Kisah Nabi Ibrahim, Ayahnya, dan Kaumnya

Meniru Perilaku “Cinta” Nabi Ibrahim

CINTA adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya, terkhusus manusia. Ketika rasa itu telah merasuk pada setiap diri bani Adam, maka semua yang diterima, atas konsekuensi cintanya, akan terasa indah lagi menyenangkan, sekalipun realitasnya balasan yang didapat sangat membebani fisik, pikiran dan perasaan. Menyitir pribahasa anak muda saat ini, “Kalau sudah cinta, tahi kucing pun terasa cokelat,” ujar mereka.


Ini merupakan satu ungkapan, yang berupaya menjelaskan akan keunikan cinta. Sehingga, hal yang sangat sukar sekalipun (tahi kucing), akan terasa seolah cokelat. Ya begitulah, tak ada istilah pamrih bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Semua perjuangan yang dilakukan dibangun atas ‘keikhlasan’ yang tinggi, karena ingin membuktikan kebenaran cinta yang ada di dalam dada. Dan itu bukanlah sebuah kekeliruan. Justru, itulah ekspresi ataupun ‘akrobat’ dasar yang ditimbulkan cinta murni, yang tumbuh dari jiwa nan suci.


Ketika cinta tidak melahirkan ekspresi yang demikian dahsyat/spektakuler, maka patut dipertanyakan, apakah benar cinta yang dipersembahkan merupakan cinta yang tulus murni, atau, sebaliknya, hanya pemanis mulut saja, tapi hati berkata tidak? Istilahnya, ada udang di balik batu. Atau, yang lebih ekstrim lagi, munafik.
Untuk menakar kemurnian itu, bisa kita lihat dari tindak-tanduk sang pecinta dalam memenuhi hajat yang dicintai, ketika ‘sang-dipuja’ menuntut pengorbanan. Apabila dia melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh penuh semangat, ikhlas, tanpa keluh kesah, maka bisa diprediksi bahwa cintanya tulus dan murni.


Namun, apa bila yang terjadi justru sebaliknya, banyak protes, ogah-ogahan, baru menapaki jalan yang sedikit terjal sudah tidak kuat melangkahkan kaki barang setapak, maka, kita sendiri bisa mengecap, cinta model apakah ini?


Kisah Cinta Sejati Ibrahim pada Allah
‘Rumus’ (Menguji kemurnian cinta) di atas bisa kita temukan di al-Quran yang menjelaskan bahwa tidak lah cukup bagi seorang hamba membuktikan cinta (imannya) kepada Allah, hanya dengan mengungkapkan di bibir semata, bahwa dia telah beriman kepada Allah, kemudian mereka dibiarkan begitu saja. Sekali-kali tidak. Mereka perlu membuktikan akan keafsahan apa yang telah mereka ikrarkan. Karenanya, mereka akan diuji dengan beberapa ujian, sehingga nampaklah yang benar-benar beriman dan yang munafik di antara mereka.


Firman Allah: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al‘Ankabut:2-3).


Dalam perjalanan, tidak sedikit manusia yang gagal dalam menjalani ‘tes-tes’ kemurnian cinta, yang Allah berikan. Banyak di antara mereka yang ‘gugur’ di pertengahan jalan. Bahkan, tidak sedikit pula yang berjatuhan di saat ‘genderang’ ujian baru ‘ditabuh’. Potret pribadi-pribadi macam ini, sampelnya, bisa kita temukan pada sosok orang-orang munafik, yang memisahkan diri dari barisan pasukan perang kaum muslimin, pada perang Badar.


Saat itu, dengan mudahnya mereka menyatakan kesetian kepada baginda Rosul. Siap membela beliau baik dalam kondisi suka maupun duka, lapang ataupun sempit. Namun apa yang terjadi ketika ikrar tersebut diuji, mereka gagal. Nampak jelas kebusukkan hati mereka. Sumpah setia yang mereka umbar, hanyalah pemanis bibir semata. Sungguh, kecelakaan hiduplah bagi mereka.


Setali tiga uang, mereka yang sukses melewati ujian-ujian tersebut, pun banyak, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang gagal. Dan salah satu di antaranya adalah Nabi Ibrahim ’Alaihi Salam.

Nabi Ibrohim, selain mendapat gelar sebagai ‘Abu Al-Anbiya’ (Bapaknya para Nabi), beliau juga termasuk Nabi dalam kategori ‘Ulul ‘Azmi’. Tentu saja, sederet gelar tersebut tidak serta-merta menempel di pundaknya, tanpa melalui proses perjuangan yang tinggi.

