Isu emansipasi wanita selalu tidak pernah habis dibicarakan. Apalagi di sebagian negara di dunia termasuk Indonesia, masalah kesetaraan gender, persamaan derajat/hak antara wanita dan pria, kebebasan wanita, gerakan feminisme dan sebagainya yang semunya itu berkaitan dengan emansipasi wanita adalah isu-isu yang sifatnya status quo. Artinya belum ada kesepakatan secara regional ataupun internasional tentang konsep dan implementasi emansipasi wanita tersebut.
Misalnya apakah yang dimaksud dengan emansipasi itu adalah seperti konsep yang diterapkan di dunia Barat sekarang dan negara-negara sekuler lainnya? Ataukah konsep itu hanya (sesuai) diberlakukan di dunia Barat saja, tidak di dunia Timur termasuk Indonesia. Dan di antara negara-negara Barat sendiri juga belum terdapat kesepakatan dan kesepahaman tentang konsep tersebut.
Di Indonesia misalnya, dengan mayoritas penduduk muslim apakah implementasi dari emansipasi wanita ini sudah bisa dianggap berjalan. Apakah idiologi dan budaya yang dianut oleh suatu bangsa dan praktik-praktik keseharian di antara penduduknya sudah memenuhi hak-hak wanita dan mengangkat kedudukan mereka? Sebagai contoh, misalnya ada suatu tradisi yang berlaku di daerah tertentu menurut pandangan khalayak ramai dianggap merendahkan martabat wanita, namun justru di daerah barsangkutan dianggap sebagai hal biasa, merupakan tradisi yang terpelihara selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Sampai sekarang, di beberapa daerah yang masih kuat memegang tradisi masih bisa ditemukan praktek keseharian masyarakat yang mengsitimewakan kedudukan wanita, misalnya dalam pembagian harta warisan, upacara adat, dan seterusnya. Oleh karena itu, untuk saat ini belum ada parameter yang jelas tentang emansipasi wanita dan implementasinya di masyarakat. Dan memang, kata emansipasi itu sendiri masih bersifat interpretable (multi tafsir).
Namun yang jelas, upaya untuk mengkampanyekan emansipasi wanita dengan berbagai istilah dan interpretasinya sangat getol dilakukan oleh negara-negara Barat. Kita tidak tahu agenda dam misi apa yang terdapat dibalik kampanye dan propaganda emansipasi wanita itu. Propaganda emansipasi wanita adalah lagu lama yang dikobarkan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin ketika mereka melihat Islam sebagai agama yang sempurna dan pemeluknya sangat teguh memegangnya. Selama kaum muslimin terutama kaum muslimatnya konsekwen memegang Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah saw, selama itu pula musuh-musuh Islam tidak akan pernah puas, dan selalu berupaya menghancurkan Islam di antaranya dengan propaganda emasipasi wanita ini.
Bagi negara Indonesia, isu emansipasi biasanya mencuat sempena perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, yang diperingati secara nasional dalam rangka mengenang perjuangannya mengangkat harkat dan hak-hak wanita. Dan juga ada beberapa wanita Indonesia yang hidup pada zaman sampai dengan sebelum kemerdekaan yang berjuang merebut, mempertahankan, dan membela kemerdekaan dengan berbagai bentuk perjuangan mereka. Perempuan-perempuan ini sesungguhnya juga merupakan Kartini di bidangnya masing-masing, Kartini yang sosok dan kiprahnya tidak dikenal orang.
MAKNA EMANSIPASI
Emansipasi berasal dari bahasa Latin “emancipatio”, artinya adalah pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu, istilah ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum dewasa agar lepas dari kekuasaan orang tua mereka dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.
Istilah itu secara luas digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan derajat atau hak-hak politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dibahas dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan derajat.
Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian lebih sering dikaitkan dengan emansipasi wanita (baca persamaan hak dan kedudukan bagi wanita) dalam rangka memperoleh persamaan hak, derajat, dan kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuangkan persamaan bagi wanita yang sekarang orang lebih mengenalnya sebagai emansipasi wanita.
Dunia Barat dan negara-negara sekuler lebih cenderung memakai istilah feminism (feminisme) yang artinya adalah sebuah upaya atau gerakan yang bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan persamaan hak politik, ekonomi, sosial, dan memiliki kesempatan yang sama bagi wanita. Konsep tersebut sering tumpang tindih dan rancu dengan konsep hak-hak kaum wanita.
Para penyeru emasipasi wanita (baca feminis) menginginkan agar para wanita disejajarkan dengan kaum pria di segala bidang kehidupan tanpa terkecuali, misalnya pendidikan, pekerjaan, perekonomian, politik, pemerintahan, dan sebagainya.
EMANSIPASI WANITA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Konsep ini bertujuan agar para wanita memiliki kesamaan hak dengan pria dalam menuntut ilmu di bangku-bangku sekolah sampai ke perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, di bidang umum ataupun agama. Namun demikian, sebagai akibat yang tak bisa dihindarkan, sistem pendidikan (sekolah) di Indonesia yang membedakan antara pendidikan umum dan agama, tak jarang nilai-nilai agama dan akhlak dikorbankan. Misalnya terjadinya ikhtilat (percampurbauran wanita dengan pria), bepergian tanpa mahram, pergaulan bebas tanpa batas, bersikap permisif dan longgar terhadap terhadap kemungkaran.
Itu semua adalah dampak negatif yang tak bisa terhindarkan akibat adanaya percampurbauran dengan kaum pria. Masih timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang boleh tidaknya ikhtilat anatara wanita dan pria dalam masalah yang bersifat darurat misalnya karena kepentingan pengobatan, pendidikan, dan sebagainya.
EMANSIPASI WANITA DI BIDANG PEKERJAAN
Hasil konkrit yang dapat diamati dari pendidikan adalah dicetaknya sejumlah sarjana dari perguruan tinggi, baik wanita maupun pria dengan kemampuan dan kompetensi yang tidak jauh berbeda. Akibat dari berjubelnya calon tenaga kerja itu, maka persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin padat.
Hal ini langsung maupun tidak langsung akan berdampak kepada hal-hal berikut:
- Timbulnya pengangguran bagi kaum pria sebab lapangan pekerjaan telah dibanjiri oleh kebanyakan kaum wanita.
- Pecah atau terganggunya keharmonisan rumah tangga, sebab sang ibu lalai dengan tugas-tugas utamanya dalam rumah, seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, melayani suami dan anggota keluarga. Akibatnya rumah menjadi tidak terurus.
- Perkembangan anak menjadi kurang terkontrol, karena ibu dan ayah sibuk bekerja di luar rumah. Di sinilah timbulnya salah satu celah penyebab kenakalan anak dan remaja.
- Terjadinya percekcokan dan pertengkaran antara suami-istri, karena suami menuntut pelayanan penuh dari istri, sedangkan istri merasa capek setelah bekerja seharian di luar rumah.
- Terjadinya perselingkuhan bahkan perzinahan di tempat kerja khususnya bagi wanita yang bekerja di luar rumah.
Q. S. Al-Ahzab (59): 33 menegaskan, “Hendaklah kaum wanita tetap di rumah, dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku seperti orang-orang jahiliyah dahulu”. Rasulullah saw bersabda dan wanita adalah penanggungjawab di dalam rumah suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas tugasnya.
Pada hakikatnya Allah swt tidak membeni kaum wanita untuk bekerja mencari nafkah keluarga, karena itu merupakan kewajiban kaum lelaki. Q. S. Al-Baqarah (2): 233 menyatakan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf (baik)”.
