Media Sosial dalam Timbangan

Ketika teknologi hadir pada peradaban yang belum siap, tentunya akan berdampak buruk pada kehidupan peradaban tersebut. Dapat kita saksikan bersama bagaimana era keterbukaan informasi yang disponsori tunggal oleh teknologi informasi masa kini mengakibatkan hadirnya banyak apresiasi dan hujatan yang tidak jarang hadir dalam proporsi yang tidak berimbang. Sekarang, kita coba sedikit fokus terhadap fenomena hujatan di masa kini.

Hujatan yang juga merupakan celaan atau bahkan hinaan kini dapat dengan sangat mudah kita temui berseliweran di dunia maya. Betapa tidak, setiap informasi hampir pasti bisa dihujat. Karena sekat keterbatasan media komunikasi yang menjadi sarana penting tersampaikannya celaan atau hujatan tersebut telah dipangkas habis oleh teknologi informasi masa kini. Seorang yang berada di pelosok negeri kini untuk menghujat pimpinan negara, kekurangan-kekurangan seorang da’i atau ustadz, atau pihak lainnya tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk menyampaikan hujatannya tersebut, cukup melalui media sosial.

Hujatan yang dulunya mungkin hanya terpendam dalam hati karena keterbatasan media informasi, kini dapat disalurkan dengan mudah. Dahulu, orang yang tidak dewasa dalam berpikir yang emosinya mudah meluap, sulit untuk kita dapati hujatannya, karena keterbatasan media komunikasi. Dan dahulu orang yang berilmu tentunya lebih memiliki akses berpendapat, sehingga pendapat yang disampaikan adalah oleh orang-orang yang benar-benar kompeten. Tidak seperti sekarang, semua orang layaknya professor dan ahli. Kita akan sangat sulit membedakan mana orang yang berpendapat dengan ilmu, mana yang tidak.

Kebanyakan manusia tidak mengetahui

Memang pada asalnya manusia tidak memiliki pengetahuan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا…

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun…” (QS. AN Nahl: 78)

Kemudian dengan teknologi informasi saat ini banyak di antara manusia yang mampu berpendapat tentang suatu perkara dunia, namun dalam perkara akhirat kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu, baik dalam ilmu itu sendiri maupun dalam amal yang dalam hal ini adalah implementasi ilmu tentang berbicara dan menyampaikan pendapat dengan adab yang baik. Namun yang menjadi parah, banyak di antara masyarakat yang berdebat tentang agama melalui media sosial, padahal kebanyakan manusia tidak mengetahui ilmu agama dengan baik. Sebagaimana firman Allah subahanu wa ta’ala:

وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ…

“… Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30]: 6)

Kemudian Allah ta’ala berfirman tentang mereka -yaitu kebanyakan manusia-

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka mengetahui sisi lahiriyah kehidupan dunia, akan tetapi terhadap perkara akhirat mereka lalai.” (QS. Ar Ruum [30]: 7)

Ibnu Katsir memaparkan, “Artinya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu kecuali dalam urusan dunia, tata cara menggapainya, tetek bengeknya serta perkara apa saja yang ada di dalamnya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan pandai tentang bagaimana cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-olah akal mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak memiliki akal dan pikiran.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)

Informasi semestinya disampaikan melalui jalur dan tempat yang tepat

Luapan emosi dalam bentuk menghujat, menghina atau apapun sejenis itu adalah naluri alami dari manusia, yang berasal dari hawa nafsu yang tercela yang kita diperintahkan untuk menahannya. Padahal tidak semua apa yang kita rasakan atau ketahui harus diungkapkan, karena ini juga ada hubungannya dengan kestabilan sosial. Sebagaimana salah satu adab dalam berbicara yang disampaikan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz hendaknya kita tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di dalam haditsnya menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Cukuplah mnjadi pendusta seseorang yang menceritakan ulang semua apa yang telah ia dengar” (H.R. Muslim)

Artinya, tidaklah semua informasi atau keluh kesah serta ketidaksepakatan kita dalam suatu hal harus disampaikan, terlebih lagi disampaikannya tidak dalam koridor adab yang baik. Ada informasi yang lebih baik disimpan, dan ada yang harus disampaikan melalui metode baik yang sesuai dengan kondisi. Karena dengan menahan emosi yang membuat kita menyampaikan pendapat tidak pada tempat dan jalurnya tersebut, sesungguhnya kita dapat terdidik menjadi orang yang lebih dewasa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang hadir.

Luapan emosi yang kini batasnya telah dipangkas oleh teknologi tersebut menjadikan kebanyakan dari kita sering lalai dan berpikir pendek. Karena menyampaikan informasinya juga dengan jalan yang begitu pendek dan sangat mudah. Sedikit emosi yang tersulut dapat langsung terbakar di dunia maya. Hal ini juga karena sesungguhnya kita cenderung langsung mempercayai informasi tunggal yang masuk, didukung dengan pemahaman yang dangkal, dan rasa malas untuk mengidentifikasi lebih dalam suatu informasi, jadilah hujatan yang berkobar di dunia maya.

Media social = media akselerasi hujatan dan prasangka buruk. Mengapa?

(part 2)

Akselerator Prasangka Buruk

Di antara penyebab hujatan yang menjamur di dunia maya tersebut adalah prasangka buruk yang kini hampir selalu dikedepankan, yakni dengan adanya jalan pintas menyampaikan pendapat, sebagian dari proses kita berpikir dengan prasangka buruk juga terpangkas, karena sesungguhnya prasangka buruk itu berupa luapan yang butuh waktu untuk meredakannya. Sehingga waktu yang kita gunakan untuk menilai informasi menjadi sangat singkat, dan kemudian segera berhenti pada prasangka buruk saja. Jadilah justifikasi berdasarkan prasangka buruk semakin di depan.