Ujian cinta beliau terhadap Allah, sangatlah terjal. Namun, sekalipun demikian getirnya, dengan sabar dan disertai ketulusan yang sangat, hanya untuk mengharapkan ridho Allah, beliau hadapi ujian itu tanpa harus berkeluh-kesah.


Salah satu ujian yang harus beliau hadapi adalah menerima kenyataan, di mana perintah menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Padahal, jauh sebelum itu, ketika anak laki-laki tersebut masih dalam buaian, beliau tinggalkan bersama sang-ibu, di padang sahara yang tak ada aura kehidupan, tanpa bekal yang berarti.


Dan kini, setelah anak itu tumbuh dewasa menjadi pribadi yang sholeh, taat kepada orangtua, datanglah perintah untuk menyembelihnya. Siapa pun dia, sebagai orang tua, tentu galau menerima perintah demikian. Tak terkecuali Nabi Ibrahim. Karenanya, setelah mendapat mimpi demikian selama tiga kali, beliau kemudian menuturkan prihal mimpinya kepada sang-buah hati.


Subhanallah, setelah mendapat penjelasan dari sang-ayah, Ismail dengan mantap berujar, “Wahai ayahanda, sekiranya itu benar-benar perintah dari Allah, maka laksanakanlah. Mudah-mudahan engkau menemukanku termasuk orang yang bersabar.”


Singkat cerita, Ibrahim pun melaksanakan titah Allah SWT. Namun, dalam prosesnya kelak, Allah memrintahkan Ibrahim untuk mengganti penyembelihan Ismail, dengan binatang ternak (lembu). Dengan peristiwa ini, luluslah Ibrahim dari ujian cinta yang Allah berikan. Sebesar apapun cinta beliau terhadap Ismail, sebagai orang tua yang telah lama menanti kehadirannya, namun, tidak sebanding dengan cinta beliau kepada Allah. Karenanya, perintah penyembelihanpun beliau laksanakan, demi membuktikan kemurnian cintanya pada Allah. Inilah tauladan cinta sejati itu.


Bukan Cinta Buta
Cinta yang menghujam dalam diri Ibrohim, bukanlah cinta buta. Cinta yang beliau miliki adalah cinta murni nan tulus yang tumbuh dan memekar dalam hati (bukan dilandasi nafsu). Dan itu terjadi karena proses yang beliau lalui dalam menghadirkan cinta, itu benar, yaitu melalui pengenalan yang mendalam.


Kita tentu sangat akrab dengan pernyataan para pujangga, “Tidak kenal maka tidak sayang. Tidak sayang, maka tidak cinta”. Dan proses itulah yang telah melahirkan makrifat cinta Ibrohim yang begitu mendalam terhadap Tuhannya. Tak ubah pohon yang akarnya menghujam ke dasar tanah yang paling dalam, sehingga tidak mudah digoyahkan oleh badai sekalipun.


Hal tersebut, tersirat dalam proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrohim. Dan keyakinan itu dipertabal kembali, dengan dikabulkannya permintaan/do’a Ibrohim, untuk menyaksikan secara nyata, bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya. Kemudian, Allah memerintahkannya untuk menyembelih beberapa ekor burung, kemudian, diletakkan di atas bukit. Ketika Ibrohim menyeru keduanya, mereka pun datang memenuhi panggilan. Subhanallah. Dengan peristiwa ini, tambah mengakarlah cinta Ibrohim kepada Allah.

Sebagai penutup, marilah kita intropeksi diri, sudahkah kita mengenal Allah, Tuhan kita, secara utuh, sehingga melahirkan mahabbah (rasa cinta) yang benar-benar terhadap-Nya? Sebab realitas saat ini, banyak orang mengaku Muslim, tapi mereka tampil sebagai penentang Tuhan yang mereka sembah. Boleh jadi hal ini disebabkan dangkalnya makrifat mereka terhadap Allah sehingga berdampak minimnya stok cinta yang mereka miliki. Banyak orang mengaku cinta pada agamanya dan cinta pada Allah, namun antara lisan dan hatinya tak sesuai dengan ucapannya. Banyak orang memburu wanita pujaanya, bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri. Namun ketika mereka mengaku cinta pada agama dan Tuhannya, tak mampu mengorbankan dirinya sebagai ungkapan “cinta” itu. Semoga bisa meniru Nabiullah Ibrahim alaihi salam. [Robinsah/hidayatullah.com]

HIDAYATULLAH