Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang.
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu (Muhammad), maka katakanlah: “Salamun ‘alaikum,” (keselamatan atas kamu). Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-An’am 6: 54)
Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang. Kadang baik ketika iman sedang naik; sebaliknya, kadar iman bisa turun ketika setiap nafas yang terhirup dilalui dengan perbuatan khilaf dan dosa. Surat al-An’am 6: 54 di atas seperti memberikan energi! Allah secara langsung, melalui Rasulullah Saw menyapa orang-orang beriman, “Salaamun ‘alikum” yang artinya mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu. Maksudnya lafadz ini ialah agar Allah telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya— untuk siapa? Yaitu untuk mereka, orang yang berbuat (‘amila) maksiat (su’u) dengan tidak mengetahui (jahil).
Terkait surah di atas, Ibn Katsir membagi golongan jahil ini menjadi tiga bagian yaitu; pertama, mereka yang tidak atau belum mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat. Kedua, orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. Ketiga, orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu (emosi).
Untuk golongan ketiga, Allah menghimpunnya ke dalam orang-orang yang merugi karena surga (seluas langit dan bumi) tidak diwarisi bagi mereka yang sukar menahan emosi (silahkan buka Qs. A>li Imra>n/3: 133)—ayat tersebut mengelompokkan orang-orang yang mampu menahan amarah (ka>dzhimi>na al-ghayz) sebagai salah satu golongan (dari tiga golongan) pewaris surga yang luasnya seluas langit dan bumi. MasyaAllah!
Kembali ke Qs. Al-An’am 6: 54, rahmah Allah berlaku tatkala dua syarat dari pendosa itu mampu dilakukan; pertama, taba bertaubat dengan sebenar-benarnya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu kembali dan kedua, ashlaha. Ashlaha menggunakan ism tafdhil (shaliha- ashlaha/ baik- lebih baik) yang memiliki makna bahwa seseorang yang terlanjut melakukan kekhilafan harus memiliki keinginan kuat untuk menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya.
Dua syarat ini setidaknya harus dilakukan; agar rahmah (kasih sayang) yang dimaksud Allah dalam Qs. Al-An’am 6: 54 bisa dicapai. Selain itu, dalam ayat lain yakni surah az-Zumar 39: 53) Allah pun sebenarnya berikrar dan memberikan dukungan penuh untuk siapapun yang telah “terpelosok” jatuh ke dalam dosa dan kesalahan, untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya.
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat tersebut secara khusus sangat menekankan pada pentingnya berhusnuzhan pada ke-rahiman Allah. Sifat rahim-Nya melampaui apa yang hamba-Nya pikirkan. Maaf-Nya seluas samudera dan tiada hingga selagi hamba tersebut mau mengakui dosa-dosanya dan berikrar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Sesungguhnya, Allah mengampuni (yaghfiru—menggunakan fi’il mudhari) semua dosa (adz-dzunub) baik dosa-dosa besar, apalagi dosa kecil, sebagai bukti bahwa maaf, ampunan dan rahmat-Nya selalu dan selamanya berlaku dan melingkupi seluruh hamba-hamba-Nya yang terlanjut melakukan khilaf pada-Nya.
Jika kita cermati kedua ayat di atas, yakni Qs. Al-an’am/6: 54 dan Qs. Az-zumar/39: 53, kata kunci dari kedua ayat di atas ialah ‘rahmat’. Rahmat yang memiliki kata dasar ra-ha-mi>m, yarhamu (fi’il mudhari/ kata kerja) dan rahmah/ rahmat (mashdar) tersebar di 37 surah dalam Alquran. Rahmah di dalam Alquran terbagi menjadi lima kategori yakni pertama, dalam bentuk lafadz (kata). Kedua, berdasarkan urutan mushaf. Ketiga, tertib turunnya ayat (tartib an-nuzu>), berdasarkan tempat turunnya; Mekkah (Makiyyah). Terakkhir, kelima, kategori Madinah (Madaniyyah).
Bentuk rahmah dan perubahannya di dalam Alquran pun sangat bermacam-macam. Rahmah terdiri atas 327 kata yang terbagi atas enam bentuk; dalam bentuk fiil madhi (disebutkan 8x), fiil mudhari (15x), fiil amr (5x), ism fa’il (113x), masdar (173x) dan terakhir dalam bentuk ism tafdhil (13x). Jika kita cermati, beberapa derivasi kata ra, ha, mim, maka tersurat bentuk yang paling banyak ialah bentuk masdar (rahmah) sebanyak 173x. Tentu, hal ini bukan secara kebetulan. Makna tersembunyi dari bentuk rahmah yang paling banyak dari kelima bentuk lain (fiil madhi dan lain sebagainya) memiliki makna bahwa rahmah (kasih saying Allah) selalu melingkupi semua hamba-hamba-Nya terlebih mereka yang berbuat dosa.
Bermacam-macam ahli kosa kata Alquran berusaha mengartikan makna rahmah. Ibn Faris dalam al-Maqa>yis menyebutkan, kata yang terdiri atas ra-ha-mim bermakna kelembutan hati, belas kasih, kehalusan, yang pada akhirnya kata ini juga dimaknai ikatan darah, persaudaraan, hubungan kerabat. Penamaan rahim; dalam organ tubuh perempuan juga bermakna bahwa rahim adalah tempat terbaik, ternyaman dan teraman untuk janin, sebab disitulah sumber kasih sayang Allah Sang Khaliq juga sang ibu yang mengandungnya.
Sedangkan Syaikh ar-Raghib al-Ashfahani memaknai rahmah dari Allah sebagai al-in’am (karunia/ ni’mat), anugerah dan fadhl (keutamaan/ kelebihan) untuk siapapun hamba-Nya yang ia kehendaki, tanpa batas. Sedangkan rahmah dari manusia ialah ar-riqqah (belas kasih) yang sifatnya terbatas.
Sedangkan Ibn Mandzhur dalam Lisan al-‘Arab, memaknai rahim sebagai kelembutan sifat-sifat Allah dan takdir-Nya,juga kebaikan-kebaikan dan limpahan rezeki-Nya.
Pemaknaan rahmah menurut ahli kosa kata Alquran di atas sesungguhnya menjadi isyarat bahwa cinta, kasih saying, ampunan, rezeki Allah sesungguhnya luas dan maha tak terbatas, terbukti dalam petikan lafadz Qs. Al-An’am 6: 54 di atas, “.. kataba rabbukum ‘ala nafsihi ar-rahmah..,”—Tuhanmu telah menuliskan dalam diri/ zat-Nya (sifat) kasih sayang,”, sehingga, memaknai asma’ husna (ar-Rahim) tak cukup hanya terulang lima kali kali saat shalat fardhu saja, namun juga harus melahirkan dan meneladani sifat-sifat rahim Allah; penuh kasih sayang, santun, mudah memaafkan dan tidak mudah tersulut emosi. Jika rahmah Allah melingkupi seluruh nafas dan hidup kita; maka, sebagai manusia yang tak luput dari dosa, harus mudah memaafkan bukan menyimpan rasa dendam.
Harus mudah bersikap ramah, bukan menjadi muslim pemarah. Harus bisa menjadi agen perbaikan dan perdamaian, bukan sebagai agen penebar hoax yang akhirnya menyebabkan perpecahan. Demikian, wallahu a’lam.
Oleh: Ina Salma Febriany