SAUDARAKU, ketika seseorang beranggapan hidupnya terasa berat, salah satu sebabnya adalah tujuan hidupnya tidak jelas. Ia hidup tidak memiliki target yang jelas, sehingga hidupnya seperti tidak terarah. Hari demi hari hanya dilalui sekadarnya saja. Tidak terbayang olehnya apakah hari ini lebih baik dari hari kemarin ataukah lebih buruk. Ia tidak bisa mengukur dirinya sendiri.
Orang yang demikian hanya memenuhi hari-harinya dengan urusan dunia saja. Ia hanya memikirkan makanan, pakaian, rumah, dan kendaraannya. Ia sibuk menghitung uangnya padahal sebenarnya ia tidak bisa menikmatinya. Sungguh nelangsa hidup yang seperti ini. Semoga kita tidak tergolong orang yang demikian.
Kalau tujuan hidupnya bukan akhirat melainkan duniawi, maka pasti hidupnya terasa berat. Karena dunia ini sangatlah kecil dan sempit. Orang yang ingin dunia pasti akan saling berebutan dengan orang lain. Dan dunia ini seperti air laut, semakin diminum semakin membuat haus. Semakin dikejar semakin membuat tersiksa. Sedangkan yang ingin akhirat, sesungguhnya akhirat itu luas.
Bagi para pencari akhirat, semua urusan dunia bisa menjadi pahala. Dicaci orang lain, bisa menjadi jalan penggugur dosa. Sedangkan bagi para pencari dunia, itu sangat berat dan menyiksa. Banyak hal yang dianggap pahit oleh pencari dunia, malah dianggap manis oleh pencari akhirat.
Pencari dunia menyikapi musibah sebagai malapetaka dan kemalangan yang sangat berat. Diratapi seolah setiap babak dalam hidupnya adalah kemalangan. Dinasihati agar bersabar, malah terus mencari-cari alasan supaya dirinya pantas dikasihani. Sedangkan pencari akhirat akan menghadapi kesulitan hidup dengan bersabar, dan menyikapi kemudahan hidup dengan bersyukur. Baginya keadaan apapun adalah sama saja, yaitu sebagai ladang amal ibadah kepada Allah SWT.
Allah berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. al-Hadiid [57]: 20)
Allah pada banyak kesempatan mengingatkan kita bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya perantara, hanyalah sementara. Hanya persinggahan semata untuk menuju kehidupan yang sejati di akhirat nanti.
Segala kemegahan dan keindahan dunia pada satu sisi merupakan karunia dari Allah , dan pada saat bersamaan merupakan ujian bagi kita. Barangsiapa yang bisa mengelola dunia ini dengan baik, maka akan baik pula hidupnya kelak di akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengelola dunia ini dengan baik, maka demikian pula hidup yang ia jalani di akhirat nanti.
Jadi, sangat keliru orang yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan. Siapa pun yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, maka akan tampak kekeliruan itu pada cara berpikir dan cara bertindaknya. Orang yang hanya berorientasi pada dunia, ia menghalalkan segala cara hanya demi hidupnya enak dan nyaman. Tidak mau tahu apakah satu urusan itu halal atau haram, yang ia mau hanyalah keuntungan dunia semata.
Ia lupa kehidupannya sendiri adalah pemberian dari Allah. Ia lalai untuk berpikir bahwa kesehatannya, kebugarannya sehingga bisa berjalan di muka bumi ini pun adalah pemberian dari Allah. Dan, ia pun lupa hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kegelisahan, kecemasan, kegalauan berkepanjangan adalah tanda-tanda seseorang sudah terjebak pada cinta dunia, dan lupa pada akhirat sebagai tujuan hidupnya. Cemas besok tidak bisa makan, cemas tidak mampu menghidupi keluarga, gelisah uangnya tidak cukup untuk biaya ini dan itu, takut jabatannya turun, takut kedudukannya hilang dari pandangan manusia, dan berbagai rasa takut lainnya yang disebabkan urusan dunia.
Kegelisahan seperti ini hanya menyeret seseorang pada kegelapan yang semakin kelam. Karena sudah terseret-seret oleh dunia yang fana, ditambah lagi jauh dari Allah karena hati yang rapuh berpegang kepada-Nya. Padahal sudah pasti kepuasan yang dicari hawa nafsu tidak pernah ada habisnya. Seperti minum air laut saat kehausan, maka haus hanya akan makin menjadi-jadi, sedangkan semakin banyak air laut yang diminum akan semakin haus dan semakin rugi tubuh ini.
