Masjid Hagia Sophia: Dari Muhammad al Fatih hingga Erdogan

Sedangkan cita-cita Erdogan yang sebelumnya telah disampaikan akan membebaskan Masjid al-Aqsha, seakan hendak meniti langkah Yavuz Salim yang meraih kemenangan dalam Perang Marj Dabiq (1516).

PEMERINTAH Sultan Muhammad Al-Fatih yang berjalan sekitar 30 tahun, merupakan sejarah hubungan kekuasaan dan peperangan antara Islam dengan Nashara, antara Timur (Asia) dan Barat (Eropa). Tidak ada sesuatu yang lebih penting dalam perjuangan Sultan Muhammad Al-Fatih, selain pembebasan Konstantinopel, Ibu Kota imperium Byzantium Romawi Timur.

Telah berlalu lebih dari 10 abad berbagai upaya di timur dan barat untuk mengepung dan membuka tembok besar Konstantinopel ini, namun tidak pernah berhasil. Oleh karenanya, pembebasan Konstantinopel ini adalah suatu peristiwa yang sangat besar dengan segala pengaruhnya yang begitu luas di seluruh penjuru dunia dan paling lama mempengaruhi peradaban manusia di muka bumi hingga kini.

Sultan Muhammad Al-Fatih telah mengubah gereja Hagia Sophia menjad Masjid Hagia Sophia atau dikenal Ayasofya. Masjid Ayasofya bukan hanya sekedar simbol tempat ibadah bagi umat Islam berupa masjid. Namun, pengubahan gereja menjadi masjid pun merupakan simbol dominasi Islam Atas Dunia. Sultan Muhammad Al-Fatih telah merealisasikan hadits nabawi sehingga meraih kemenangan besar dalam membuka Konstantinopel (857 H/1453 M).

Jika ada ungkapan,”Seandainya bumi ini dijadikan satu Kerajaan, maka Konstantinopel adalah Ibu Kota yang paling tepat untuknya.”

Juga cita-cita Jengiz Khan Mongol,”Hanya ada satu Tuhan di langit, hanya ada satu Raja di bumi”, maka Sultan Muhammad Al-Fatih yang hendak mewujudkannya.

Sultan Muhammad Al-Fatih mengganti namanya dengan Islambul (Ibu Kota Islam) dan bertekad menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Islam seluruh dunia. Sedangkan Masjid adalah simbol teragung di pusat Ibu Kota Islam, Islambul, ”Hanya boleh ada satu Kerajaan di bumi, hanya ada satu Islam dan satu kedaulatan di dunia.”

Seakan mengisyaratkan: Satu ilah (Allah), satu Rasul terakhir (Muhammad ﷺ), satu kitab suci terakhir (Al-Qur’an), satu umat (muslim) dan satu wilayah Kerajaan Islam seluruh bumi, daratan dan lautan.

Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, telah mengikuti jejak Sultan Muhammad Al-Fatih. Selanjutnya, apakah perlu mengubah nama Istanbul menjadi Islambul lagi?

Sedangkan cita-cita Erdogan yang sebelumnya telah disampaikan akan membebaskan Masjid al-Aqsha, seakan hendak meniti langkah Yavuz Salim yang meraih kemenangan dalam Perang Marj Dabiq (1516).

Akankah Erdogan berhasil? Mungkinkah ia akan bertekad mengembalikan kekhalifahan Utsmani seperti masa Yavuz Salim (1517), seperti yang ia janjikan? Atau hendak menguasai kembali Afrika, Asia dan Eropa serta menyatukan umat Islam dunia?, bahkan hendak membebaskan Roma di Italia?

Siapapun pemimpinnya, cita-cita membebaskan Roma adalah cita-cita umat Islam di akhir zaman.Wallahu a’lam.

Dari Abu Qubail,”Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Ash dan beliau ditanya tentang kota mana yang dibuka terlebih dahulu, apakah Konstantinopel ataukah Romawi? Maka beliau meminta untuk diambilkan sebuah kotak, lalu beliau mengeluarkan sebuah kitab lalu berkata: “Abdullah bin Mas’ud Berkata: Tatkala kami bersama Rasulullah ﷺ untuk menulis, tiba-tiba beliau ditanya: Manakah kota yang telebih dahulu dibuka, apakah Konstantinopel ataukah Romawi?. Maka beliau menjawab,”(Kota) yang terlebih dahulu dibuka adalah kota Heraklius”, yaitu Konstantinopel.”*

Oleh: Rachmad Abdullah
Penulis Sulaiman Al-Qanuni & Yavuz Salim

HIDAYATULLAH