“Orang Makkah naik haji?” Pertanyaan ini acapkali terdengar dari banyak pihak ketika berada di Makkah baik untuk umrah maupun naik haji. Bukan hanya itu sebagian Muslim lainnya percaya bahwa setiap orang yang tinggal di Makkah semuanya pasti pernah naik haji.
Ketika pertanyaan ini juga diajukan kepada Ketua Umum Himpuh Baluki Ahmad, dia menjawabnya sambil terkekeh. Baluki yang sudah 40 tahun selalu bolak-balik ke Makkah –bahkan pernah tinggal di Makkah untuk kuliah— untuk mengurusi soal pelayanan haji dan umrah mengatakan hal yang berbalik.
“Saya menemukan sendiri banyak warga Makkah dan juga Madinah yang sudah berumur dan mampu untuk mengerjakan rukun Islam kelima, belum menunaikan haji. Alasannya bermacam-macam. Dari merasa belum dipanggil hingga merasa masih muda hingga merasa perlu menunda-nunda. Ketika pertama menemukan saya kaget, bahkan pernah warga Madinah yang mengurusi haji dan umrah saya, justru saya yang memberangkatkan hajinya,’’ kata Baluki.
Sama halnya dengan orang Islam Indonesia, meski Islam dan mampu secara batiniah dan lahirian banyak di antaranya yang belum merasa perlu naik. Berbagai alasan mereka kemukakan, dari yang takut hartanya berkurang sampai ‘merasa dosanya masih sedikit’, warga Makkah juga seperti itu. Menurut Baluki, kadang-kadang lucu juga melihat kenyataan ini. Begitu besar animo orang di luar Makkah naik haji, namun warganya sendiri malah tenang-tenang saja.
“Ya istilahnya kayak onta itu. Meski berulangkai berada hingga tinggal di Makkah belum tentu dia pernah naik haji. Di sini haji terbukti memang panggilan bagi orang yang beriman dan ikhlas hatinya,’’ ujar Baluki.
Bukan hanya itu, banyak di antara warga Jiran (warga yang tinggal di seputaran) Kota Makkah banyak juga yang ke Masjidil Haram setahun sekali, yakni ketika datangnya Ramadhan. Di luar itu mereka tak pernah ke sana.
Pengalaman lainnya, lanjut Baluki, warga di dua Kota Suci ini ketika hendak naik haji juga membutuhkan dukungan khusus. “Saat itu, ketika tahu ada warga Arab yang tinggal di Madinah saya ajak naik haji, dia terkejut. Karena belum menikah,meski sudah berusia sekitar 25 tahun, dia pun meminta saya untuk meminta izin pada ayahnya. Nah, saat itu juga menemui ayahnya untuk meminta izin memberangkatkan haji anak lelakinya. Bayangkan, selama itu anak tersebut ikut saya dan bolak-balik ke Makkah dari Madinah, ternyata belum haji meski sudah mampu dan dewasa.”
Tak beda dengan kebiasaan Muslim Indonesia yang setiap hendak naik haji melakukan walimatul safar , Baluki menceritakan ‘si pelayan Arab’ itu begitu mau dan diizinkan ayahnya naik haji, dia pun mengumpulkan keluarganya untuk meminta restu. Nah, di situ juga ada acara sederhana ngumpul-ngumpul seperti kebiasaan orang Indonesia itu.
Khusus bagi orang Makkah, di sana juga ada ketentuan ‘kuota haji’. Di sana ada peraturan bahwa naik haji bagi warganya tidak bisa dilakukan setiap tahun. Setiap orang (warga Makkah) hanya bisa mengerjakan haji lima tahun sekali. Kalau nekad melakukan haji tanpa izin dan kemudian tertangkap razia mereka juga akan berurusan dengan pihak keamanan Makkah.
“Razia ini tetap ada tiap tahun. Bagi orang Arab yang berada di luar kKota Makkah pun harus punya izin untuk naik haji. Pada menjelang puncak haji selalu ada pemeriksaan bagi setiap orang yang hendak masuk Makkah. Nah, bagi mereka yang tak punya izin, maka kan masuk Makkah secara sembunyi-sembunyi, melalui jalur tikus lewat perkampungan dan bukit-bukit terpencil untuk menghindari penjagaan. Dan sekarang ini semakin tahun semakin sulit seiring dengan semakin ketat pemberian visa haji maupun visa tinggal di Arab Saudi,’’ kata Baluki.
Lalu di mana warga Makkah ketika musim haji tiba? Pertanyaan ini juga sering diajukan ketika jamaah haji berada di kota tersebut setelah melihat jarangnya warga Makkah yang bisa mereka temui. Sebab, setiap kali mereka berbelanja mereka ternyata hanya menemui ‘mukimin’ Makkah, yakni warga pendatang yang bekerja di Makkah yang berasal dari berbagai negara seperti negara-negara Afrika (Yaman, Mesir, Maroko, dan dan lainnya) hingga warga Eropa seperti Bosnia dan Rusia, atau warga asal Asia seperti Pakistan, India, Indonesia, Mymnar, Bangladesh, Filipina, dan lainnya.
“Jadi jangan salah sangka, ketika musim haji tiba dan biasanya berbarengan dengan masa liburan, warga Makkah malah pergi ke luar kota. Mereka sewakan rumahnya untuk ditinggali para jamaah. Maka tak heran bila ketika rumah itu disewa, pasti ada satu lantai yang dikunci karena penuh perabotan rumah tangga. Sehingga tak heran bila di musim haji jarang warga asli Makkah yang bisa ditemui,” kata Baluki.
Pelajaran yang paling penting lainnya, lanjut Baluki, para jamaah umrah dan haji tetap bersikap waspada ketika di Makkah. Sebab, banyak warga yang tinggal di Makkah juga sering iseng dan bahkan kerap nekad melakukan tindak kejahatan.
’’Pahamilah Makkah itu memang Tanah Suci, tapi warganya adalah manusia biasa seperti lainnya. Apalagi di musim haji ketika manusia dari berbagai negara datang ke situ, semua kemungkinan bisa terjadi!” kata Baluki.