Jadi seorang istri merupakan tanggungan suami, begitu juga putra-putri menjadi tanggungan orangtuanya. Jadi apabila seorang wanita muslimah memaksakan dirinya untuk bekerja menjadi wanita karir misalnya, maka pada hakikatnya dia telah merusak citra dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga wanita tidak akan sanggup menandingi kaum pria dalam segala pekerjaan disebabkan terdapatnya beberapa kelemahan pada diri mereka, seperti fisik yang lebih lemah dari kaum pria, mengalami haidh, hamil, melahirkan, nifas, menyususi, mengasuh anak, sehingga mereka tidak mempunyai waktu penuh dan tenaga ekstra kuat menandingi laki-laki.
Itulah kodrat wanita yang ditetapkan Allah swt dimana mereka adalah kaum yang diciptakan bukan untuk mencari nafkah, bekerja di luar rumah dan berkarir, tetapi untuk tinggal di dalam rumah, sebagai ibu rumahtangga mengasuh dan mendidik anak serta melayani suami.
Namun pada zaman sekarang, akibat tuntutan zaman yang berdampak pula kepada keharusan untuk menopang ekonomi rumahtangga yang dilakukan oleh kaum wanita (istri), maka mau tak mau peran istri sudah bergeser baik sedikit maupun banyak, sehingga memaksa mereka untuk beraktifitas di luar rumah. Sebagai contoh nyata misalnya kebijakan pemerintah dalam pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri.
Menurut hukum asalnya, syari`at Islam tidak membenarkan hal ini terjadi, bahkan melarangnya karena dikhawatirkan mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya. Hal ini sudah terbukti dengan kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, dan perkosaan yang dialami oleh TKW Indonesia di luar negeri. Meskipun sudah terjadi berulang kali, tetapi upaya pemerintah untuk menghilangkan atau mengurangi kasus-kasus itu tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sampai kini masih saja peristiwa yang sama terjadi dan belum ditemukan solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak.
Padahal dalam kaidah ushul fiqh yang menjadi metoda dalam menetapkan hukum dalam Islam, ada kaidah yang menyatakan bahwa menghindarkan atau menghilangkan mudarat itu lebih diutamakan dari pada mengambil keuntungan/maslahat. Dalam kasus kekerasan yang dialami oleh TKW Indonesia di luar negeri, bisa ditanggulangi misalnya dengan menciptakan lapangan kerja bagi wanita agar tidak sampai bekerja di luar rumah, luar negeri, dan sebagainya. Misalnya menciptakan home industri dan pemerintah menampung produk-produk yang dihasilkan untuk membantu pemasarannya.
EMANSIPASI WANITA DI BIDANG PEREKONOMIAN
Keikutsertaan wanita di bidang perekonomian dapat dilihat dari keterlibatan mereka di sektor-sektor perbankan, perkreditan, permodalan, saham, dan macam-macam bidang keuangan lainnya. Sudah menjadi pengetahuan kita semua bahwa penggerak utama sektor keuangan dan perbankan di Indonesia adalah bank-bank konvensional yang kental dengan praktek riba, meskipun ada ada bank-bank syari`ah tetapi dalam implementasinya belum sepenuhnya berjalan berdasarkan syari`ah.
Sistem ribawi ini secara tegas diharamkan Allah swt, seperti dinyatakan dalam Q. S. Al-Baqarah (2): 275, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” dan Q. S. Al-Baqarah (2): 176, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”.
EMANSIPASI WANITA DI BIDANG PEMERINTAHAN
Kiprah wanita di bidang politik dan pemerintahan di Indonesia mulai bersinar semenjak lahirnya reformasi politik pada tahun 1998 yang menandai jatuhnya rezim orde baru. Kaum hawa kini sudah banyak duduk di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, meskipun prosentasenya belum begitu signifikan. Sudah ada kemajuan berarti, paling tidak produk-produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan kini sudah banyak yang berpihak kepada wanita. Dalam susunan kabinet sendiri sudah lama ada Kementerian Pemberdayaan Wanita. Di satker-satker tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah dibentuk badan yang mengurusi wanita.
WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM
Wanita memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Allah swt telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syari`at sesuai dengan fitrah penciptaan(kodrat)nya.
Di antara hukum-hukum yang diletakkan atas wanita antara lain:
- Allah swt memerintahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka agar terjaga kehormatanya. Q. S. Al-Ahzab (33): 33, “Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian”.
- Allah swt tidak membebankan mereka untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka. Q. S. An-Nisa” (4): 5, “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah sudah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
- Kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuh mereka, sebagaimana firman Allah swt Q. S. Al-Ahzab (33): 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Yang demikin itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.
- Kaum wanita atau seorang wanita tidak boleh bepergian dalam sebuah safar melainkan harus ditemani oleh seorang mahram, melihat kondisi wanita yang lemah serta memerlukan perlindungan dan pemeliharaan. Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan tidak boleh bepergian selama tiga hari kecuali ditemani mahram-nya”. (Hadist Riwayat Imam Bukhari).
- Kaum wanita dilarang bertabarruj (bersolek) seperti wanita Jahiliyah. Q. S. Al-Ahzab (33): 33, “Dan janganlah kamu (wanita) bertabarruj seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.
- Urusan talak perceraian tidak diserahkan kepada wanita. Q. S. Al-Baqarah (2): 236, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”. Dan dalam Q. S. Ath-Thalaq: 1, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu”. Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Perceraian di tangan kaum lelaki dan tidak di tangan selainnya”.
- Tidak diwajibkan bagi wanita untuk memikul amanat jihad fi sabilillah seperti dibebankannya kewajiban itu kepada kaum leleaki.
Beberapa bentuk ketentuan khusus bagi kaum wanita di atas adalah merupakan cara untuk menjaga eksistensi wanita. Begitulah Allah swt menetapkan hukum-hukumNya berkaitan dengan wanita secara bijak dan adil sesuai dengan kodrat mereka, justru untuk menjaga kemuliaan, harkat dan martabat mereka. Apabila ketentuan di atas dilanggar, maka akibatnya akan dirasakan langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, terjadinya fitnah, kerusakan, kekacauan, dan ketidakharmonisan berkaitan dengan masalah wanita pada masa kini adalah disebabkan karena tidak diikutinya ketentuan Allah swt berkaitan dengan hukum dan ketentuan tentang wanita dalam Islam.
WANITA DALAM PANDANGAN JAHILIYAH
Tidak diragukan lagi, wanita di masa Jahiliyah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, nasibnya tergantung kepada pemilik atau pengembalanya. Status wanita bagi bangsa Arab sebelum masuknya Islam sangatlah rendah. Hak-hak mereka diberangus dan dikebiri, tak ada hak warisan. Di antara adat Jahiliah yang terburuk adalah menguburkan bayi perempuan hidup-hidup. Inilah puncak kekejaman, kebengisan, dan kebiadaban yang tiada tara sepanjang sejarah peradaban manusia. Peristiwa ini disinyalir dalam Q. S. At-Takwir: 8-9, “Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”.
Ada beberapa tujuan Bangsa Arab dalam penguburan bayi hidup-hidup tersebut. Di antaranya karena alasan menjaga kehormatan dan khawatir mendapat celaan masyarakat. Seperti diketahui, Bangsa Arab ketika itu adalah orang-orang yang gemar berkelahi dan berperang. Maka apabila terjadi peristiwa peperangan, anak-anak perempuan biasanya dijadikan tawanan perang. Menurut mereka keadaan ini merupakan puncak kehinaan dan kelemahan.
