Membaca Narasi di Balik Dukungan Abu Bakar Baasyir dalam Pemilu

Membaca Narasi di Balik Dukungan Abu Bakar Baasyir dalam Pemilu

Viral dukungan Abu Bakar Ba’asyir, mantan narapidana terorisme, terhadap salah satu pasangan kontestan calon presiden pada Pilpres 2024. Rekaman yang diunggah oleh akun Tiktok @aniesvisioner dibenarkan pula oleh putra Ba’asyir, Abdul Rohim. Hal menarik dari dukungan itu adalah persoalan narasinya.

Menyatakan keberpihakan terhadap salah satu pasangan Pilpres tentu adalah hak semua warga negara dalam kebebasan berpolitik. Namun, apa yang ingin saya urai adalah materi atau narasi yang diungkapkan Ba’asyir terkait dukungan tersebut. Mari kita simak secara lengkap pernyataan tersebut :

“Pilpres itu bukan ideologi tapi adalah alat, maka kalau memang tujuan kita ikut pilpres untuk membela Islam itu boleh. Jadi, kita perlu mengikut pilpres ini untuk membela Islam, caranya memilih presiden yang paham Islam. Calon kita yang paham Islam hanya satu yaitu yang nomor satu namanya Anies Baswedan, itu yang wajib kita pilih. Karena nanti kalau dia terpilih, ditakdirkan menjadi presiden, insyaallah banyak menguntungkan Islam, dia akan berusaha untuk mengatur negara ini dengan hukum-hukum Islam semampunya. Itu lah, saya berpendapat kita harus mengikuti pilpres ini, tapi tujuan kita untuk Islam, bukan untuk mengikuti Undang-Undang negara. Tujuannya memanfaatkan pilpres untuk kepentingan Islam, Yang paling paham Islam yaitu capres nomor satu. Jadi agar supaya semua umat Islam diberitahu itu jangan sampai tidak memilih, harus memilih. Tapi nomor satu yang harus dipilih, jangan yang lain. Tujuannya untuk kepentingan Islam, tujuan kita untuk membela Islam supaya tetap terawat dengan baik”

Secara eksplisit terlepas dari Baasyir sudah sering mengikuti upaca bendera dan kegiatan positif lainnya, tetapi ada narasi yang sebenarnya masih ambigu. Argumen yang disampaikan Ba’asyir masih tercermin kokohnya Ba’asyir sebagai tokoh islamisme yang tak tergoyahkan. Islamisme di sini, diartikan sebagai menjadikan Islam sebagai ideologi politik dengan tujuan meraih kekuasaan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.

Ba’asyir menempatkan Pemilu sebagai alat, bukan ideologi karena menurutnya tujuan sebenarnya adalah membela Islam. Islam adalah ideologi politik yang sebenarnya. Mengikuti Pemilu bukan persoalan mengikuti kepada Undang-undang negara, tetapi untuk membela kepentingan politik Islam.

Sangat jelas bagaimana Ba’asyir masih menempatkan Undang-undang bukan sebagai pedoman dalam berperilaku sebagai warga negara, tetapi yang paling pokok adalah tujuan politik agama. Corak pemikiran ini seolah terus memposisikan pertentangan antara ajaran agama dan peraturan dan perundang-undangan.

Sebagai warga negara yang muslim tentu kita memahami ketundukan dan ketaatan kepada peraturan dan perundang-undangan adalah bagian dari manifestasi ketaatan kepada ulil amri. Ketaatan kepada aturan bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam karena itu menjadi bagian dari sikap umat beragama.

Pemikiran yang menolak ketundukan dan ketaatan terhadap pemimpin dan aturan yang ada, tentu bukan bagian dari cara berpikir yang islami. Kecuali jika masih tersimpan dalam hatinya bahwa pemimpin dan peraturan yang adalah sistem kafir.

Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana klaim monopoli kebenaran yang kerap menjadi karakter kelompok islamisme. Ba’asyir mengatakan hanya pasangan tertentu yang benar-benar memahami Islam. Klaim ini menjadi corak klasik dari pemikiran islamisme yang menganggap hanya kelompoknya yang memahami Islam, yang paling islami dan paling membela Islam.

Istilah yang paling paham Islam sejatinya mencerminkan klaim kebenaran yang sangat halus untuk tidak mengatakan yang paling Islam di antara calon yang lain. Ukuran klaim “paling” dalam berislam tentu saja sangat subyektif dan kerap bisa menyesatkan yang bisa menimbulkan salah tafsir dan pemahaman bahwa yang lain tidak islami dan kurang berislam.

Karena itulah, saya melihat pemikiran Ba’asyir sebagai tokoh yang terus menyuarakan gerakan islamisme yang kuat. Gerakan Islamisme sangat beragam ada yang tetap menggunakan kekerasan seperti kelompok yang disebut jihadis, ada yang memilih jalur partai politik dan gagasan, ada yang secara persuasif menggunakan jalur dakwah dan pendidikan. Intinya dalam gerakan ini adalah menjadi Islam sebagai ideologi yang diterapkan sebagai sistem dalam negara.

Dengan subtansi pemikiran yang sama, visi politik gerakan islamisme dengan segala varian gerakannya di Indonesia bukan tidak mungkin memiliki pilihan yang sama dalam Pilpres nantinya. Mereka menunggangi politik Pemilu untuk mengokohkan kepentingan ideologisasi Islam. Mereka akan menunggangi calon tertentu yang dianggap memiliki visi yang sama atau setidaknya tidak merugikan eksistensi mereka pasca Pemilu.

Persoalan yang harus kita luruskan adalah apakah dalam konteks negara Pancasila Pemilu akan menjadi ajang kepentingan kelompok tertentu berdasarkan segmentasi agama. Seolah Pemilu adalah ajang pembelahan warga negara berdasarkan agama tertentu. Kemenangan paslon tertentu akan menjadi kemenangan agama, dan tentu saja kekalahan umat yang lain. Apakah Pilpres nantinya hanya diproyeksikan hanya membawa keuntungan untuk umat tertentu saja?

Kita memaknai Pemilu bukan sekedar meraih keuntungan untuk umat tertentu, tetapi pesta demokrasi yang membawa mashlahah ammah. Kita memaknai Pemilu sebagai ruang untuk suksesi kepemimpinan dalam menyejahterakan rakyat yang tidak melihat warna agamanya. Semua warga negara harus meraih kemenangan atas terselenggaranya Pemilu ke depan.

ISLAMKAFFAH