Mengelola Ucapan, Sulitkah?

Husain menyampaikan pertanyaan kepada ayahnya, Ali bin Abu Thalib, tentang kakeknya, Muhammad SAW. Ia ingin tahu bagaimana perilaku kakeknya saat berada di luar rumah. Ali, sahabat yang juga menantu Nabi Muhammad, menggambarkan sejumlah hal kepada putranya tersebut.

Menurut dia, Rasulullah selalu menjaga lidah atau ucapannya dan tak berbicara kecuali yang penting. Dia juga berlaku santun dan lemah lembut terhadap orang lain. Di kesempatan lain, Ali berujar pula pada anak laki-lakinya itu bahwa sang kakek tidak pernah mencela.

Rasul selalu dapat mengelola ucapannya dengan baik. Pernyataan yang keluar dari dirinya merupakan hal-hal baik dan tak menyakitkan. Mengenai ucapan yang elok ini, Amr Khaled, dai dan motivator asal Mesir, menggolongkannya sebagai akhlak baik.

Dalam karyanya, Buku Pintar Akhlak, dia menggambarkan kebangkrutan yang akan menimpa seorang Muslim akibat perangai buruk. Ia menuturkan, Rasul menanyakan kepada para sahabatnya, apakah mereka tahu siapa yang dianggap sebagai orang-orang yang bangkrut? Mereka serempak menjawab bahwa mereka yang bangkrut adalah orang-orang yang tanpa uang dan harta.

Namun, jawabannya bukan itu. Menurut Mu hammad, yang bangkrut di antara umatnya adalah mereka yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka pernah mencela dan mencaci orang, memakan harta orang, memukul, dan menumpahkan darah orang. Orang yang berpahala itu kemudian harus memberikan pahala amal baik nya kepada orang yang pernah menjadi objek perilaku buruknya.

Yusuf al-Qaradhawi, cendekiawan Muslim, mengatakan banyak hadis yang menekankan agar seorang Muslim hatihati dengan ucapannya. “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.

” Ia mengutip hadis mutafaq alaih dari Abu Hurairah dan Abu Syuraih. Hadis lain menyebutkan, Allah memberikan rahmat kepada orang yang berkata baik lalu mendapatkan keuntungan atau diam lalu selamat. Al-Qaradhawi me ngatakan, ucapan dari seseorang berpotensi mengandung bahaya sehingga mendatangkan kesalahan.

Imam al-Ghazali telah menghitung ada 20 bencana akibat ucapan yang berpangkal pada lidah, antara lain, berdusta, gibah atau membicarakan orang lain, adu domba, bersaksi palsu, sumpah palsu, berbicara tak berguna, dan menghina orang lain. Di sisi lain, al-Qaradhawi mengingatkan, orang yang banyak cakap akan banyak juga berbuat kesalahan. Pembicaraannya ke mana-mana dan akhirnya menjadi gibah dan mengumbar cela orang lain. Oleh karena itu, hadis Rasulullah menyebutkan keselamatan terletak pada sikap diam.

Tetapi, ini tak berarti manusia harus mengunci mulutnya agar tidak berbicara sama sekali. Tidak demikian, melainkan seseorang hendaknya mengucapkan katakata yang baik saja serta diridhai Allah. “Jadi, sebaiknya kita memelihara pembicaraan dan jangan mengumbar ucapan membahayakan,” katanya.

Mukmin yang merasa diawasi Allah, ujar al-Qaradhawi, mesti memahami setiap ucapan merupakan amalan yang kelak dihisab. Maka, ia tergerak hanya mengeluarkan ucapan sarat makna. Tak mengutuk, termasuk dalam kepiawaian seseorang dalam mengendalikan ucapannya.

Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela disebutkan, Rasulullah adalah satu-satunya manusia yang tidak pernah mengucapkan kutukan kepada manusia, binatang, dan makhluk lainnya, kecuali kepada setan dan iblis, musuh manusia. Seorang laki-laki mendatangi beliau dan meminta wasiat. Lalu dijawab, “Saya berwasiat kepadamu agar tidak menjadi pengutuk.” Aisyah menyampaikan cerita lain. Saat suaminya, Muhammad, mendengar Abu Bakar mengutuk sebagian budaknya, ia segera menoleh kepada sahabatnya itu.

Muhammad menegurnya dan meminta agar Abu Bakar tak berbuat demikian lagi. Setelah itu, Abu Bakar memerdekakan budaknya dan ia mendatangi Rasulullah serta berjanji tak akan mengulangi perbuatan tersebut. Muadz bin Jabbal pun menyampaikan informasi bahwa Rasulullah melarang seorang Muslim mencaci maki saudara Muslimnya, durhaka kepada imam yang adil, serta mencela orang yang telah meninggal dunia.