Prasangka buruk yang dipengaruhi waktu berpikir dan kedalaman ilmu pengetahuan kita, kini sangat terbantu dengan hadirnya media sosial. Tidak ada lagi waktu kita (tidak ada lagi kesabaran kita) untuk berpikir apakah perkataan maupun komentar kita ini benar atau salah, apakah baik atau buruk, apakah komentar kita ini akan membawa dampak positif atau negatif, apakah komentar kita ini bermanfaat, dan apakah komentar kita ini akan menyakiti hati orang lain atau tidak, dan sejenisnya. Semua pertanyaan tersebut tidak sempat kita jawab, bahkan kita tanyakan kepada diri kita sendiri, karena dorongan emosi (yang memangkas kesabaran kita) dan pendeknya lintasan untuk mengungkapkan isi otak dan hati kita.

Dalam skala yang lebih besar, sesungguhnya lintasan informasi yang kian pendek oleh teknologi informasi ini tidak didukung dengan kematangan berpikir dan mental yang kuat oleh kelompok manusia yang menggunakan teknologi ini. Semestinya kemajuan teknologi informasi ini tidak disponsori tunggal oleh teknologi itu sendiri, namun juga diiringi dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam peradaban tersebut untuk berpikir lebih cepat dan mendalam pada saat yang bersamaan didukung dengan kekuatan mental serta pemahaman agama yang baik. Jika tidak, maka jadilah media informasi sebagaimana yang kita dapati sekarang, media informasi yang tidak diiringi oleh perkembangan mental dan kematangan berpikir, serta kemampuan untuk bersabar membendung luapan emosi yang dilandasi pemahaman agama yang kuat, yaitu luapan emosi yang kemudian seringkali tidak berdasar pemikiran matang serta kematangan mental dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia memberikan aroma-aroma negatif dalam kehidupan. Itulah yang menjadikan media sosial menjadi akselerator bagi prasangka buruk, bahkan tidak hanya prasangka buruk, namun perkataan, bahkan hingga tindakan buruk. Karena perkembangan media informasi hanya disponsori oleh teknologinya. Tidak berikut dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakatnya, khususnya dalam hal agama yang menjadi koridor hidup kita yang mampu membendung semua hal tersebut.

Islam Sebagai Solusi

Banyak hal dalam agama yang semestinya kita kedepankan untuk menyambut perkembangan teknologi informasi tersebut untuk menghindari hal-hal buruk sebagaimana yang telah dibahas diatas, khususnya dalam hal etika berbicara. Islam mengajarkan banyak hal dalam menjaga adab dalam berbicara, dalam hal ini dapat diterapkan untuk bermedia sosial di antaranya:

  1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia, Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Qs. An-Nisa: 114).

2. Hendaknya menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Karena banyak di antara isi kolom komentar di dunia maya adalah berisi perdebatan dan saling bantah-membantah.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”.

(HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

3. Hendaknya kita menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang mu’min itu bukanlah pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya”.

(HR. Al-Bukhari di dalam Al Adab Al Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

4. Hendaknya menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”. (Qs. Al-Hujurat: 12).

5. Hendaknya kita menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.

6. Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (Qs. Al-Hujurat: 11).

Demikianlah sesungguhnya jika masyarakat kita masa ini menyadari betul bahwa agama adalah pedoman hidup kita, tentulah kesiapan masyarakat dalam menyambut perkembangan teknologi informasi akan jauh lebih baik.

Harapan kita semua

Seiring dengan berjalannya waktu -karena manusia adalah tipe makhluk yang mampu belajar- mereka akan perlahan merasakan kejenuhan berada dalam kondisi saling menghujat dan merespon negatif satu dengan yang lainnya. Perlahan mereka akan memahami ketimpangan yang terjadi. Sehingga sesungguhnya kita sedang dalam masa pencerdasan kehidupan sosial masyarakat. Kita berharap akan datang masanya ketika manusia sadar akan perbuatan-perbuatannya di dunia maya yang nampaknya maya, namun kemudian akan disadari bahwa perbuatan tersebut juga termasuk dalam kelalaian mereka dalam mengelola emosi dan dalam menjalankan perintah agama yang tentunya berdampak buruk untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Semua itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diiringi usaha untuk memperkuat nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari agar kesiapan masyarakat dalam menyambut teknologi di masa mendatang, tidak hanya teknologi informasi, namun teknologi apapun, semakin baik dan menjadikan seluruh teknologi tersebut bermanfaat dunia dan akhirat.

Semoga kita secara perlahan mampu menjadi manusia yang semakin beriman dan bertakwa yang bertanggung jawab dan mampu menggunakan teknologi dengan kemajuan berpikir serta beragama dan tidak kemudian mudah untuk ikut berkobar dalam kobaran emosi bermuatan negatif dari netizen dalam menilai suatu perkara tanpa pemikiran yang matang dan mendalam yang kemudian menjadikan prasangka buruk kita semakin terakselerasi oleh media sosial.

Wallahu’alam

Referensi

Baz, S. A. (n.d.). Al-Qismu Al-Ilmi. Dar Al-Wathan.

Penulis: Yarabisa Yanuar (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)

Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar

Penulis: Yarabisa Yanuar

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42898-media-social-dalam-timbangan.html