AKHIR-AKHIR ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orangtuanya dengan mengatakan, “Terlaknatlah kedua orangtuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini).” Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan rida Allah , seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)
Dan firman Allah: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)
Dan beberapa hadis Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadis Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak berbunyi: “Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.” (Mutafaqun alaihi)
Hadis dari Abu Hurairah berbunyi: “Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat.” (HR Muslim)
Dan Hadis dari Abu Darda berbunyi: “Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat.” (HR Muslim)
Hadis Abdullah bin Masud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadis ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Di dalam Silsilah Hadis Sahih tercantum sebuah hadis yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa! Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, Tahanlah dirimu. Saudaranya berkata, Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku? Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga. Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku? Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku. Dan Allah berkata kepadanya, Seret ia ke neraka!'”
Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya. Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun alaihi)