Hukum-Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita

PUASA pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dan puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan pondasi Islam yang besar. Ada beberapa hukum khusus tentang puasa bagi wanita.

Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ )

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Maka apabila seorang anak wanita sudah sampai pada batas umur yang ia berkewajiban melaksanakan agama dengan nampaknya tanda-tanda baligh, salah satunya adalah ‘haidh, pada waktu itu kewajiban puasa atasnya dimulai.

Haidh itu terkadang nampak ketika berumur sembilan tahun. Terkadang ia juga belum mengetahui wajibannya berpuasa sehingga dia tidak berpuasa karena mengira bahwa dia masih kecil, sedangkan orang tua tidak memperhatikan hal itu dan tidak memerintah untuk berpuasa.

Hal ini merupakan suatu kelengahan yang sangat besar dalam meninggalkan rukun Islam. Jika hal seperti ini terjadi, maka wajib baginya untuk mengqadha puasa yang ketika pertama kali mengalami haidh itu, walaupun hal itu telah lama berlalu, karena hal tetap berlaku dan masih menjadi tanggungannya untuk dilaksanakan.

Catatan:

Dan wajib atasnya memberi makan fakir misk setiap hari setengah sha’ makanan (kurang lebih satu liter beras) di samping ia mengqadha puasanya.

ORANG YANG WAJIB BERPUASA RAMADHAN

Apabila bulan Ramadhan tiba, maka setiap muslim dan muslimah yang sudah Aqil baligh, dalam keadaan sehat dan sedang mukim di rumah (bukan musafir) wajib berpuasa.

Orang yang sedang sakit atau musafir (sedang melakukan perjalanan) pada bulan tersebut, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa), dan ia wajib mengqadha puasanya di bulan lain sebanyak hari yang ia tinggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر …

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Demikian pula orang yang berusia lanjut (tua renta) yang tidak sanggup berpuasa, atau seorang yang sedang sakit dengan sakit yang menahun, yang mana harapannya untuk sembuh tipis dalam waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, baik dia laki-laki, maupun wanita, dia boleh tidak berpuasa, dan untuk itu dia harus memberi makan fakir miskin setiap hari setengah sha’ (kurang lebih satu liter) dengan makanan pokok yang biasa dimakan oleh penduduknya.

Allah Ta’ala berfirman:

“…maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

‘Abdullah bin ‘Abbas (Ibnu Abbas) mengatakan bahwa keterangan ayat ini untuk orang yang berusia lanjut yang mana kemampuan menjalankan tidak dapat diharapkan.’ (HR. Al-Bukhari)

Juga untuk orang sakit yang kesembuhan penyak tidak dapat diharapkan, sama seperti hukum orang yang berusia lanjut yang ia tidak perlu mengqadha puasa, karena ia tidak mungkin bisa melakukannya.

Khusus bagi wanita terdapat beberapa halangan (udzur) yang membolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, akan tetapi ia harus membayarnya dengan cara lain atau pada bulan yang lain dengan sebab dia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tersebut.

Adapun halangan (udzur)nya sebagai berikut:

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Haid dan Nifas

HAIDH DAN NIFAS

Diharamkan bagi wanita untuk berpuasa selama ia berada dalam keadaan haidh atau nifas, dan wajib baginya mengqadha puasa pada hari-hari lainnya, berdasarkan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu’anhaa ia berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاة

“Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”

Ketika Aisyah ditanya oleh seorang wanita tentang hal tersebut: “Mengapa orang yang haidh harus membayar qadha puasa sedangkan dia tidak harus membayar qadha shalat?” Maka ‘Aisyah menjelaskan bahwa perkara-perkara ini merupakan perkara ‘tauqifiyah, yang mana hukum ini mengikuti nash (dalil) yang berlaku.

HIKMAH PERINTAH TERSEBUT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XV/251): “Adapun yang keluar pada waktu haidh adalah darah haidh, dan orang yang sudah biasa haidhv dimungkinkan berpuasa pada waktu tidak keluar darah haidh, maka puasanya pada waktu itu merupakan puasa yang prima, karena tidak mengeluarkan darah yang dapat memperkuat keadaan tubuhnya, karena dia salah satu unsur tubuhnya.

Adapun apabila puasanya dilakukan pada waktu keluar darah, yaitu waktu haidh, darah yang keluar adalah bagian dari unsur tubuhnya yang akan menyebabkan tubuhnya kurang prima dan lemah, dan puasanya akan terlaksana dengan kondisi yang tidak stabil, maka wanita itu diperintahkan berpuasa bukan pada haidh.

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Hamil dan Menyusui

Puasa bagi seorang wanita dalam keadaan hamil atau dalam keadaan menyusui bisa menyulitkan baginya atau bagi anak bayi di dalam kandungannya, atau keduanya mendapatkan kesulitan. Maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam keadaan tersebut.

Lalu apabila kesulitan itu terjadi pada anak bayinya saja yang menyebabkan ibu tidak berpuasa, maka ia wajib mengqadha puasa dan juga memberi makan orang miskin setiap harinya.

Apabila kesulitan terjadi pada ibunya, ia hanya cukup mengqadha puasanya saja.

Hal ini berdasarkan ayat tersebut karena hamil’ dan ‘wanita menyusui’ termasuk dalam pengertian yang umum dari firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنِ .

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (379) “Dan yang mengikuti pengertian dalam ayat ini (orang-orang yang berat menjalankannya) adalah wanita hamil dan wanita menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan akan kesehatan dirinya atau anaknya.”

Syukhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika wanita yang sedang hamil itu mengkhawatirkan janinnya maka ia boleh tidak berpuasa dan membayar qadha puasanya untuk setiap hari yang ditinggalkaonnya, serta memberi makan setiap harinya seorang miskin sebayak satu kati roti (makanan pokok).”

a. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Mustahadhah

Adalah darah yang keluar yang tidak sesuai dengan darah haidh seperti yang telah kita bicarakan. Maka wanita yang mengalaminya wajib berpuasa, tidak dibolehkan berbuka dengan alasan darah istihadhah tersebut.
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ketika membicarakan ‘tidak puasanya wanita yang sedang haidh: “berbeda dengan darah istihadhah, karena istihadhah keluarnya meliputi tenggang waktu dan tidak ada waktu jeda untuk diperintahkan berpuasa, dan mungkin menahannya agar tidak keluar sebagaim muntah, dan keluarnya darah pada luka bisul dan keluarnya mani pada waktu mimpi.

Untuk hal-hal tersebut tidak ada tenggang waktu tertentu yang memungkinkan untuk menjaga kejadiannya. Dengan demikian keadaan ini tidak dijadikan larangan untuk berpuasa seperti datangnya darah haidh (Majmuu’al-Fataawaa)(XXV/251)

b. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Kewajiban wanita haidh, wanita hamil dan wanita menyusui.

Apabila mereka tidak mengqadha puasa atas hari yang mereka tinggalkan antara bulan Ramadhan yang mereka tidak berpuasa dengan bulan Ramadhan yang akan datang, sedangkan segera mengqadha itu lebih utama (afdhal), dan jika hari-hari menjelang bulan Ramadhan yang mendatang itu tinggal (hanya beberapa hari lagi), maka kesempatan ini digunakan untuk mengqadha puasanya dari ditinggalkan pada Ramadhan yang telah lalu sehingga masuknya Ramadhan berikutnya.

Dan hal itu tidak disebabkan karena halangan (udzur) sehingga mereka belum mengqadhanya, maka wajib bagi mereka (nanti) untuk mengqadhanya dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya menurut hitungan jumlah harinya.

Akan tetapi apabila ia tidak mengqadhanya disebabkan suatu halangan (udzur), maka mereka hanya mengqadha puasanya saja Demikian pula bagi orang yang mempunyai kewajiban puasa qadha yang disebabkan oleh halangan sakit atau safar (berpergian jauh), maka hukumnya sama seperti mereka yang tidak berpuasa karena haidh, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

c. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Puasa sunnah.

Tidak dibolehkan bagi wanita untuk puasa sunnah apabila suaminya berada di rumah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi shallallahu bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدُ إِلَّا بِإِذْهِ.

“Tidak boleh bagi seorang isteri melakukan puasa (sunnah), sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izin suaminya.”

Dalam sebagian riwsayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan:

“Adapun jika sang suami mengizinkannya untuk melakukan puasa Sunnah, atau suaminya tidak ada di rumah, atau memang ia tidak bersuami, maka disunnahkan baginya untuk mengerjakan puasa Sunnah terutama pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti hari Senin dan hari Kamis, 3 hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15), 6 hari di bulan Syawwal, hari ‘arafah, dan hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) dan sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya.”

Pengecualian terjadi, yaitu tidak layak baginya mengerjakan puasa sunnah sedangkan ia mempunyai utang qadha Ramadhan, maka puasa qadha harus didahulukan.

d. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Wanita haidh suci di tengah hari Ramadhan

Apabila seorang wanita suci dari haidhnya di tengah hari pada bulan Ramadhan, maka ia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di sisa waktu tersebut hingga Maghrib. Dan puasa di hari itu harus diqadha beserta hari-hari yang ia tinggalkan karena Sedangkan imsaknya (menahan diri dan ikut berpuasa pada hari itu karena telah suci dari haidhnya) adalah suatu kewajiban baginya untuk menghormati waktu puasa/bulan Ramadhan. []

Dinukil dari kitab “Tuntunan Praktis Fikih Wanita” oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al-Fauzan.

ISLAMPOS

Orang yang Berbohong ketika Puasa Boleh Makan Minum?

Pertanyaan:

Saya mendengar bahwa orang yang berbohong ketika puasa maka puasanya sia-sia. Lalu apakah orang yang berbohong ketika puasa setelah itu boleh makan dan minum?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, berbohong tidak membatalkan puasa. Namun memang berbohong itu bisa membatalkan pahala puasa, sebagaimana maksiat-maksiat lainnya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ والعَمَلَ به والجَهْلَ، فليسَ لِلَّهِ حاجَةٌ أنْ يَدَعَ طَعامَهُ وشَرابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalan dusta serta kejahilan (maksiat), maka Allah tidak butuh amalan ia meninggalkan makan atau minum.” (HR. Al-Bukhari no. 6057)

Dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فلا يَرْفُثْ ولَا يَجْهلْ، وإنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

“Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata buruk dan janganlah berbuat kejahilan (maksiat). Jika ada orang yang memerangimu atau mencelamu maka katakanlah: saya sedang puasa, saya sedang puasa.” (HR. Al-Bukhari no.1894, Muslim no.1151)

Penulis kitab Aunul Ma’bud menjelaskan:

قال بن بطال: لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ يُؤْمَر بِأَنْ يَدَع صِيَامه وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ التَّحْذِير مِنْ قَوْل الزُّور وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ … وَقَالَ اِبْن الْمُنِير : بَلْ هُوَ كِنَايَة عَنْ عَدَم الْقَبُول. وَقَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : مُقْتَضَى هَذَا الْحَدِيث أَنْ لا يُثَاب عَلَى صِيَامه 

“Ibnu Bathal mengatakan, “Bukan berarti orang yang berdusta diperintahkan untuk meninggalkan puasanya. Namun maknanya adalah peringatan keras agar tidak berdusta dan tidak melakukan maksiat.” … Ibnul Munir mengatakan, “Perintah dalam hadits ini bermakna kiasan untuk menyatakan tidak diterimanya amalan puasa orang yang demikian.” Ibnul Arabi mengatakan: “Konsekuensi dari hadits ini adalah orang yang demikian tidak mendapatkan pahala puasa”” (Aunul Ma’bud, 6/488 – 489)

Maka orang yang berbohong ketika sedang puasa tidak serta-merta membatalkan puasa, namun pahalanya berkurang atau hangus. Dan andaikan berbohong membatalkan puasa, maka maksiat-maksiat lain juga membuat puasa batal. Karena dalam hadits di atas tidak hanya disebutkan berbohong saja.

