MEMBUKA pintu rezeki dengan infak atau sedekah, diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beberapa firman-Nya, antara lain ayat:
“Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini: “Apa pun yang telah kalian infakkan di jalan yang sesuai dengan perintah atau diperbolehkan oleh Allah, maka Allah akan menggantinya, baik di dunia dengan ganti yang lain, sekaligus menggantinya dengan pahala kelak di kehidupan akhirat.”
Syeikh Fadhal Ilahi mengatakan: “Barangsiapa menginfakkan rezekinya, berarti dia telah melakukan syarat datangnya rezeki pengganti. Barangsiapa menahan hartanya dari infak, maka harta dunia pastilah akan habis. Orang yang menahan rezekinya dari infak, berarti dia belum menjalankan syarat untuk datangnya rezeki lain yang menjadi penggantinya.”
Tidak ada yang abadi dan kekal dari harta benda dunia. Jika boleh diibaratkan, harta itu ibarat sumur. Apabila air sumur itu diambil, maka sumbernya akan mengeluarkan air baru lagi. Apabila sumur itu dibiarkan saja, tidak mungkin juga airnya meluap sampai ke permukaan. Setiap kali rezeki diinfakkan, maka setiap kali itu juga rezeki pengganti akan menempati tempat rezeki yang lama.
Seorang pedagang yang mengetahui bahwa barang dagangannya akan membusuk dan tidak laku jika dibiarkan, pasti mendorong orang itu untuk segera menjualnya, meskipun pembayarannya masih tertunda, daripada membiarkan barang dagangan membusuk dan tidak laku. Nah, bagaimana jika ada yang membeli barang itu dengan pembayaran kontan ditambah pembayaran tidak kontan yang lebih banyak lagi? Tentunya penjual itu pasti bersedia menjualnya. Dia akan menjual barangnya kepada Allah yang menjamin pembayaran di dunia sekaligus kelak di akhirat.
Kebanyakan manusia memang tidak menyadari kenyataan di atas bahwa harta pada akhirnya akan membusuk dan hilang tanpa sisa. Kebanyakan menganggap bahwa dengan harta, manusia bisa eksis selama-lamanya. Persis seperti yang disindirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’ an:
“Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (al-Humazah: 2-3)
Mereka bukanlah orang yang mengingkari kematian. Mereka tahu bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya. Namun, sikap dan perbuatannya mencerminkan sikap orang yang tidak percaya kematian dan hilangnya harta benda. Karena itu, ketika Allah mengutarakan janji-Nya kepada kita bahwa Dia akan membukakan pintu rezeki yang baru ketika kita sudah menyedekahkan atau menginfakkan harta kita, Dia perlu menguatkan janji itu dalam beberapa cara.
Ibnu Asyur menafsirkan surat Saba’: 39 di atas dengan mengatakan: Allah menguatkan dan mengukuhkan janji untuk memberikan ganti dalam ayat itu, dengan bentuk kalimat kondisional (jumlah syarthiyyah). Allah juga menjadikannya dalam bentuk kalimat nominal (jumlah ismiyyah) dan mendahulukan subjek dengan predikat kata kerja. Semua itu menunjukkan kesungguhan janji Allah dan bahwa Dia menginginkan manusia melakukannya.
Namun, permasalahannya adalah adakah jaminan bahwa Allah akan menggantinya kontan di dunia? Inilah pertanyaan yang sering mengganggu pikiran orang. Meskipun Allah berfirman di dalam Al-Qur’ an dengan sungguh-sungguh, tapi jika belum ada jaminan kertas bermaterai enam ribu, atau belum ada akte notarisnya, sepertinya manusia masih kurang percaya. Itulah manusia di zaman modern. Mereka lebih percaya kertas bermaterai atau tanda tangan notaris, daripada firman Allah dalam Al-Qur’an yang dijamin kebenarannya.
Buktinya, ketika berinvestasi ke sebuah perusahaan atau pabrik, apakah jaminannya? Tidak lain hanya berupa kertas MoU (Memorandum of Understanding), akta notaris, atau mungkin hanya kertas bermaterai 6.000 rupiah. Dengan jaminan kertas-kertas itu, mereka percaya. Namun, ketika mereka berinvestasi kepada Allah, Rabb Pemberi rezeki di semesta raya, manusia masih membutuhkan bukti dan jaminan. Tidakkah cukup kebesaran dan kekuasaan Allah di semesta raya menjadi jaminan? Tidakkah lembaran-lembaran kertas Al-Qur’an yang di dalamnya tertulis firman-firman Allah sebagai jaminan?
Di dalam pembahasan ini, pembaca tidak perlu bingung antara bersedekah atau memberikan uang belanja untuk keluarga sebagai tanggung jawab kita, menginfakkan uang untuk pembangunan gedung madrasah, ataukah bersedekah kepada orang-orang lemah dan fakir miskin di sekitar kita. Semuanya adalah bentuk dan cara-cara untuk membuka pintu rezeki Allah yang dijamin keuntungannya oleh firman Allah yang suci di dalam Al-Qur’an.
Mengeluarkan atau menginfakkan harta yang kita miliki terkadang perlu diberikan secara terbuka kepada umat, tapi seringkali lebih baik disampaikan secara rahasia atau tertutup saja. Saat seorang mukmin perlu memberikan uswah atau teladan kepada orang lain agar mau meniru dirinya, maka sebaiknya infak itu dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh orang banyak, tanpa disertai kesombongan atau pamer (riya’).
Pada saat seseorang harus menginfakkan harta secara diam-diam, karena hal itu telah menjadi kewajiban setiap orang, maka tidak perlu rasanya dilakukan secara terbuka. Orang yang mempunyai akal cerdas dan pikiran sehat, serta berorientasi akhirat, pasti akan menimbang dengan bijaksana, apakah akan menginfakkan hartanya secara terbuka atau diam-diam. Allah berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (ar-Ra’d: 19-22).*/Nur Faizin M., M.A, dikutip dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki