Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya.
Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [1]
Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” [2]
Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
“Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.” [3]
Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala,
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” [4]
Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya.
Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan.
Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها.
“Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.” [5]
***
Penulis: Junaidi, S.H., M.H.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726
Catatan kaki:
[1] QS. At-Taubah: 60.
[2] QS. Al-Baqarah: 273.
[3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039.
[4] QS. Al-Kahfi: 79.
[5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103.
Sumber: https://muslim.or.id/93084-membedakan-antara-fakir-miskin-dan-gharim.html
Copyright © 2024 muslim.or.id