Adapun hadits:

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqani di Al-Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al-Maudhu’at (1131). Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al-Maudhu’at (1131) dan juga Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (1708).

Kedua, orang yang berbohong ketika sedang puasa, tetap wajib melanjutkan puasanya sampai matahari tenggelam. Jika ia berbuka sebelum waktunya maka ia melakukan dosa besar lainnya, setelah dosa berbohong. Sebagaimana hadits dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, 

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku. Keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku: “naiklah!”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, sehingga aku bertanya: “Suara apa itu?”. Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa ke tempat lain, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang digantung terbalik dengan urat-urat kaki mereka sebagai ikatan. Ujung-ujung mulut mereka sobek dan mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. (HR. Ibnu Hibban no.7491, dishahihkan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban)

Hadits ini adalah ancaman keras bagi orang yang berbuka sebelum waktunya. Maka orang yang terlanjur berbohong ketika puasa tidak boleh makan dan minum. Ia tetap wajib melanjutkan puasanya hingga tenggelam matahari. 

Dan wajib baginya untuk bersegera bertaubat kepada Allah atas kebohongan yang ia lakukan. Jika ia bertaubat dengan taubat nasuha, maka insyaAllah pahala puasanya akan kembali. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

التائبُ من الذنبِ كمن لا ذنبَ لهُ

“Orang yang bertaubat dari suatu dosa, maka ia sama dengan orang yang tidak melakukan dosa tersebut.” (HR. Ibnu Majah, no.4250, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41837-orang-yang-berbohong-ketika-puasa-boleh-makan-minum.html

Tiga Penyebab Batal Puasa karena Menelan Ludah

Menelan ludah di mulut adalah perkara ijma’, bahkan para ulama juga membahas hukum menghisap ludah ‘orang lain’

Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tidak batalnya menelan ludah bagi orang yang berpuasa, ketika ludah masih di dalam mulut merupakan perkara ijma (kesepakatan para ulama). (Maratib Al Ijma`, 1/40).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa menelan ludah tidak membatalkan, dengan beberapa syarat:

Pertama: Ludah tidak berubah karena tercampur dengan benda lainnya, baik benda itu suci atau najis. Benda suci semisal zat pewarna yang ada pada benang yang bercampur dengan ludah.

Sedangkan yang najis adalah darah karena luka di gusi. Dengan demikian ketika ludah bercampur dengar unsur lainnya dan ludah itu ditelan, maka hal itu menyebabkan batalnya puasa.

Kedua: Ludah yang ditelan tidak keluar dari mulut. Kalau sekiranya ludah sudah dikeluarkan dari mulut kemudian dimasukkan lagi dengan lidah atau dengan yang lainnya maka puasa batal.

Namun jika seorang menjulurkan lidahnya ke luar mulut sedangkan pada lidahnya terdapat ludah kemudian ia mengambalikan lidahnya dan menelan ludahnya maka itu tidak membatalkan menurut pendapat paling shahih.

Jika seorang penjahit membasahi benang melalui mulut dengan ludah, lantas mengulanginya, jika benang yang dibasahi masih lembab oleh ludah sebelumnya jika ia menelannya maka menurut mayoritas ulama madzhab hal itu membatalkan puasa.

Ketiga: Menelan ludah dengan cara seperti kebiasaan. Jika seorang mengumpulkan ludahnya terlebih dahulu di dalam mulut kemudian ia menelannya, maka ada dua pendapat dalam masalah ini, yang paling shahih bahwa perbuatan itu tidak membatalkan puasa. (Lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/326).

Menelan Ludah Orang Lain Batalkan Puasa

Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama juga sepakat bahwasannya menelan ludah orang lain membatalkan puasa. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzab, 6/308).

Adapun mengenai sebuah hadits:

عن عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانَهَا ” (رواه أبو دود)

“Artinya: Dari Asiyah Radhiyallahu `anha bahwasannya Nabi ﷺ suatu saat menciumnya sedangkan beliau dalam kondisi berpuasa dan menghisap lidahnya.” (Riwayat Abu Dawud).

Para ulama mengomentari hadits ini bahwa Ibnu Al A`rabi mendapatkan khabar bahwasannya Imam Abu Dawud tidak menshahihkan sanad hadits ini. (Lihat Sunan Abu Dawud, 4/61).

Al Hafidz Az Zailai juga menyatakan bahwa menghisap tidak otomatis menelan ludah, bisa saja meludahkannya. (Nashb Ar Rayah, 4/253).

Sedangkan Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, ”Dan isnad-nya dhaif, kalau sekiranya ia shahih maka ia dimaknai bahwa beliau tidak menelan ludah yang bercampur dengan ludah Sayyidah Aisyah.” (Fath Al Bari, 4/153).*/Thoriq, LC, MA

HIDAYATULLAH

Masuk Islam Setelah Murtad, Wajibkah Qadha Shalat, Puasa, dan Zakat?

Memeluk agama apapun harus didasari atas keyakinan yang kuat, dan tidak mudah digoyahkan karena hal-hal yang bersifat duniawi, termasuk memeluk agama Islam. Bagi seseorang yang sudah terlahir dari orangtua Muslim itu mungkin akan mengikuti agama orangtuanya. Sebaliknya, ada juga orang yang baru mendapat hidayah masuk Islam setelah ia dewasa. Sesuatu yang berasal dari hati nurani, dan bukan karena paksaan biasanya akan berjalan lancar dan langgeng.