Padahal Allah SWT berfirman, “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (QS. Faathir [35]: 3)
Gelisah karena urusan dunia adalah bentuk jika kita tidak bersyukur atas segala nikmat yang selama ini diterima, sejak kita dalam kandungan hingga lahir di dunia. Mengapa khawatir tidak dapat rezeki, padahal selama ini rezeki yang kita terima tidak terhingga jumlahnya? Mengapa khawatir tidak bisa menghidupi keluarga, padahal setiap makhluk adalah ciptaan , milik Allah, dan Allah pula yang menjamin rezeki mereka.
Ada seseorang yang begitu cinta pada pekerjaannya. Ia begitu cinta hingga tidak mau jika sampai kehilangan posisi di tempat kerjanya. Selain gajinya besar, juga karena ia punya banyak bawahan. Posisi atau jabatan yang tinggi ini membuat ia terlena dengan enaknya kursi kedudukan di hadapan manusia. Ia terbuai dengan sanjungan dan penghormatan dari bawahannya.
Berbagai cara ia lakukan agar jabatannya itu tidak terlepas dari tangannya. Ia dekati atasannya, ia sampaikan laporan-laporan semu hanya demi membuat atasannya senang. Dan di saat yang bersamaan ia sikut orang lain yang mungkin bisa menjadi pesaingnya di hadapan penilaian atasan. Ia takut posisinya digantikan orang lain. Ia gelisah setiap kali ada rekan kerjanya yang berprestasi. Dan, ia dengki setiap kali ada rekan kerjanya yang mendapat pujian atau penghargaan dari atasan.
Padahal tiada yang didapatkan oleh seorang pendengki selain kerugian. Rasulullah saw bersabda, “Waspadalah kalian pada penyakit dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)
Bagaimana tidak rugi jika amalan kebaikan menjadi hangus nilainya disebabkan perbuatan diri sendiri yaitu dengki. Orang pendengki itu rumusnya sederhana, susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Mengapa Allah tidak suka kepada seorang pendengki? Karena pendengki adalah orang yang tidak menyukai perbuatan Allah SWT. Dengki itu ciri dari lemahnya iman. Dengki berarti buruk sangka kepada Allah. Dan, pendengki adalah orang yang tidak mengakui bahwa Allah Maha Baik dan Maha Adil.
Ketika Allah menakdirkan sesuatu keberuntungan kepada salah seorang dari hamba-Nya, maka pendengki tidak rela akan takdir tersebut. Artinya, dia tidak suka kepada Dzat yang menghendaki takdir itu terjadi, yaitu Allah SWT. Semoga Allah menyelamatkan kita dari penyakit hati ini.
Betapa berat rasanya hidup ini bagi orang yang diselimuti hatinya dengan kedengkian. Sekalipun ia dikaruniai harta kekayaan berlimah, pangkat jabatan mentereng, dan popularitas yang luas, namun hidupnya terasa sempit hanya karena tidak rela orang lain mendapatkan keberuntungan. Gambarannya seorang pendengki adalah dia memiliki 99 ekor domba, tapi gelisah, resah, tidak tenang hanya gara-gara ingin seekor domba yang dimiliki tetangganya. Ia lupa pada sekian banyak karunia yang sudah ia miliki, hanya karena dengki melihat sebuah keberuntungan yang dimiliki orang lain.
Inilah yang terjadi manakala seseorang tidak jelas tujuan hidupnya. Akhirnya ia hanya sibuk mencari penghargaan makhluk dan kemegahan dunia yang fana ini. Dunia sudah memenuhi hatinya, padahal semestinya dunia hanya ada di tangan saja. Hatinya sibuk dengan kerumitan-kerumitan, jauh dari rasa tenang dan bahagia.
Sedangkan bagi orang yang jelas tujuan hidupnya, yaitu kehidupan akhirat, maka dunia hanya berada di tangannya saja. Ia semangat untuk meraih sukses hidup di dunia agar semakin banyak jalan yang bisa ia tempuh demi kebahagiaan hidup di akhirat. Apapun yang ia jalani di dunia ini semata-mata adalah untuk ibadah kepada Allah SWT.
Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Kelapangan maupun kesempitan yang sedang dihadapi bisa disikapi sebagai sama-sama ladang ibadah kepada Allah. Syukur saat lapang, sabar saat sempit. Apapun keadaannya, hatinya senantiasa tenang, hidupnya terasa ringan karena Allah yang memenuhi hatinya. [*]
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar