Namun, bagaimana dengan wanita yang tengah haid atau nifas? Tentu untuk bersuci dari hadas haid atau nifas tidaklah segampang orang yang junub. Jika junub, tentu bisa hilang hadasnya hanya dengan mandi. Namun, bagaimana bagi wanita haid dan nifas? Apakah selama haid yang memakan waktu enam hingga tujuh hari mereka tidak boleh menyentuh kitab suci Alquran? Apalagi, bagi wanita nifas yang mencapai masa 40 hari lamanya. Bukankah Alquran adalah pegangan hidup manusia yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri?
Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang dibolehkannya wanita haid atau nifas menyentuh mushaf Alquran. Namun, soal membaca ayat Alquran tanpa mushaf, para ulama bersepakat akan kebolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil sahih yang melarang wanita membaca Alquran tanpa mushaf.
Misalkan dalam pelaksanaan haji dan umrah. Hadis Rasulullah SAW dari Jabir bin Abdillah mengatakan, “Kemudian berhajilah dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR Bukhari Muslim).
Ketika Rasulullah menyebutkan hadis ini kepada Aisyah RA, Beliau SAW menyadari dalam pelaksanaan haji akan banyak membaca ayat Alquran. Namun, yang dilarang hanya tawaf dan shalat. Sementara, membaca ayat-ayat Alquran dan zikir-zikir lainnya tetap diperbolehkan selama haji. Hal ini sebagai dalil kuat bahwa membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf sama sekali tak dilarang.
Syekh Albani juga mengakui, hadis ini sebagai bukti diperbolehkannya membaca Alquran selama haid. Menurutnya, membaca Alquran dan memperbanyak zikir merupakan amalan yang paling utama dalam ibadah haji. Jika tidak boleh bagi wanita haid membaca Alquran, tentu akan ada pelarangan yang sharih (jelas) dari hadis Rasulullah SAW tentang hal itu.
“Kalau Beliau SAW melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Alquran (ketika haid), ini menunjukkan membaca Alquran ketika haid diperbolehkan. Mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fikih. Ini sudah jelas dan tidak samar lagi,” jelas Albani dalam kitabnya Hajjatun Nabi (hal:69).
Lantas bagaimana hukum membaca Alquran dengan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas kecil atau besar? Beberapa ulama ada yang tidak memperbolehkannya. Namun, sebahagian ulama lainnya tetap memperbolehkan hal itu.
Beberapa mazhab yang mengharamkannya adalah Mazhab Hanafiyah dalam Al-Mabsuth (3/152), Mazhab Malikiyyah dalam Mukhtashar Al-Khalil (hal: 17-18), Mazhab Syafi’iyyah dalam Al-Majmu’ (2/67), dan Mazhab Hanabilah dalam Al-Mughny (1/137).
Para ulama yang mengharamkan menyentuh mushaf Alquran bagi orang berhadas berdalil dengan firman Allah SWT, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS al-Waaqi’ah [56]: 79).
Para ulama yang tidak memperbolehkan menyentuh mushaf tersebut berpendapat, maksud “nya” dalam ayat ini adalah mushaf Alquran. Termasuk cakupannya seperti sampul dan kertasnya. Orang yang berhadas dilarang menyentuhnya secara langsung. Jika ingin membaca Alquran, orang yang berhadas hendaknya memakai media lain yang tidak menempel, seperti kaus tangan dan sejenisnya.
Mantan mufti Arab Saudi, Syekh Bin Baz, mengatakan, haram bagi orang berhadas menyentuh mushaf Alquran secara langsung. “Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Alquran menurut pendapat yang lebih sahih dari dua pendapat ulama karena tidak ada dalil yang melarang. Namun, mereka tidak boleh menyentuh mushaf. Mereka boleh memegangnya dengan penghalang, seperti kain yang bersih atau selainnya. Mereka juga boleh memegang kertas yang ada tulisan Alquran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan,” jelas Bin Baz dalam kumpulan fatwanya (24/344).
Di samping ulama yang mengharamkan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas, ada juga pendapat ulama yang membolehkannya. Seperti dibahas dalam kitab Sahih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal. Ia menyebutkan, tidak mengapa bagi orang yang berhadas kecil maupun besar untuk menyentuh mushaf Alquran.
Kitab Sahih Fiqh Sunnah ini juga ditaklik (dievaluasi) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Ditambah lagi, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga ikut menguatkan buku ini.
Dalam Sahih Fiqh Sunnah disebutkan, maksud dari ayat, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci” bukanlah berbicara mengenai mushaf Alquran. Hal ini dapat diketahui ketika membaca ayat-ayat sebelumnya. Firman Allah SWT, “Dan (ini) sesungguhnya Alquran yang sangat mulia [77]. Dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh) [78]. Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan [79].” (QS al-Waaqi’ah [56]: 77-79).
Ayat ini sama sekali tidak berbicara tentang mushaf Alquran. Jika melihat ayat sebelumnya, ayat ini menceritakan tentang Lauh Mahfuzh, yaitu kitab kejadian yang mencatat seluruh apa yang terjadi di alam semesta mulai dari awal penciptaan hingga kejadian akhir di hari kiamat. Tak ada yang bisa menyentuh Lauh Mahfudz kecuali hamba Allah yang disucikan, yakni malaikat. Apakah manusia bisa disebut suci? Tentu saja tidak karena manusia penuh dengan dosa. Hanya malaikat dalam konteks ini yang disebut hamba-hamba yang disucikan.
Para ulama kontemporer memandang, pendapat kedua yang membolehkan menyentuh mushaf Alquran dalam kondisi berhadas inilah pendapat yang paling kuat. Pendapat ini lebih relevan dengan kondisi kekinian dan model penafsiran yang lebih rasional. Tidak ada salahnya menyentuh mushaf Alquran dalam kondisi berhadas besar, seperti junub, haid, atau nifas. Apalagi, hanya berhadas kecil karena tidak berwudhu. Wallahu’alam.