Oleh karena itu, orang yang sudah memeluk Islam diharapkan istiqamah pada agamanya tersebut. Namun bagaimana jika seseorang Muslim, kemudian murtad, dan masuk Islam kembali, apakah ibadah shalat, puasa Ramadan, dan zakat yang ia tinggalkan saat murtad wajib diqadha? Ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Perbedaan pendapat tersebut disebutkan dalam Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaiytiyyah demikian.

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ إِلَى عَدَمِ وُجُوبِ قَضَاءِ الصَّلاَةِ الَّتِي تَرَكَهَا أَثْنَاءَ رِدَّتِهِ؛ لأِنَّهُ كَانَ كَافِرًا، وَإِيمَانُهُ يَجُبُّهَا. وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ. وَنُقِل عَنِ الْحَنَابِلَةِ الْقَضَاءُ وَعَدَمُهُ. وَالْمَذْهَبُ عِنْدَهُمْ عَدَمُ وُجُوبِ الْقَضَاءِ.

Ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat mengenai ketidakwajiban mengqadha shalat yang ditinggalkan oleh orang murtad (yang masuk Islam) pada saat ia murtad. Ia termasuk dalam kategori orang kafir. Sementara keimanannya itu memutus shalat. Ulama mazhab Syafii berpendapat mengenai kewajiban qadha shalat bagi orang murtad (yang masuk Islam). Sementara itu, mazhab Hanbali itu berpendapat boleh qadha shalat atau juga tidak sama sekali. Namun, menurut pendapat mazhab Hanbali kebanyakan itu tidak wajib qadha shalat bagi orang murtad (yang masuk Islam kembali).

Bagaimana jika sebelum murtad, orang ini sudah mempunyai qadha shalat, puasa, atau zakat? Apakah setelah ia masuk Islam kembali tidak perlu diqadha?

Mayoritas ulama mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa utang ibadah yang ditinggalkan sebelum murtad itu wajib diqadha. Ini karena meninggalkan ibadah itu bagian dari maksiat, dan kemaksiatan tidak gugur sebab murtad. Sementara itu, menurut ulama mazhab Maliki, qadha ibadah tersebut tidak wajib dilakukan.

Atas dasar perbedaan pendapat ini, bagi kita yang pernah mengalami, atau ada orang-orang terdekat yang mengalami hal demikian itu sebaiknya tidak perlu kita paksa harus mengganti ibadah-ibadah yang ditinggalkannya. Bila ia mampu dan atas kesadaran sendiri mengqadha atau mengganti ibadah yang pernah ia tinggalkan saat murtad, maka itu jauh lebih baik. Namun jika ia tidak mampu, maka bolehlah kita menganjurkan mengambil pendapat yang lebih ringan baginya.

BINCANG SYARIAH

10 Kemuliaan Orang yang Berpuasa Dzulhijjah

Terdapat banyak riwayat, baik hadis Nabi Saw., perkataan sahabat dan ulama salaf yang menjelaskan keutamaan berpuasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur terdapat keterangan, hari Tarwiyah, hari Arafah dan hari Idul Adha menjadi sebab kemulian sepuluh hari pertama Dzulhijjah daripada hari-hari yang lain. Apa saja kemuliaan orang yang berpuasa Dzulhijjah?

Karena itu, Syaikh Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitabnya Alfatawa Alkubra;

أَيَّامُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ أَفْضَلُ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَاللَّيَالِي الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ لَيَالِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ

“Sepuluh hari-hari pertama Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari-hari terakhir Ramadan. Sepuluh malam-malam terakhir Ramadan lebih utama daripada sepuluh malam-malam pertama Dzulhijjah.”

Oleh karena itu, sunah memuliakan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dengan berbagai ibadah, di antaranya dengan puasa. Terdapat ketarangan dalam kitab Durratun Nashihin, sebagian ulama mengatakan bahwa jika seseorang memuliakan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dengan puasa, maka Allah akan memuliakan dengan 10 kemulian orang yang berpuasa Dzulhijjah berikut.

Pertama, keberkahan dalam umur.

Kedua, tambahan harta.

Ketiga, dosa-dosa terhapus.

Keempat, kebaikan terlipatgandakan.

Kelima, mudah dalam menghadapi sakaratul maut.

Keenam, kuburan bercahaya.

Ketujuh, amal timbangan berat nanti di hari kiamat.

Kedelapan, selamat dari siksa neraka.

Kesembilan, keluarganya dilindungi.

Kesepuluh, ditempatkan di surga yang tinggi.

BINCANG SYARIAH

Lengkapi dengan Puasa, Sempurnakan dengan Haji

Puasa dan haji adalah salah satu rukun Islam, dan amalan yang sangat mulia

SETELAH kita berikrar syahadat, lalu menjaga hubungan dengan Rabb Semesta Alam lewat shalat lima waktu, serta mengasah kepedulian sosial lewat zakat, maka kita masih perlu melengkapi tiga rukun tersebut dengan satu rukun lagi agar kita bisa pulang kembali ke kampung halaman kita di Surga. Satu rukun tersebut adalah berpuasa di bulan Ramadhan.

Abu Hurairah RA menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa suatu hari seorang Arab badui datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang jika aku kerjakan, maka aku akan masuk surga.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu (apa pun), mendirikan shalat yang wajib, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”

Mendengar hal tersebut, orang Arab badui itu berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku (berada) di Tangan-Nya, aku tidak (akan) menambah sedikit pun dan tidak mengurangi (nya).”

Ketika orang itu telah pergi, Rasulullah ﷺ berkata kepada para sahabatnya, “Barang siapa ingin melihat salah seorang penghuni surga, maka lihatlah orang ini.”

Kewajiban berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, sebagaimana kita jalani pada pekan-pekan lalu, dengan menahan makan, minum, dan berhubungan suami istri, serta hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari telah dengan jelas disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an suar al-Baqarah [2] ayat 183 hingga 185.