Ada juga yang mengubur bayi perempuan karena kedaan hidup yang sulit, susahnya mencari mata pencaharian, hidup fakir dan miskin. Kemiskinan itulah yang mendorong perbuatan pembunuhan yang keji itu. Hal ini diceritakan dalam Q. S. Al-Isra”(17): 31, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. Larangan untuk membunuh anak-anak karena takut miskin juga dinyatakan Allah swt dalam Q. S. Al-An`am (6): 151, “Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh RabbMu yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka”.
Ada juga di antara kaum jahiliah itu yang membunuh anak mereka karena kecemburuan dan khawatir mendatangkan aib seperti penyakit, hitam, gemuk, dan sebagainya. Fenomena kezaliman ini telah menjadi aturan masyarakat dan diterapkan secara diskriminatif terhadap perempuan yang tak berdosa. Islam datang mengharamkan perbuatan biadab tersebut dan memberikan hukuman setimpal bagi pelakunya.
WANITA DALAM PANDANGAN ORANG KAFIR
WANITA DALAM PANDANGAN BANGSA YUNANI
Bangsa Yunani tergolong sebagai bangsa pendahulu yang paling tinggi peradabannya. Mereka memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang. Sehingga tidak heran golongan ini menduduki posisi paling rendah. Karena kedudukan yang rendah itulah kaum lelaki tidak duduk bersama dalam satu meja makan. Pada generasi berikutnya terjadi perubahan radikal dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kaum wanita dalam urusan berkaitan masalah sex saja. Wanita tak ubahnya seperti pelacur. Posisi pelacur ketika itu menempati kedudukan tinggi dan menjadi pusat perhatian segala aktivitas masyarakat. Bahkan masyarakat membuat hikayat-hikayat untuk para pelacur.
WANITA DALAM PANDANGAN BANGSA ROMAWI
Bangsa Romawi adalah bangsa yang mencapai puncak kejayaan dunia setelah bangsa Yunani. Aturan-aturan yang diterapkan bangsa ini cenderung kepada kezaliman, kejahatan dan penyiksaan kepada kaum wanita. Seorang suami misalnya, memiliki hak penuh atas istrinya, bebas mengatur dan memperlakukan istrinya bagai seorang budak. Kaum lelaki memandang kaum wanita hanya sebagai tempat melepaskan nafsu syahwat, laksana binatang menyalurkan nafsu berahinya. Akibat semua itu, negara Romawi hancur dengan cara keji sebagaimana negara Yunani hancur sebelumnya. Itulah akibat perbuatan bangsa yang tenggelam dalam syahwat kebinatangan.
WANITA DI NEGERI PERSIA
Persia adalah sebuah negeri yang telah menguasai hukum di sebagaian besar negara, yang menentukan kekuasaan, membuat undang-undang dan aturan-aturan. Undang-undang yang dibuat merendahkan serta menzalimi wanita. Mereka menetukan hukuman yang berat bagi wanita hanya karena kesalahan ringan. Pada saat yang sama, kaum lelaki memiliki kebebasan mutlak dan hukuman tidak ditimpakan kecuali pada kaum wanita. Sehingga apabila seorang wanita jatuh dalam kesalahan berulang-ulang, dia harus menghukum mati diri sendiri. Saat itu ada kebiasaan untuk melarang wanita menikah dengan laki-laki lain di luar golongan mereka (penyembah matahari). Sementara laki-laki bebas menikahi wanita mana saja sesuai keinginan nafsunya. Aturan-aturan yang mereka terapkan benar-benar diskriminatif, memojokkan dan menzalimi kaum wanita.
WANITA DI NEGERI CINA
Secara umum masyarakat Cina dahulu berada dalam keadaan hidup yang kacau dan biadab. Mereka bebas berhubungan sex tanpa rasa malu. Dalam masyarakat wanita tidak memiliki hak kecuali menerima perintah dan melaksanakannya tanpa protes. Adat adalah sesuatu yang sifatnya mengakar dan benar-benar mengikat tata cara kehidupan. Wanita tak berhak memiliki harta warisan dan tidak boleh menuntut harta bapaknya sedikitpun. Sampai kini masih ada tradisi yang menganggap anak lelaki lebih utama dari anak perempuan. Wanita disamakan seperti air mengalir yang membersihkan kotoran, dianggap sebagai kesenangan dan harta warisan.
WANITA DI NEGERI INDIA
Keadaan kaum wanita di India tak lebih baik dari keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dianggap sebagai budak, sedangkan lelaki sebagai tuannya. Anggapan itu berlaku seperti seorang gadis menjadi budak terhadap ayahnya, seorang istri menjadi budak suaminya, dan seorang janda menjadi budak anak-anaknya. Keyakinan pemeluk Hindu ini, kaum wanita adalah dosa dan penyebab kemunduran. Bila seorang suami meninggal, maka sang istri harus dibakar pada hari kematian suaminya dengan cara dibakar di atas satu tungku.
WANITA DALAM PANDANGAN YAHUDI
Menurut Yahudi wanita adalah makhluk yang hina dan rendah bagaikan barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar-pasar. Hak-hak mereka dilucuti, dan mereka diharamkan dari hak waris jika warisan itu berupa harta. Jika seorang ayah meninggal dan meninggalkan hutang berupa barang kebutuhan rumah, maka dibebankan kepad kaum wanita untuk menanggungnya. Namun jika memiliki harta warisan berupa benda, maka wanita tidak memiliki sedikitpun hak atasnya. Mereka memandang bahwa wanita bagi kaum lelaki adalah merupakan salah satu pintu jahannam, karena wanita adalah penyebab yang menjerumuskan ke dalam perbiatan dosa.
Aggapan mereka wanita juga sumber segala musibah yang menimpa manusia. Wanita adalah terlaknat karena menyebabkan Adam turun dari sorga. Jika seorang wanita dalam keadaan haid, ia tidak boleh diajak makan, minum, duduk dan berkumpul bersama, serta tidak boleh menyentuh bejana karena akan menimbulkan najis. Dia diasingkan di sebuah kemah atau tempat terpencil, lalu makanan dan air disediakan baginya, setelah suci (berhenti masa haidnya) barulah boleh kembali di tengah keluarga.
WANITA DALAM PANDANGAN NASRANI
Di antara konsep Nasrani di Eropa ketika itu adalah mengganggap wanita sebagai sumber kemaksiatan, asal kejelekan dan kejahatan. Wanita adalah salah satu penyebab yang mengantar kaum lelaki ke pintu jahannam. Wanita menjadi sumber gerakan berbuat dosa.
ISLAM MEMULIAKAN WANITA
Keberadaan wanita di dalam Islam sangat dimuliakan semenjak kedatangan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Islam adalah agama yang sempurna, mengatur perilaku, tata pergaulan, dan peradaban manusia termasuk bermuamalah dengan kaum wanita.
Semua aturan tentang wanita ini telah dicantumkan dalam berbagai ayat dalam Al-Qur`an, antara lain:
1. Dijaganya hak perempuan yatim.
Q. S. An-Nisa` (4): 3 menyatakan, “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana menikahinya), maka nikahilah wanita lain yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih baik agar kalian tidak berlaku aniaya”.
Seorang wali atau pengasuh anak perempuan yatim dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil. Karena jika tidak demikian, bila perempuan yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan atau tidak mau menikahinya.
2. Menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Yang dimaksud adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena ini di luar kesanggupan seorang hamba.
3. Perempuan berhak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Q. S. An-Nisa`(4): 4 menyatakan, “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik”.
4. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Dalam Q. S. An-Nisa` (4): 7 dinyatakan, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dankerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Di zaman Jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya laki-laki, sementara wanita tidak mendapat bagian. Malah wanita dianggap sebagai bagian dari barang yang diwarisi.
