Niat adalah termasuk syarat sahnya puasa. Seorang yang tidak berniat, maka puasanya tidak sah. Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar biasa. Menahan lapar bisa jadi hanya sekadar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, satu hal yang perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati [1]. Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam An-Nawawi Rahimahullah, ulama besar Syafi’iyah yang mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama”[2].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama” [3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[4]
Wajib Berniat sebelum Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshah Radhiyallahu ‘anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[5]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. [6]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah ketika beliau berkata, “Pada suatu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?”, kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya sejak pagi aku berpuasa.”[7]
Imam An-Nawawi r mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah”[8].
Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya [9].
Niat Cukup Sekali di Awal atau Tiap Hari?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama kita.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa niat cukup sekali di awal bulan. Ini adalah pendapat ulama Malikiyah. Pendapat ini juga dipilih Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Beliau berkata, “Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya” [10].
Pendapat kedua, niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan rakaat dalam shalat.[11]
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah berkata, “Puasa bulan Ramadhan wajib di lakukan dengan berniat pada malam harinya, yaitu seseorang harus telah berniat puasa untuk hari itu sebelum terbit fajar. Bangunnya seseorang pada akhir malam kemudian makan sahur menunjukkan telah ada niat pada dirinya (untuk berpuasa). Seseorang tidaklah di tuntut melafadzkan niatnya dengan berucap: “Aku berniat puasa (hari ini)”, karena yang seperti ini adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan! Berniat puasa selama bulan Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena (puasa pada) tiap-tiap hari (di bulan itu) adalah ibadah yang berdiri sendiri yang membutuhkan niat. Jadi, orang yang berpuasa harus berniat dalam hatinya pada masing-masing hari (dalam bulan itu) sejak malam harinya. Kalau misalnya dia telah berniat puasa pada malam harinya kemudian dia tertidur pulas hingga baru terbangun setelah terbitnya fajar, maka puasanya sah, karena dia telah berniat sebelumnya. Wallahu a’lam”[12]. [AW/Tutorial Ramadhan]