Ibadah haji mabrur selalu menjadi dambaan bagi setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji. Hal tersebut bukan saja karena didorong oleh motivasi dari hadits Rasulullah SAW yang menyebut bahwa balasan haji mabrur adalah surga, tetapi juga karena sudah menjadi naluri manusia bahwa setiap individu itu ingin berubah menjadi yang lebih baik.
“Momentum haji adalah saat tepat seseorang untuk melakukan perubahan itu agar bisa mencapai predikat sebagai manusia yang saleh dan bertakwa,” ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi kepada Republika.co.id, Rabu (17/5).
Dia mengatakan, seseorang bisa mendapatkan predikat haji mabrur apabila memiliki beberapa kriteria. Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi dengan tertib.
Ketiga, biaya yang digunakan untuk ibadah haji, biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.
Kelima, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno dan pandangan matanya juga harus dijaga. Fusuq adalah perbuatan fasik yang maksiat, misalnya, membicarakan kejelekan orang lain, memfitnah dan atau mengadu domba. Sementara, jidal artinya berkelahi atau berbantah-bantahan yang bisa menimbulkan permusuhan.
“Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak bersabar. Haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud (tertolak),” kata Zainut.
Banyak ulama menyatakan, bahwa ciri-ciri haji mabrur yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat ibadahnya, lebih mendalami ajaran agamanyya, meningkat hasil usaha dan prestasi kerjanya.
Selain itu, kata dia, dari segi keluarga juga semakin tumbuh rasa saling cinta, pengertian dan sayang diantara anggota keluarga. Dan lebih dari itu dengan masyarakat juga semakin tumbuh kepedulian sosialnya. “Jadi haji yang mabrur itu akan melahirkan kesalehan baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial,” ujarnya.
N Qommarria Rostanti