Muhammad Syahrur -‘aamalallahu bimaa yastahiqquhu-, tokoh liberal yang sedang ramai dibicarakan karena menyerukan konsep halalnya zina, dia mengatakan bahwa zina yang terlarang adalah yang terang-terangan. Sedangkan yang sembunyi-sembunyi maka tidak mengapa.
Diapun mengutip ayat:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah. Itulah batasan-batasan Allah” (QS. Ath Thalaq: 1).
Dia menafsirkan “fahisyah mubayyinah” dengan “zina terang-terangan”. Mafhumnya, menurut dia, zina yang sembunyi-sembunyi itu boleh.
Maka kita jawab:
PERTAMA, ini tafsiran yang aneh yang tidak dikenal. Baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan juga para ulama tafsir. Ini tafsiran dari hawa nafsu semata.
KEDUA, justru para ahli tafsir memaknai “fahisyah mubayyinah” dengan zina secara umum. Al Hasan Al Bashri, Mujahid, Ibnu Zaid dan yang lainnya mengatakan:
الزنى، قال فتُخْرَج ليُقام عليها الحدّ
“Maksudnya zina, maka istri yang berzina dikeluarkan dari rumah untuk dijatuhkan hukuman hadd” (lihat Tafsir Ath Thabari).
Bahkan Ibnu Abbas dan Qatadah memaknai “fahisyah mubayyinah” adalah semua bentuk maksiat.
عن ابن عباس ( إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ) والفاحشة: هي المعصية
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat [kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], fahisyah di sini maknanya maksiat” (lihat Tafsir Ath Thabari).
Dan “mubayyinah” di sini maksudnya perbuatan tersebut jelas merupakan maksiat dan jelas keburukannya. As Sa’di menjelaskan:
{ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ } أي: بأمر قبيح واضح، موجب لإخراجها، بحيث يدخل على أهل البيت الضرر من عدم إخراجها
“[kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], maksudnya perkara yang jelas keburukannya. Yang mewajibkan dia untuk dikeluarkan dari rumah, karena menimbulkan bahaya bagi penghuni rumah jika tidak dikeluarkan” (Tafsir As Sa’di).
Maka “mubayyinah” di sini bukan maksudnya melakukan terangan-terangan di depan banyak orang. Walaupun itu termasuk dalam cakupan. Artinya, jika ia melakukan maksiat terang-terangan tentu lebih parah dan lebih dosa lagi.
KETIGA, larangan zina bersifat mutlak untuk semua zina, tanpa pengecualian. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra: 32).
KEEMPAT, di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pelaku zina dijatuhi hukuman hadd walaupun tidak terang-terangan melakukannya.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata,
أن رجلاً من أسلمَ، جاء النبيَّ صلى الله عليه وسلم فاعترف بالزنا، فأعرض عنه النبيُّ صلى الله عليه وسلم حتى شَهِدَ على نفسِه أربعَ مراتٍ، قال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم:أبك جنونٌ؟ قال: لا، قال: آحصَنتَ؟. قال: نعم، فأمرَ به فرُجِمَ بالمصلى، فلما أذلقته الحجارةُ فرَّ، فأُدرِك فرُجِمَ حتى مات. فقال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم خيرًا، وصلى عليه
“Ada seorang lelaki, yang sudah masuk Islam, datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengakui dirinya berbuat zina. Nabi berpaling darinya hingga lelaki tersebut mengaku sampai 4 kali. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah engkau gila?’. Ia menjawab: ‘Tidak’. Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah menikah?’. Ia menjawab: ‘Ya’. Kemudian beliau memerintah agar lelaki tersebut dirajam di lapangan. Ketika batu dilemparkan kepadanya, ia pun lari. Ia dikejar dan terus dirajam hingga mati. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan hal yang baik tentangnya. Kemudian menshalatinya” (HR. Bukhari no. 6820).
Ada wanita dari Bani Ghamid mengaku berzina. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَيْحَكِ اِرْجِعِي فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ! فَقَالَتْ: أَرَاكَ تُرِيْدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: وَمَا ذَاكِ؟ قَالَتْ: إِنَّهَا حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَ: أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهَا حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ، قَالَ: فَكَفَلَهَا رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ حَتَّى وَضَعَتْ، قَالَ: فَأَتَى النَّبِيَّ j، فَقَالَ: قَدْ وَضَعَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَ: إِذًا لاَ نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيْرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ يُرْضِعُهُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: إِلَيَّ رَضَاعُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ، قَالَ: فَرَجَمَهَا.
“Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah kehamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehariannya oleh seorang laki-laki dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut” (HR. Muslim no.1695).
Dua kasus zina di atas, pelakunya berzina diam-diam, tidak terang-terangan. Buktinya hukuman dijatuhkan atas dasar pengakuan. Andaikan mereka terang-terangan maka sudah dilaporkan oleh orang-orang, bukan karena pengakuan.
KELIMA, beda antara masalah dosa dengan masalah hadd. Terkadang pelaku dosa tidak terkena hukuman hadd, karena tidak dilaporkan atau tidak ketahuan, tapi ia tetap berdosa.
Bahkan terkadang orang yang berbuat maksiat karena tergelincir, padahal ia asalnya orang baik, maka hendaknya dimaafkan dan tidak dilaporkan kepada ulil amri agar tidak dijatuhi hadd. Namun jika sudah dilaporkan wajib dijatuhi hadd. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ
“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).
dalam riwayat lain:
أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود
“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).
An Nawawi mengatakan:
الْمُرَادُ بِهِ السَّتْرُ عَلَى ذَوِي الْهَيْئَاتِ وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ لَيْسَ هُوَ مَعْرُوفًا بِالْأَذَى وَالْفَسَادِ فَأَمَّا المعروف بذلك فيستحب أن لا يُسْتَرَ عَلَيْهِ بَلْ تُرْفَعَ قَضِيَّتَهُ إِلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْ ذَلِكَ مَفْسَدَةً
“Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri, jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).
Dari sini kita paham bahwa beda antara hadd dengan dosa. Zina yang tidak ketahuan, sembunyi-sembunyi, tidak ada 4 saksi, maka memang tidak bisa dijatuhi hadd. Namun tetap pelakunya berdosa besar.
KEENAM, zina mata, zina lisan, zina hati saja dilarang. Maka bagaimana mungkin zina yang betulan malah dibolehkan jika sembunyi-sembunyi??
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه
“sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).
KETUJUH, haramnya zina dalam bentuk apapun, disepakati oleh para ulama bahkan semua agama samawiyah mengharamkan zina. Haramnya zina juga disepakati oleh orang-orang berakal dan waras. Karena sangat jelas sekali kerusakan zina, jijiknya zina dan akibat-akibat buruknya bagi pribadi dan masyarakat.
Semoga Allah memberi taufik.
**
CATATAN:
Pemikiran-pemikiran Muhammad Syahrur dan juga doktor Abdul Aziz jangan disebar-sebarkan dan jangan diberi panggung. Walaupun dengan alasan diskusi atau debat.
Karena mereka juga menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mereka pelintir sesuai hawa nafsu, yang ini bisa menjadi syubhat dan fitnah bagi orang awam.
Penulis: Yulian Purnama
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51161-menjawab-syubhat-zina-yang-terlarang-adalah-yang-terang-terangan.html