5. Suami diperintahkan untuk berlaku baik terhadap istrinya.
Allah memerintahkan para suami untuk mempergauli istri-istri mereka dengan baik, seperti ditegaskan dalam Q. S. (4): 19, “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut”. Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas yakni perindah ucapan kalian (para suami) terhadap para istri dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagimana kalian (kaum lelaki) menginginkan hal demikian, maka demikian pula kaliann harus berbuat yang sama.
6. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tak menyukainya.
Q. S. An-Nisa`(4): 19 menyatakan, “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. Sabda Rasulullah saw, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), jika ia tidak suka satu tabiat istrinya maka bisa jadi ia ridho (rela) dengan perangainya yang lain”.
7. Bila seorang suami bercerai dari istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang sudah diserahkan.
Larangan ini ditetapkan dalam Q. S. An-Nisa` (4): 20, “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain, sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut”.
8. Diharamkan seorang lelaki menikahi mahramnya karena nasab atau kerena persusuan.
Seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. Q. S. An-Nisa” (4): 23 berbunyi, “Diharamkan atas kalian menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Islam Mengajarkan Keadilan Bukan Persamaan dalam Segala Hal
Q. S. An-Nisa`(4): 34 dengan tegas menyatakan, “Lelaki itu adalah pemimpin atas kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka (lelaki) atas sebagaian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahakan sebagian dari harta mereka”.
Maka diutamakannya kaum lelaki diatas kaum wanita dari berbagai sisi: dari sisi memegang kepemimpinan dalam negara hanya dikhususkan bagi kaum lelaki, kenabian, kerasulan, dikhususkannya mereka dalam sekian banyak dari perkara ibadah seperti berjihad, melaksanakan (shalat) hari raya dan jum`at. Dan dengan apa yang Allah khususkan kepada mereka dari akal, ketenangan, kesabaran, kekuatan yang mana para wanita tidak memiliki yang semisal itu.
Demikian pula mereka dikhususkan dalam memberi nafkah kepada istri-istri mereka, bahkan kebanyakan dari pemberian nafkah tersebut khusus menjadi tanggung jawab kaum lelaki, dan ini yang membedakan mereka dari kaum wanita. Dan mungkin ini rahasia dari firman-Nya “dengan apa yang mereka memberi nafkah” dan objeknya dihapus (tidak disebutkan), untuk menunjukkan keumuman nafkah.
Maka diketahuilah dari ini semua bahwa seorang laki-laki berkedudukan seperti pemimpin, tuan di hadapan istrinya. Dan istri di hadapan suami bagaikan tawanan dan pelayannya, maka tugas seorang lelaki adalah menegakkan apa yang telah Allah berikan kepadanya berupa tanggung jawab pemeliharaan. Sedangkan tugas wanita adalah ta`at kepada Rabb-nya, ta`at kepada suaminya.
Hal yang sama juga berlaku antara kaum lelaki dan wanita, Allah Subhaanahu wata`ala, memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka, dengan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari`at. Sebab, menyamakan antara lelaki dan wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan fitrah dan syariat.
Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka sudah berbeda, diantaranya:
– Wanita memiliki bentuk tubuh dan jenis kelamin yang berbeda dengan kaum lelaki
– Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki
– Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki
– Wanita mengalami masa haid, tidak bagi kaum lelaki
Dan masih banyak lagi perbedaan diantara keduanya.
Maka dari itulah Allah azza wajalla, yang Maha mengetahui kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada posisinya masing-masing. Diantara perbedaan antara keduanya dari sisi syariat adalah:
– Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki
– Wanita dianjurkan tinggal dirumahnya dan tidak keluar dengan bertabarruj, tidak demikian halnya kaum lelaki
– Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi yang lemah dari para wanita
– Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita
Dan yang lainnya dari perbedaan yang telah ditetapkan Allah azza wajalla, yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.