Adapun faedah puasa Ramadhan, tentu banyak. Salah satunya, sebagaimana diterangkan Rasulullah ﷺ dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Dalam Hadits lain, Rasulullah ﷺ menjelaskan, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, ‘Mana orang-orang yang berpuasa?’ Kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak bisa masuk. Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Itulah empat kewajiban yang menjadi pilar Islam. Sebagai penyempurna dari 4 kewajiban tersebut, ada satu kewajiban lagi yang harus ditunaikan bagi mereka yang berkesanggupan. Yakni, menunaikan haji ke Padang  Arafah.

Berhaji, bagi mereka yang tak memiliki iman, jelas akan terasa berat. Tak akan ada orang yang suka menghabiskan uang begitu besar, waktu begitu banyak, berpisah berhari-hari dengan anak dan isteri, menuju suatu tempat yang gersang dan panas, untuk berpayah-payah melaksanakan ritual yang menguras habis tenaga.

Tapi dengan iman, perjalanan haji yang amat melelahkan, akan terasa nikmat. Segala kelelahan akan terbayar dengan janji Allah Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya, sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani.

“Keluarnya kamu dari rumah menuju Baitul Haram, maka setiap tanah yang diinjak kendaraanmu, Allah akan menuliskan untukmu sebuah kebaikan dan menghapuskan dosamu. Adapun wukufmu di Arafah, maka Allah turun ke langit dunia dan membanggakan manusia di hadapan malaikat seraya berfirman, ‘Mereka adalah hamba-hamba-Ku. Mereka mendatangi-Ku dalam keadaan kusut dan berdebu dari segenap penjuru yang jauh. Mereka mengharapkan rahmat-Ku dan takut akan azab-Ku, padahal mereka tidak melihat-Ku. Lalu bagaimana bila mereka melihat-Ku?’.”

“Seandainya engkau mempunyai dosa sebanyak pasir yang menggunung, sejumlah hari-hari umur dunia, atau pun tetesan hujan, maka Allah akan menyucikannya darimu. Adapun lemparan jumrahmu, maka dia disimpan untukmu. Begitupun pemotongan rambutmu, setiap helai rambut yang jatuh adalah bernilai satu kebaikan. Lalu jika engkau telah bertawaf di Baitullah, maka engkau telah terbebas dari dosa-dosamu seperti saat engkau dilahirkan ibumu,” jelas Rasulullah ﷺ lagi.

Inilah tiket manusia menuju surga. Semua itu tak akan terasa sulit jika kita hiasi hati dengan iman, dan amal dengan ilmu. *

HIDAYATULLAH

Hikmah Puasa (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

SEBAB KETAKWAAN SELAIN PUASA PADA BULAN RAMADAN

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa puasa Ramadan termasuk sebab ketakwaan yang terbesar. Dan sebab-sebab ketakwaan yang lain pada bulan Ramadan -alhamdulillah- itu banyak, di antaranya:

Pertama, dibukanya pintu-pintu surga dan tidak satu pun pintu surga yang ditutup. Itu berarti terbuka kesempatan yang luas untuk melakukan banyak amal saleh dan mengandung dorongan yang kuat untuk taat kepada Allah semata.

Kedua, ditutupnya pintu-pintu neraka dan tidak satu pun pintu neraka yang dibuka. Ini isyarat bahwa pada bulan Ramadan sedikit kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba yang beriman.

Ketiga, dibelenggunya dedengkot setan-setan. Ini isyarat tidak adanya alasan bagi mukalaf untuk bermaksiat. Masalahnya lebih kepada berjihad mengendalikan hawa nafsu dan jiwa yang banyak mengajak kepada keburukan karena dedengkot setan telah dibelenggu.

Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1899) dan Muslim (no. 1079), dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,  bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, serta setan-setan dibelenggu.

Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah rahimahullah terdapat riwayat,

ﻭﺻﻔﺪﺕ ﻣﺮﺩﺓ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ

“Dan dibelenggu dedengkot setan-setan”

Maksud “maradatusy syayathin” adalah pembesar/dedengkot setan-setan yang membangkang kepada Allah. Oleh karena itu, di antara setan lainnya masih bisa menggoda manusia. [1]

Keempat, bulan Ramadan adalah bulan ibadah kepada Allah semata, kaum muslimin secara serentak bersemangat melaksanakan berbagai macam ibadah, berpuasa bersama, salat lima waktu berjemaah bersama, salat tarawih bersama, sahur dan buka pada waktu yang bersamaan, mengeluarkan zakat fitrah bersama, iktikaf bersama, berlomba-lomba baca Al-Qur’an, berbagi makanan buka puasa, dan berbagai ketaatan lainnya. Pemandangan ketaatan ada di mana-mana, di masjid, di rumah, di jalan, di kantor, dan berbagai tempat lainnya.

Tentunya ini menjadi hal yang memudahkan kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah semata karena suasana kebersamaan dalam beribadah kepada Allah semata itu mempengaruhi suasana hati untuk semangat melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Kelima, di bulan Ramadan, Allah persiapkan berbagai sebab ampunan Allah. Ini tentunya dorongan kuat seorang hamba untuk bersih dari dosa dengan banyak tobat dan banyak melakukan amalan sebab didapatkannya ampunan Allah.

