Ruang publik memburam akibat membiaknya rimba kata yang nyaris tanpa makna. Data dan fakta dipelintir hingga lamur dalam indra objektivitas dan rasionalitas. Akibatnya, tak sederhana, sering kali sel pikir malah meringkuk dalam pengapnya penjara irasionalitas. Sebagai homo digitalis, kita sering kali terdampar dalam emosi sesaat yang dangkal. Agitasi dan propaganda justru diremah men tahmentah.
Sementara hujan olok-olok yang ditengarai melabrak te duhnya payung logika etika dan esteti ka terus-menerus mendera deras. Kita seakan lalai bahwa tajamnya lidah bisa mendatangkan siksa Allah. Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, apakah kita akan disiksa akibat sesuatu yang diucapkan?”
Beliau menjawab, “Tidaklah manusia terjungkir di atas wajahnya (atau hidungnya) ke neraka melainkan akibat lisannya.” Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengingatkan bahwa anggota tubuh yang paling durhaka pada manusia ialah lidahnya, disebabkan ia tidak merasa berat menggerakgerakkannya, lincah untuk membicarakan apa pun. Tak hanya itu, ia juga perangkat setan terbesar untuk menipu manusia.
Dalam cuaca penuh kebisingan, membuat kita rindu pelangi keheningan yang penuh warna-warni hikmah. Memang, diam adalah hikmah dan (terhitung) sedikit pelakunya. Kita seolah lupa sabda Rasulullah SAW, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Dalam Ihya’ dikisahkan Nabi Isa ditanya, “Tunjukilah kami amalan yang membawa kami masuk surga.” Isa menjawab, “Janganlah kamu bertutur kata selamanya.” Mereka menyahut, “Kami tak sanggup demikian.” Kemudian Nabi Isa berkata, “Janganlah bertutur kata selain hal kebajikan.”
Perlu disadari bersama bahwa manusia merupakan animal simbolicum, pencipta simbol melalui uraian lisan dan tulis. Kita menggunakan kata untuk mengab straksikan segala hal sebagai perangkat komunikasi verbal. Tak sekadar itu, bahasa juga menyimpan potensi membentuk pola pikir dan keyakinan sang mukhatab. Atau dengan kata lain, bahasa berfungsi sebagai pencipta realitas sekaligus realitas itu sendiri.
Untuk itu, sudah saatnya kita menggunakan segenap keinsafan diri agar tak larut dalam jeratan angkara emosi yang berujung ujaran kebencian. Peliharalah lisan dan jari kita dari tuturan yang nirmakna. Disebabkan pada dasarnya, memelihara lisan dan jemari berarti menjaga orisinalitas modus keberislaman yang autentik.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah berpesan bahwa di antara kebaikan kadar keislaman seseorang ialah bila ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Bahkan, indikator keimanan pun ditera melalui ucapan dan tutur yang memadukan antara nalar yang waras dan nurani yang sehat. Wallahu a’lam
Oleh: Mohammad Farid Fad