Kemarin lusa, sambil hujan-hujan saya berkendara dari utara ke selatan. Sepanjang jalan, saya berpapasan dengan tiga ambulan. Semua membunyikan sirine meminta jalan.
Saya membaui aura kegentingan di kota ini. Rumah-rumah sakit hampir penuh. Penguasa kota sudah memikirkan untuk menutup kota untuk mencegah penyebaran penyakit.
Hari ini saya membuka media sosial hanya untuk mendapati ucapan berita duka cita. Banyak orang meninggal. Sebagian saya kenal. Sebagian tidak.
Tidak ada satupun menyebut mereka meninggal karena penyakit yang sekarang menjadi pandemi ini. Semua orang tidak ingin bicara tentang penyakit itu. Bahkan enggan menyebut namanya. Termasuk saya.
Penyakit ini membawa malapetaka tidak saja untuk mereka yang terinfeksi. Juga untuk mereka yang bugar. Jika satu kematian diumumkan karena penyakit ini, orang-orang yang berkontak dengan yang terinfeksi harus diisolasi.
Ada satu rumah harus diasingkan. Bisa juga satu kampung harus diisolasi.
Semikian beratnya, orang menghindar untuk menyebutnya. Jika ada pertanyaan, si A meninggal karena apa? Oh, dia meninggal karena jantung. Karena stroke. Karena darah tinggi. Orang tidak mau menyebut penyakit itu. Karena petaka berenteng yang harus mereka pikul.
Pagi ini, saya membaca berita bahwa penyakit ini tidak saja mematikan orang biasa. Ia juga membunuh tenaga kesehatan dan para dokter. Menurut sebuah data, 945 tenaga kesehatan telah meinggal karena penyakit ini. Hingga saat ini ada kurang lebih 350 dokter dan tenaga kesehatan terinfeksi sekalipun telah divaksinasi.
Akhir-akhir ini kasus infeksi meningkat tajam. Tidak terlalu sulit mencari datanya.
Namun, tidak sedikit pula yang tidak percaya. Satu penelitian tahun lalu di Jakarta akhir tahun lalu memperlihatkan bahwa satu dari lima responden percaya bahwa penyakit ini adalah “konspirasi yang diciptakan para elit global.”
Pandemi ini membutuhkan rasa percaya (trust) khususnya rasa percaya pada otoritas. Tidak saja kepercayaan kepada otoritas politik yang membuat kebijakan publik tetapi pada otoritas keahlian. Harus ada pengakuan bahwa ada orang yang memang terspesialisasi dan ahli tentang penyakit ini.
Epidemi ini tidak hanya pertarungan melawan virus. Dia juga adalah pertarungan melawan virus disinformasi. Pertarungan merebut otoritas dan upaya legitimasi atau delegitimasi terhadapnya.
Selama pandemi ini kita juga menyaksikan keriuhan pertarungan informasi/disinformasi ini di media sosial. Grup-grup WA, FB, Twitter, penuh dengan perang informasi.
Orang-orang awam berteori dan menuduh kiri kanan. Yang tak kalah menakjubkannya, bahkan orang-orang yang seharusnya kompeten ikut bertarung dalam pembentukan persepsi ini. Bahkan seorang mantan menteri kesehatan, yang juga terpidana korupsi, menjadikan isu pandemik ini sebagai caranya “berjuang” untuk kaum lemah. Barangkali itu cara termudah untuk seorang terpidana korupsi untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.
Semakin kontroversial sebuah informasi, semakin menarik ia perhatian, dan semakin populerlah para ‘messenger’ atau pembawa pesannya . Sebagian bahkan memonetisasi popularitasnya itu.
Namun ini ada akibatnya. Kebencian kepada tenaga-tenaga kesehatan semakin memuncak. Seorang dokter di Jawa Timur mengatakan bahwa anak buahnya dilempari kotoran manusia karena mendiagnosa bahwa pasiennya menderita penyakit ini.
Pertarungan persepsi ini melahirkan anarki. Tidak ada kepemimpinan. Tidak ada kebenaran. Semua orang mencoba mengeruhkan air dan memancing didalamnya.
Melihat semua itu, saya bertanya, lalu kita harus bagaimana? Untuk saya persoalannya sederhana namun rumit. Saya kira, cara terbaik untuk menghadapi pandemi ini adalah dengan kepercayaan terutama kepada sains.
Orang tentu akan bertanya, sains yang mana? Karena kaum yang tidak percaya juga punya sain dan isaintis. Mereka juga mahir mengutip teori ini dan itu.
Dalam hal ini, saya percaya pada sains arus utama (mainstream). Saya percaya pada kesepakatan para ahli, pada apa yang ditemukan dan disetujui oleh banyak ahli.
Biasanya mereka yang tidak percaya akan penyakit ini akan menganggap ketundukan pada hal-hal yang mainstream itu adalah tanda kepengecutan. Tanda kelemahan. Pokoknya sama sekali tidak heroik.
Anti-mainstream adalah perlawanan. Ketidakpercayaan pada ahli dan kekuasaan adalah kebodohan. Anarki adalah puncak kebebasan.
Sekalipun hal-hal itu menarik untuk saya, dan sepanjang hidup saya berusaha untuk tidak menjadi mainstream, saya juga tunduk pada keadaan sekeliling saya.
Terlalu banyak tangisan dan duka. Terlalu banyak kesakitan dan kegagalan. Tidak ada kepemimpinan — bahkan ironisnya mereka yang seharusnya memimpin juga menyebarkan berita-berita bohong dan memanipulasi informasi.
Pandemi ini bisa diakhiri kepercayaan bahwa penyakit ini ada dan saling bekerjasama untuk mengatasinya. Penyakit ini hanya bisa diakhiri hanya dengan aksi-aksi kolektif (collective actions). Sekalipun penyakit ini menuntut pemisahan sosial (social distancing), penyelesaiannya membutuhkan kerjasama sosial secara kolektif.
Pandemi ini tidak akan berakhir jika ada orang-orang yang terus menerut mengeruhkan air dan memancing didalamnya. Mereka yang menyemburkan kegagahan atas nama rakyat miskin tetapi ternyata memancing keuntungan daripadanya.
Pada akhirnya, yang paling diperlukan adalah kerendahan hati untuk mengakui bahwa pandemi ini ada dan perlu diatasi bersama. Dengan rendah hati. Anti-hero banget, bukan?