SEBAB AMPUNAN ALLAH DAN PENGHAPUSAN DOSA DI BULAN RAMADAN

Sebab-sebab ampunan Allah di bulan Ramadan adalah:

Puasa Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Antara salat lima waktu, dan antara salat Jumat, jika dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta menghindari dosa besar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Antara salat yang lima waktu, antara (salat) jumat yang satu dengan (salat) jumat berikutnya, antara (puasa) Ramadan yang satu dan (puasa) Ramadan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa (pelakunya) selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

Salat tarawih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan salat tarawih [2] di bulan Ramadan karena beriman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salat malam dan ibadah lainnya di malam lailatul qadar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan ibadah pada malam lailatul qadar karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Maksud “mengerjakan ibadah” di sini adalah ibadah salat, membaca Al-Qur’an, sedekah, doa, dan seluruh ibadah lainnya. [3]

Tobat kepada Allah Ta’ala semata

Orang yang tidak bertobat dari dosa disebut dalam Al-Qur’an, surah Al-Hujurat ayat 11, sebagai orang yang zalim. Ini menunjukkan bahwa bertobat itu wajib. Dan bertobat kepada Allah itu penyebab ampunan Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surah Al-Furqan ayat 70,

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang bertaubat seperti orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah, hadits hasan)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah menghitung seratus kali dalam satu majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan,

ربِّ اغفر لي، وتُب عليَّ، إنَّكَ أنتَ التَّوَّابُ الرَّحيمُ

“Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau adalah Yang Mahapenerima taubat lagi Yang Mahapenyayang. (HR. Abu Dawud, sahih)

Jika sudah sedemikian lengkapnya sebab-sebab takwa dan sebab ampunan Allah pada bulan Ramadan, maka sungguh sangat merugi orang keluar dari Ramadan tidak bertakwa kepada Allah Ta’ala dan tidak diampuni dosa-dosanya.

Barangsiapa yang masuk madrasah Ramadan, namun gagal meraih takwa kepada Allah, maka ibarat seorang murid yang masuk sekolah, namun tidak bisa baca dan tulis dan tidak menguasai ilmu yang diajarkan di sekolah tersebut. Maka, haruslah orang yang berpuasa itu berbeda dengan orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa lebih mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah semata.

Kebaikan-kebaikan menghapus dosa

Allah Ta’ala berfirman,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114)

PUASA VVIP

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang dinamakan Mukhtashar Minhajil Qashidin (hal. 44), beliau menjelaskan tentang tingkatan puasa,

وللصوم ثلاث مراتب : صوم العموم ، وصوم الخصوص ، وصوم خصوص الخصوص

“Dan puasa memiliki tiga tingkatan: 1) puasa umum; 2) puasa khusus; dan 3) puasa super khusus.”

Beliau pun menjelaskan satu persatu macam-macam puasa tersebut,

Pertama, puasa orang umum

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

فأما صوم العموم : فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة

“Adapun puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat (baca: menahan diri dari melakukan berbagai pembatal puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh).”

Puasa jenis umum ini jelas sekali diambil dari dalil-dalil tentang adanya pembatal-pembatal puasa.

Kedua, puasa orang khusus (VIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم الخصوص : فهو كف النظر ، واللسان ، والرجل ، والسمع ، والبصر ، وسائر الجوارح عن الآثام

“Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.”

Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat disyariatkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut kepada Allah. Sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh kemaksiatan dan menjadi orang yang diridai oleh-Nya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Lihatlah tafsirnya kembali dalam artikel seri sebelumnya.

Ketiga, puasa super khusus (VVIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم خصوص الخصوص : فهو صوم القلب عن الهمم الدنية ، والأفكار المبعدة عن الله ـ سبحانه وتعالى ـ ، وكفه عما سوى الله ـ سبحانه وتعالى ـ بالكلية

“Dan adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara totalitas.”

Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang bahwa baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga ketakwaan yang asasi adalah ketakwaan hati. Jika hikmah disyariatkannya puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali tercakup adalah ketakwaan hati. Hal ini karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling agung adalah ketakwaan hati.

Buah puasa yang hakiki

Demikianlah hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah di bawah ini,

فإنْ تكلَّم لم يتكلَّم بما يجرح صومه، وإن فعل لم يفعل ما يفسد صومه، فيخرج كلامه كلُّه نافعًا صالحًا، وكذلك أعماله،

“Jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya. Dan jika ia berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya. Hingga keluarlah seluruh ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk perbuatannya.”

فهي بمنزلة الرَّائحة الَّتي يشمُّها من جالس حامل المسك، كذلك من جالس الصَّائم انتفع بمجالسته، وأَمِن فيها من الزُّور والكذب والفجور والظُّلم، هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب

“Maka ucapan dan perbuatannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang duduk menemani pembawa minyak wangi misk.

Demikianlah orang yang menemani orang yang sedang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari pertemanannya tersebut. Ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran, dan kezaliman.

Inilah sesungguhnya puasa yang disyariatkan. Ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54)

Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang dituntut untuk ditinggalkan saat berpuasa?

Simaklah penuturan Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini,

فالصَّوم هو صوم الجوارح عن الآثام، وصوم البطن عن الشَّراب والطَّعام؛ فكما أنَّ الطَّعام والشَّراب يقطعه ويفسده، فهكذا الآثام تقطع ثوابَه، وتفسدُ ثمرتَه، فتُصَيِّره بمنزلة من لم يصُم

“Maka, puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan puasanya perut dari minuman dan makanan. Sebagaimana makan dan minum itu menentukan sahnya puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti kedudukan orang yang tidak berpuasa.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54-55)

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74277-hikmah-puasa-bag-2.html

Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban, bulan mulia namun sering dilalaikan manusia

Keutamaan bulan Sya’ban tidak lepas dari sejarah penamaannya dahulu kala. Bulan ini dinamakan Sya’ban karena dulu orang jahiliyyah memanfaatkannya untuk berbagai macam aktivitas, misalnya berperang. Hal ini disebakan karena pada bulan Rajab bangsa Arab dilarang melakukan peperangan.

Alasan lainnya mengapa dinamakan bulan Sya’ban adalah karena selama bulan ini banyak orang Arab yang berpencar dan bepergian untuk mencari air. Orang yang mencari air tersebut disebut “Sya’baniyyat” atau “Sya’ban”.

Letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Kenapa? Karena bulan Rajab dan Ramadan termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Pada bulan Rajab seorang muslim dilarang melakukan pertumpahan darah atau berperang dan disunahkan untuk memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Lathaif Al Ma’arif, 207).

