Tidak semua orang yang disebut ulama oleh masyarakat dapat meniru sikap dan teladan Nabi, meski barangkali ikhtiar mereka dalam meniru Nabi sudah matang.
Lantas siapakah ulama yang disebut penerus Nabi?
KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Islam di Amerika mengatakan sejumlah kriteria ulama yang disebut penerus Nabi. Kriteria pertama adalah dia memiliki ilmu agama Islam. Dimaksud dengan memiliki ilmu agama adalah bukan sekadar mengetahui ilmu agama Islam untuk diamalkan dirinya sendiri, melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain.
Minimal dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang disampaikan orang lain. Ulama sebagai penerus Nabi adalah seorang yang dapat disebut ahli agama, bukan ahli dalam bidang kedirgantaraan, kelautan, kehutanan, pertanian, urusan tanah, dan sebagainya.
Sebab, kata Kiai Ali, Nabi pernah bersabda, “Ulama itu ahli waris para Nabi. Sementara para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah.
Sehingga Kiai Ali menjelaskan bahwa ulama penerus Nabi hanyalah orang-orang yang ahli agama Islam yang batasan mudahnya adalah mampu memahami Alquran dan hadis-hadis Nabi. Atau dengan kata lain, mereka mampu membaca kitab-kitab kuning.
Menurut Kiai Ali, orang yang tidak mampu membaca kitab kuning maka keahlian agamanya belum meyakinkan. Sementara kaum intelektual, cendikiawan, dan sebagainya, misalnya sarjana atau pakar kehutanan dapat saja disebut ulama hutan, tapi dalam batas pengertian ulama secara kebahasaan. Bukan secara terminologis ulama sebagai penerus Nabi.
KHAZANAH REPUBLIKA