Diriwayatkan dari al-Bukhari, Muslim, dan at-Thabrani bahwa Rasulullah SAW bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah Islam (kesucian), tinggal orang tuanya yang meyahudikan, mengkristenkan atau bahkan memajusikannya.” Hadis tentang kondisi suci anak yang baru dilahirkan ini dinilai sahih oleh kebanyakan para ulama. Menurut Afif Taftazani, hadis ini berbicara mengenai kondisi fitrah manusia yang suci sejak lahir dan kaitannya dengan lingkungan yang membentuknya di kemudian hari. Dalam Annihayah, Ibnu al-Athir menafsirkan kata fitrah pada hadis ini sebagai kondisi yang memungkinkan seseorang siap untuk menerima kebenaran dan ketaatan.
Dengan kata-kata lain, menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, anak itu ibarat kertas kosong tinggal pulpen lingkungan yang menuliskan di atasnya warna merah, hitam, putih atau warna lainnya. Dengan meminjam bahasa Locke, anak ialah tabula rasa, tinggal elemen-elemen keluarga dan lingkungan yang akan membentuk dan mewarnainnya. Lebih jauh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menafsirkan bahwa fitrah kemanusiaan itu pada awalnya ialah kecondongan untuk mengenali Sang Maha Pencipta. Agar kondisi fitrah ini tetap terjaga, maka pendidikan di keluarga, lingkungan, dan masyarakatlah yang memiliki peranan yang sangat penting.
Sedari awal, Rasulullah SAW sering mencontohkan bagaimana menjadi sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya. Ketika melihat ada sahabatnya Ubaid bin Umair yang tidak pernah sedikit pun mencium anak-anaknya, Rasul SAW mencontohkan kasih sayang dan pujiannya terhadap putrinya, Fathimah RA. Rasul SAW bersabda, “celakalah orang yang selama hidupnya tidak pernah mencium anaknya.” (Bihar al-Anwar).
‘Mencium’ tidak hanya dimaknai secara ‘apa adanya’, tetapi juga bisa lebih luas daripada arti hafiyahnya. ‘Mencium’ anak merupakan simbol daripada bentuk kasih sayang yang mendalam. Dengan ibarat lain, ‘mencium’ dalam redaksi hadis di atas bisa ditafsirkan sebagai keharusan bagi orang tua untuk menghadirkan kenyamanan, kedamaian, dan kasih sayang antara anggota keluarga.
Hal demikian karena persoalan inti dalam hubungannya dengan pendidikan anak ialah keharusan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan nyaman, lingkungan yang ramah anak dengan tidak adanya kekerasan, diskriminasi dan hal-hal lain yang mengganggu stabilitas emosi mereka. Karena itu lingkungan tempat terbentuknya anak harus kondusif dan nyaman bagi perkembangan jiwanya.
Ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan mendidik anak agar berhasil. Yang pertama ialah lingkungan keluarga, terutama ibu. Pepatah Arab mengatakan, ‘Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya’. Anak adalah sosok unik yang membutuhkan kehidupan damai. Ibu adalah tempat yang kondusif untuk itu. Ulama besar sekaliber Thabataba’i yang hafal Alquran sejak umur tujuh tahun tak lepas dari asuhan ibu yang mendidiknya.
Menurut cerita, ibunya sangat berhati-hati dalam soal makanan yang dikonsumsi anaknya. Tidak hanya soal gizi dan nutrisi, namun juga sumbernya didapat dari cara halal atau tidak, dari syubhat atau bukan. Ada pepatah yang mengatakan, “Beritahu saya apa yang anda makan, akan saya beritahu siapa anda sebenarnya.” Dengan demikian, makanan ialah salah satu pembentuk kepribadian anak. Memberi makanan haram atau syubhat sama saja dengan memasukkan ketidakberkahan ke dalam pribadi sang anak yang akibatnya justru akan menghalangi datangnya cahaya keilahian dalam pribadinya dan dampaknya ketidakmungkinannya untuk dapat menerima kebenaran dengan baik.
Kedua, lingkungan sekolah. Di sekolah, selain di rumah, yang dibutuhkan sang anak adalah role model yang akan mengisi kepribadiannya. Adanya tindak kekerasan di sekolah dan lain sebagainya terjadi karena adanya pendidikan dengan cara kekerasan dan memosisikan anak sebagai robot dan pihak yang bersalah. Kekerasan ini kemungkinan diakibatkan dari ketidakmengertian dan ketidakpahaman akan suara hati sang anak.
Al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad menegaskan perlunya mendengar suara hati anak yang dididik (shoutu qulubihim) agar tercapainya pendidikan yang sempurna. Guru ataupun orang tua tak perlu banyak menjadi orang yang ingin selalu didengarkan ceramah-ceramahnya, nasihat-nasihatnya dan seterusnya. Tetapi sebaliknya, guru harus mampu mendengar suara hati sang anak, mendengar keluh kesahnya, memperhatikan semangatnya dan seterusnya. Guru yang baik ialah guru yang lebih sering mendengarkan ketimbang didengarkan.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Tentunya untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan anak, semua elemen masyarakat perlu turut andil. Tontonan televisi harus menekankan pada tayangan yang ramah anak. Apa yang didengar, dilihat dan diperhatikan anak akan membentuk kepribadiannya. Bagaimana jadinya pribadi anak yang sehari-harinya melihat berita kekerasan, korupsi pejabat, konflik pemerintah, perceraian para artis dan berita-berita negatif lainnya. Kondisi ini tentu sangat mengganggu kepribadian mereka. Singkatnya, mereka harus dijejali berita-berita yang positif agar memiliki kepribadian yang positif bagi lingkungan.
Anak adalah investasi akhirat. Masuk tidaknya orang tua ke surga ditentukan dari berhasil atau tidak mendidik anak. Rasulullah SAW sering menceritakan perihal orang tua yang tidak jadi masuk surga lantaran mereka tidak bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Untuk menghindari itu, Rasul SAW menegaskan, “mendidik anak satu jam lebih baik daripada bersedekah satu shaa.’” (HR. Thabrani)
Allahu A’lam.