Sebentar lagi bulan Ramadhan akan datang. Semoga kita semua mendapatkan kesempatan bertemu bulan Ramadhan hingga bisa turut beribadah. Sebagai umat muslim yang telah aqil dan baligh, maka kita diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa saat bulan Ramadhan. Kewajiban ini diberikan kepada setiap muslim baik lelaki maupun perempuan. Tapi terkadang dalam bulan Ramadhan, utamanya perempuan mengalami menstruasi saat Ramadhan sehingga dilarang berpuasa dan harus menggantinya di hari lain. Tapi seringkali seorang muslimah, ataupun muslim menunda untuk mengqadha puasa sampai tidak sadar sudah masuk ke bulan Ramadhan berikutnya. Lalu, bagaimana qadha seorang muslim yang masih punya hutang puasa di dua Ramadhan sebelumnya?
Kewajiban berpuasa Allah terangkan dalam surat Albaqoroh ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Kembali pada topik utama, bagaimana ketetapan qadha puasa bagi seseorang yang belum membayar hutang puasanya pada dua Ramadhan yang lalu?
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu menampilkan beberapa pendapat ulama utamanya dari ulama empat mazhab. Disunnahkan untuk mempercepat qadha Ramadhan agar terbebas dari kewajiban. Dan wajib bertekad untuk mengqadha setiap ibadah yang ditinggalkan dalam waktu yang cepat, tidak menunda-nunda. Artinya, mengqadha puasa jangan sampai terlewat Ramadhan berikutnya.
Ulama Mazhab Syafii mewajibkan seseorang untuk segera melunasi hutang puasanya bagi seseorang yang batal tanpa uzur syar’i. Artinya, ia membatalkan puasa secara sengaja, bukan karena menstruari, sakit, atau dalam perjalanan. Dan makruh hukumnya untuk melakukan sunnah puasa bagi seseorang yang masih memiliki hutang puasa.
Nah, mengenai kasus menundanya seseorang membayar hutang puasa sampai memasuki Ramadhan kedua, mayoritas ulama mengatakan wajib menggantinya disertai membayar fidyah. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi tidak mewajibkan untuk membayar fidyah. Adapun ketentuan membayar fidyah adalah dengan memberikan orang miskin makanan pokok sebanyak 1 mud. Jika dikonveksikan sebanyak 6,75 ons. Karena Indonesia memiliki makanan pokok berupa beras, maka caranya adalah dengan memberikan orang fakir atau miskin dengan beras sejumlah 6, 75 ons.
Sedangkan ulama Mazhab Syafii berpendapat, fidyah yang diberikan dikalkulasikan kelipatan tahun ia melewati qadha puasa. Misal, seseorang lalai tidak membayar hutang puasanya sampai bertemu tiga tahun kemudian ia baru ingat dan sadar untuk membayarnya. Artinya ia telah melewatikan tiga kali Ramadhan tanpa membayar hutang puasanya, maka ia membayar satu hari puasa dengan tiga kali fidyah.
Akan tetapi ketentuan qadha tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan pada hari-hari yang terlarang. Seperti puasa pada hari raya atau tidak pada waktu Ramadhan karena sedang melakasanakan puasa yang sifatnya Ada`. Ketentuan pelaksanaan qadha pun harus sesuai jumlahnya. Jika seorang muslim berhutang 29 hari maka ia wajib membayar semuanya.
Melakukan qadha puasa juga disunnahkan untuk terus-menerus tanpa dijeda, inilah yang disepakati mayoritas ahli fikih. Akan tetapi boleh juga untuk tidak melaksanakannya dengan berututan, artinya boleh dijeda. Misal, seseorang memiliki hutang puasa sebanyak 10 hari, lalu ia mencicilnya dengan cara berpuasa tiap dua kali seminggu sampai semuanya terlunasi. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kewajiban membayar puasa dengan berurutan.
Dalil yang menunjukkan wajibnya qadha puasa termaktub dalam surat Albaqoroh ayat 184:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.
Dalam ayat tersebut, menurut para ulama tidak ada satupun yang menunjukkan kewajiban untuk menqadha puasa dengan berurutan. Ayat ini hanya menunjukkan kewajiban membayar puasa yang ditinggalkan saja.
Akan tetapi jika waktu telah sempit, misal seseorang baru akan membayar hutang puasanya saat bulan Sya’ban ini, hendaklah segera melunaskannya dan dengan cara terus-menerus tanpa jeda. Terutama perempuan yang pada setiap bulan mengalami menstruasi. Hal tersebut dikhawatirkan akan tidak sempat sampai bertemu bulan Ramadhan berikutnya.
Kesimpulannya, ulama berbeda pendapat tentang qadha puasa bagi seseorang yang masih punya hutang puasa pada dua Ramadhan sebelumnya. Akan tetapi mengikuti ulama mayoritas untuk mengqodho dan menunaikan fidyah. Wallahu a’lam bisshowab.
Yuk bersihkan penghasilan kita bersama Baznas dan Kitabisa, klik di sini!