Saat manusia ditimpa cobaan, kebanyakan akan merasa marah dan merasa tidak adil kepada Tuhannya. Mereka bahkan akan merasa gelisah ketika menerima keadaan yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian anggota keluarganya, dan lain-lain.
Namun, tidak demikian bagi orang yang mempunyai sifat ridha terhadap segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan Allah SWT. Bahkan, mereka akan merasa gembira, sehingga dapat terhindar dari penyakit hati, seperti iri hati dan dengki terhadap orang lain, ataupun suuzan terhadap Allah SWT.
Kata ridha berasal dari bahasa Arab,radhiya yang artinya senang hati atau rela. Ridha, menurut syariah, adalah menerima dengan senang hati atas segala sesuatu yang diberikan Allah SWT, baik berupa hukum maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, ridha diartikan rela, suka, dan senang hati. Menurut bahasa, ridha adalah ketetapan hati untuk ma keputusan yang sudah ditetapkan. Ridha merupakan akhir dari semua keinginan dan harapan yang baik.
Sementara, dalam buku Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa ridha adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah SWT. Dengan kata lain, ridha adalah tidak menentang hukum dan ketentuan Allah SWT.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, “Barang siapa yang tidak ridha dengan qada (ketetapan) dan qadar (takdir)-Ku hendaklah ia mencari Tuhan selain daripada Aku.” (HR At-Tabrani).
Sejatinya, terdapat pengertian ridha yang lebih tinggi dari pengertian tersebut, yaitu ridha dalam arti gembira menerima segala keputusan Allah SWT. Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikatakan Zunnun al-Misri bahwa ridha adalah kegembiraan hati dalam menghadapi takdir Allah SWT.
Seorang sufi yang hidup pada abad pertengahan, Ruwaim, juga mengungkapkan pengertian yang sama. Ia mengatakan bahwa ridha adalah menghadapi ketentuan Allah SWT dengan rasa girang.
Seorang sufi wanita terkemuka, Rabi’atul Adawiyah, suatu waktu juga pernah ditanyai tentang kapan seorang hamba menjadi orang yang ridha, kemudian Rabi’ah menjawab, “Bila kegembiraannya di waktu ditimpa bencana sama dengan kegembirannya di kala mendapat kurnia.” (Ensiklopedi Islam Jilid IV, hlm 170).
Dalam tingkatan sufi, ridha pada peringkat pertama merupakan maqam bagi seorang sufi, sedangkan ridha pada peringkat kedua adalah hal yang merupakan karunia Allah SWT. Ridha mencerminkan puncak ketenangan jiwa seseorang.
Pendirian orang yang telah mencapai maqam ridha tidak akan terguncang oleh apa pun yang dihadapinya karena baginya segala yang terjadi di alam ini tidak lain adalah kekuasaan Allah SWT yang merupakan iradat (kehendak) Allah yang mutlak. Semua yang terjadi itu harus diterima oleh manusia dengan rasa tenang dan gembira karena itu adalah pilihan Allah SWT yang berarti pilihan yang terbaik.
Dalam sejumlah maqam yang dijalani seorang sufi, maqam ridha lebih tinggi daripada maqam sabar karena dalam pengertian sabar masih terkandung pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan bagi orang yang telah berada pada maqam ridha, ia tidak lagi membedakan antara apa yang disebut nikmat. Semua itu diterimanya dengan rasa senang karena semuanya adalah ketentuan Allah SWT.
Tumbuhnya ridha di dalam hati didahului oleh tumbuhnya mahabah atau cinta. Kecintaan kepada Allah SWT menyebabkan hati ridha kepada-Nya. Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan mengenai tumbuhnya ridha dari rasa cinta bahwa laksana seseorang yang sedang dimabuk asmara.
Suatu ketika orang yang dimabuk asmara itu sedang asyik memikirkan buah hatinya dan saat itu tidak akan tampak orang lain selain buah hati yang sangat dirindukannya tersebut. Meskipun seseorang memanggilnya, ia tidak akan mendengarnya karena hatinya telah terpaut sepenuhnya kepada kekasihnya itu.
Demikian pula dengan orang yang sedang asyik mencintai sang Maha Kekasih, Allah. Semua yang datang dari Allah niscaya akan menyenangkan hatinya dan kalbunya terasa lega dalam menghadapi ketentuan dari Allah.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya, Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan hikmat dan keagungan-Nya telah menjadikan kesenangan dan kegembiraan pada ridha dan yakin. Ia pun menjadikan kesedihan dan kedukaan pada ragu dan kedongkolan.” (HR At-Tabrani).
Keridhaan seseorang terhadap ketentuan Allah bukan tidak berbalas karena Allah pasti akan membalasnya dengan ridha juga. Dalam Alquran dijelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS al-Bayyinah [98]:7).