Sedangkan di bulan Ramadan, mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan, serta perbuatan maksiat di kedua bulan tersebut lebih berat dosanya daripada bulan-bulan lain.

Sehingga ketika datang bulan Sya’ban (yang mana terletak diantara keduanya) mereka mengambil kesempatan untuk melakukan peperangan ataupun menyelesaikan urusan. Akhirnya, kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadan.

Anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban

Terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dia berkata,

يا رسول الله لَمْ أرك تصوم شهرًا من الشهور ما تصوم من شعبان؟ قال: “ذلك شهر يغفل الناس عنه، بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم “

“’Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan selain di bulan Sya’ban’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan’” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya)” (HR. Muslim no. 1156).

Besarnya pahala beramal di waktu lalai

Jawaban nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Seorang muslim tidak pantas bagimu untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kamu lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhanmu, agar kamu termasuk hamba yang memilih menghadap Allah Ta’ala di saat yang lain lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga ingin menjelaskan pentingnya memanfaatkan dan menghidupkan waktu dengan memperbanyak ketaatan di saat kebanyakan manusia lainnya lalai. Hal ini merupakan sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang saleh terdahulu. Mereka senang mengisi waktu antara salat Magrib dan Isya dengan memperbanyak salat karena tahu bahwa waktu ini termasuk yang banyak dilalaikan manusia.

Di kesempatan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menjelaskan besarnya keutamaan yang didapat untuk mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya itu lalai. Kita ambil contoh misalnya saat kita sedang di pasar atau pusat perbelanjaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فقال: لا إله إلاَّ الله وَحْدَه لا شَريكَ له، له المُلْكُ وله الحمْد، يُحْيِي ويُمِيت وهو حَيٌّ لا يَمُوتُ، بِيَدِه الخَيْرُ وهو على كلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ – كَتبَ الله له ألفَ ألْف حسنَةٍ، ومَحَا عنْه ألْفَ ألْف سيِّئةٍ، ورَفَعَ له ألْفَ ألْف درَجَة

“Barang siapa yang masuk pasar dan mengucapkan, ‘Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (artinya: tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia-lah yang hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah yang Mahakuasa atas segala sesuatu);’ maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” (HR. Tirmidzi no. 3428 dengan sanad dhaif).

Di samping itu, beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:

Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, dimana puasa merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya.

Kedua, lebih berat di hati untuk dikerjakan karena sedikitnya orang yang mengamalkan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,

إنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ

“’Sesungguhnya di belakang kalian (nanti) ada hari-hari, di mana bersabar pada waktu tersebut seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal di waktu tersebut seperti (mendapat) pahala 50 orang.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, seperti pahala 50 orang dari kalangan mereka sendiri atau seperti 50 orang dari kami?’ Nabi menjawab, ’50 orang dari kalian’” (HR. Al-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid no. 285).

Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka (Lathaif Al-Ma’aarif, hal. 191-193).

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwasannya salah satu hikmah berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

Beberapa hikmah lainnya dari memperbanyak puasa di bulan Sy’aban

Pertama, Ibnu Rajab Rahimahullah dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’aarif mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.”

Kedua, Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib 5 waktu (yaitu sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.”

Ketiga, amalan setahun kita diangkat kepada Allah pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam walaupun dosa-dosanya telah diampuni, beliau tetap menginginkan agar ketika amalannya diangkat, sedang dalam kondisi berpuasa.

Keempat, sebagian ulama mengatakan bahwa bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyiram, dan bulan Ramadan adalah bulan memanen. Oleh sebab itu, siapa yang tidak menanam di bulan Rajab, lalu tidak menyiram di bulan Sya’ban, maka apa yang akan ia panen pada bulan Ramadan?

Wallahu a’lam bisshowaab.

***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73611-hikmah-memperbanyak-puasa-di-bulan-syaban.html

Studi: Puasa 2 Hari Sepekan Bisa Bantu Turunkan Berat Badan

Para peneliti mengatakan bahwa diet 5:2 atau sejenis diet puasa (intermitten fasting) tidak lebih efektif daripada pendekatan tradisional untuk menurunkan berat badan. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa pendekatan tersebut, yang melibatkan dua hari pembatasan kalori (500 kalori untuk wanita, 600 kalori untuk pria) dan lima hari makan yang masuk akal, dihargai lebih tinggi oleh orang gemuk dalam penelitian ini karena itu mudah untuk diikuti.

Diet puasa adalah metode untuk mengatur pola makan dengan cara berpuasa makan selama beberapa waktu. Namun di antara waku itu, Anda masih dapat mengonsumsi minuman. Metode ini mengatur kebiasaan makan, bukan berarti mengurangi atau membatasi makan.

“Di sini kami dapat memberikan hasil pertama tentang efektivitas dari saran diet sederhana 5:2 dalam pengaturan kehidupan nyata. Kami menemukan bahwa meskipun diet 5:2 tidak lebih unggul daripada pendekatan tradisional dalam hal penurunan berat badan, pengguna lebih menyukai pendekatan ini karena lebih sederhana dan lebih menarik,” kata psikolog kesehatan dan peneliti senior di Queen Mary University of London, Katie Myers Smith, dalam sebuah pernyataan berita, dilansir di CNN, Ahad (21/11).

Smith merupakan seorang penulis penelitian ini yang diterbitkan di jurnal ilmiah PLOS ONE. Ia mengatakan, dokter mungkin ingin mempertimbangkan untuk memasukkan diet 5:2 tersebut sebagai bagian dari saran manajemen berat badan standar mereka kepada pasien.

Beberapa pakar berpikir bahwa bergantian antara puasa dan makan dapat meningkatkan kesehatan sel dengan memicu peralihan metabolisme. Dalam peralihan metabolisme, sel menggunakan simpanan bahan bakar mereka dan mengubah lemak menjadi energi, yakni “membalik saklar” dari penyimpanan lemak ke penghematan lemak.