Lelaki Adalah Pemimpin Dalam Bernegara dan Berumah Tangga
Ayat Allah Subhaanahu wata`ala, yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan seorang wanita adalah adalah berada di bawah perlindungan dan pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu, seorang wanita tidak diperbolehkan diberi tanggung jawab sebagai pemimpin yang membawahi kaum lelaki, sebab hal tersebut bertentangan dengan keadaan penciptaan wanita itu sendiri yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, yang dapat mengantarkan kepada timbulnya kerusakan dan kehancuran.
Demikian pula dalam hal berumah tangga, seorang suami adalah pemimpin dan penanggung jawab terhadap rumah tangganya. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Umar radiyallohu `anhu bahwa Rasulullah Shallallohu `alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemelihara, maka dia bertanggung jawab atas apa yang dia pelihara. Seorang imam adalah pemelihara atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas mereka, seorang lelaki adalah pemelihara atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemelihara terhadap rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemelihara atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atasnya. ketahuilah, setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipeliharanya”.(Hadits Muttafaqun alaihi).
Akan tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan berarti kedudukan wanita di dalam Islam tersebut rendah, sebab yang menjadi standar kemuliaan seseorang disisi Allah Azza wajalla, adalah ketaqwaan. Apabila seorang wanita senantiasa ta`at kepada Allah Subhaanahu wata`ala, ta`at kepada suami, memelihara kehormatan diri, menjaga harta suami disaat ia ditinggal, maka dia akan mendapatkan jaminan syurga yang tidak didapatkan oleh kebanyakan kaum lelaki yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah azza wajalla, Rasulullah Shallallohu `alaihi wasallam, bersabda: “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya, dan ta`at kepada suaminya. Maka dikatakan kepadanya: masuklah engkau ke dalam syurga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki”. (HR.Ibnu Hibban).
PENUTUP
Membincang emansipasi wanita – sebuah istilah atau terminologi yang sangat populer di Indonesia – adalah seperti menguliti bawang, semakin dikupas semakin banyak terlihat lapisan lainnya. Artinya kalau ingin membahasnya secara tuntas, persoalan ini tidak akan pernah selesai, sebab masing-masing pihak bertolak dari sudut pandang berbeda. Bukan hanya itu, ternyata isu emansipasi wanita ini, kita sadari ataupun tidak, ternyata dijadikan propaganda Kaum Yahudi, Barat, dan sekuler untuk menghancurkan Islam.
Musuh-musuh Islam ini dengan jeli melihat celah-celah dalam Islam, seolah-olah ajaran Islam tidak mengakui emansipasi wanita (persamaan antara lelaki dan wanita) bahkan merendahkan martabat wanita. Padahal dalam Islam antara lelaki dan wanita bukanlah untuk dipersamakan dalam segala hal, sebab secara qodrat, fitrah, dan asal kejadian, antara lelaki dan perempuan tidak bisa dipersamakan ataupun dibedakan. Masing-masing memiliki kelebihan dan keistimewaanya sendiri-sendiri. Sehingga tidak relevan kalau isu emansipasi wanita ini dikaitkan dengan upaya mempersamakan hak-hak dan kedudukan wanita dengan kaum lelaki.
Islam secara tegas tidak mengakui adanya persamaan dalam segala hal, tetapi Islam menganut prinsip keadilan. Adanya kelebihan lelaki atas perempuan dalam hal kepemimpinan baik dalam rumah tangga, negara, ataupu kepemimpinan lainnya adalah menunjukkan sifat keadilah Allah swt yang mengetahui apa yang terbaik bagi manusia, bagi seorang individu sesuai dengan keadaan yang bersangkutan. Yang pasti, siapa saja yang beriman dan beramal soleh baik lelaki maupun perempuan sedangkan dia bertaqwa, maka balasannya adalah surga. Sabda Rasulullah saw, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya, dan ta`at kepada suaminya. Maka dikatakan kepadanya: masuklah engkau ke dalam syurga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki”. (HR.Ibnu Hibban).
Oleh: Agus Saputera