحباب غسل السواك.
“Dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya tabarruk dengan benda milik orang shalih, bolehnya menggunakan siwak milik orang lain, dan disunnahkannya mencuci siwak.” [Ghayatul-Maqshud fiy Halli Sunan Abi Dawud, karya Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy (1/213)]
Akan tetapi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh bagi kita untuk tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih, karena tidak ada dalilnya. Adapun hadits ‘Aisyah di atas, maka itu hanya khusus pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Jika tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu disyari’atkan, maka tentu para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah melakukan tabarruk kepada Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aliy dan para sahabat yang paling utama lainnya, radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jika hal tersebut baik, maka sudah tentu mereka lebih dulu melakukannya. Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata,
ولا يجوز أن يقاس أحد من الأمة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومن ذاك الذي يبلغ شأوه؟ قد كان له صلى الله عليه وسلم في حال حياته خصائص كثيرة لا يصلح أن يشاركه فيها غيره.
“Tidak boleh diqiyaskan seorang pun di kalangan umat ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memangnya siapa yang bisa mencapai seperti derajat beliau? Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya memiliki banyak kekhususan yang tidak dimiliki pula oleh orang lain.” [ad-Din al-Khalish, karya Shiddiq Hasan Khan (2/250)]
Bahkan sebagian ulama’ telah menyebutkan adanya ijma’ tentang tidak bolehnya melakukan tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara yang menyebutkan ijma’ ini adalah asy-Syathibiy dalam kitab beliau al-I’tisham dan Ibn Rajab dalam kitab beliau al-Hikam al-Jadirah bil-Idza’ah, rahimahumallah.
Dari pemaparan di atas, kita simpulkan bahwa bersiwak dengan menggunakan siwak milik orang shalih dengan niat tabarruk adalah haram dilakukan dan merupakan amalan bid’ah karena tidak ada dalilnya dan tidak ada contohnya dari para generasi terdahulu. Demikian pula bentuk-bentuk lain dari tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih.
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53837-masalah-masalah-fikih-yang-berkaitan-erat-dengan-akidah-ahlus-sunnah.html