Menurut para pakar, diet puasa dapat mengurangi tekanan darah, membantu penurunan berat badan, dan meningkatkan umur panjang. Hal ini berdasarkan sebuah tinjauan penelitian pada hewan dan manusia sebelumnya yang diterbitkan dalam The New England Journal of Medicine. Namun, metode ini tidak cocok untuk semua orang, terutama wanita hamil dan mereka yang memiliki kondisi medis seperti diabetes atau gangguan makan.

Penelitian Smith melibatkan 300 orang gemuk di Tower Hamlets, sebuah daerah dalam kota yang sangat kekurangan di London. Para peserta mengikuti rejimen 5:2 atau pendekatan yang lebih konvensional untuk menurunkan berat badan yang menekankan makan lebih banyak sayuran dan makanan gandum, meninggalkan makanan tinggi gula dan lemak, makan porsi yang lebih kecil dan olahraga.

Penelitian tersebut lantas menunjukkan bahwa hasil dari kedua pendekatan itu sangat mirip dan sederhana. Pada enam bulan, mereka yang menggunakan diet 5:2 telah kehilangan, rata-rata, 1,8 kilogram (4 pon) dibandingkan dengan 1,7 kilogram (3,7 pon) pada saran diet standar. Pada 12 bulan, angka-angka itu masing-masing adalah 1,9 kilogram (4,2 pon) dan 1,8 kilogram (4 pon).

Sekitar 18 persen dari pelaku diet 5:2 telah kehilangan setidaknya 5 persen dari berat badan mereka setelah satu tahun dibandingkan dengan 15 persen yang menggunakan pendekatan konvensional. Dari kelompok yang mengikuti diet 5:2, setengahnya menghadiri enam sesi dukungan kelompok selama enam pekan pertama setelah sesi informasi awal.

Namun, studi itu menemukan bahwa dampak dari dukungan kelompok berkurang dari waktu ke waktu. Para peserta merasa yakin tentang pendekatan penurunan berat badan yang berbeda, tetapi mereka yang menjalani diet 5:2 lebih cenderung merekomendasikannya kepada orang lain dan mengatakan bahwa mereka lebih mungkin untuk melanjutkan pendekatan tersebut.

Penelitian ini merupakan uji coba kontrol secara acak, yang dianggap sebagai jenis penelitian yang paling ketat. Sedangkan jumlah peserta penelitian ini lebih besar daripada kebanyakan penelitian puasa intermiten sebelumnya.

Para peneliti mengatakan, beberapa temuan penting ambang batas bisa menjadi lebih jelas jika ukuran sampel lebih besar. Orang-orang yang mengikuti panduan penurunan berat badan konvensional juga lebih cenderung mencoba strategi lain seperti Weight Watchers, Slimming World atau diet lainnya. Penulis penelitian ini mengatakan, faktor ini dapat menutupi efeknya, tetapi tidak etis atau praktis untuk menghentikan peserta mencoba pendekatan alternatif.

IHRAM

Mendidik Anak dengan Puasa

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga dalam mendidik anak.

Setiap mukmin diperintahkan Allah SWT agar memelihara keluarganya (quw anfusakum) dari siksa api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6). Berdasarkan perintah itu, pendidikan dalam keluarga mesti dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya.

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga yang patut dioptimalkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, terutama di masa pandemi ini. Ibadah puasa memberikan edukasi positif bagi sikap keberagamaan anak di bawah bimbingan dan keteladanan orang tua dan dukungan masyarakat lingkungannya.

Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad menjelaskan, Rasulullah SAW memerintahkan orang tua untuk mendidik anaknya mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Dari perintah shalat ini, dapat disamakan dengan puasa. Kita latih anak-anak untuk melakukan puasa jika mereka kuat.

Dengan membiasakan anak berpuasa, maka terjadi pendidikan akidah, ibadah dan akhlak dalam keluarga. Pertama, pendidikan akidah. Saat berpuasa, mereka akan merasakan bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya sehingga tidak berani makan dan minum, meski ia bisa bersembunyi dari penglihatan orang tua, saudara dan teman-temannya. Inilah pendidikan akidah yang fundamental; tidak sekedar meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga teraplikasi dalam perilakunya.

Kedua, pendidikan ibadah. Tidak saja melaksanakan ibadah puasa, sejumlah ibadah lain juga dibiasakan dengan melibatkan keluarga secara bersama, seperti shalat fardhu jamaah, tarawih, zikir, tadarus, berinfak, dan zakat fitrah. Pembiasaan ibadah ini efektif dilakukan untuk mendidik anak agar menjadi hamba yang saleh.

Ketiga, pendidikan akhlak. Aneka akhlak mulia ditanamkan dan dibiasakan saat berpuasa kepada anak, sepeti disiplin, jujur, sabar, berkata santun, empati, tolong menolong, dan menghargai orang lain. Selama puasa anak dituntun menjauhi perilaku buruk, sebab merusak puasa. Sabdanya: “Sesungguhnya menggunjing dan berdusta merusak puasa” (HR at-Tirmidzi).

Keberhasilan mendidik anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh orang tuanya dengan mengedepankan keteladanan dan keikhlasan mendidik anak-anaknya dalam menjalankan ibadah puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Bukankah Nabi SAW juga berhasil mendidik umat karena keteladan akhlaknya? (Qs. Al-Ahzab [33]: 21 dan Qalam [68]: 6).

Selain itu, intensitas hubungan dan komunikasi antara orang tua dan anak juga terbangun dalam keluarga selama puasa. Kebersamaan saat berbuka dan makan sahur semakin memperkuat perhatian dan kasih sayang orang tua dengan menyediakan makanan yang halal lagi bergizi.

Demikian keberkahan Ramadhan dalam memperkuat pendidikan keluarga yang bertakwa, yaitu terpelihara dari dosa dan siksa api neraka.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMMAD KOSIM

REPUBLIKAid