what power ?
Inilah Hikmah Berpuasa
Puasa di dalam Islam mengandung banyak hikmah atau ajaran-ajaran untuk meningkatkan nilai-nilai manusia dan mempertinggi mutunya yang paling penting adalah sebagai berikut:
1. Melatih manusia memiliki sifat khasyyah (takut) kepada Allah, baik secara rahasia, maupun terang-terangan, karena tiada yang mengawasi orang yang berpuasa itu kecuali Allah.
Ia meninggalkan syahwatnya terhadap makanan yang lezat, minuman yang segar dan lain-lain sebagainya, karena semata- mata melaksanakan perintah Allah, dan tunduk kepada petunjuk agamanya, untuk berpuasa sebulan lamanya.
2. Memecahkan ketajaman syahwat, dan menjadikan jiwa dapat menguasai syahwatnya, sesuai dengan petunjuk agama. Apabila seorang selalu menuruti keinginan nafsu syahwatnya, maka ia telah menjadi budak dari nafsu syahwatnya.
3. Melatih diri bersifat kasih sayang, sehingga terdorong untuk melakukan perbuatan sosial, seperti memberikan sedekah kepada fakir miskin. Memberi bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana, karena ia ketika merasakan kelaparan, teringat kepada orang-orang yang menderita kelaparan, atau orang-orang yang tertimpa musibah.
4. Menimbulkan rasa cinta kepada keadilan, dan persamaan derajat umat manusia, dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak. Dalam pelaksanaan ibadah puasa ini, terlihat persamaan antara orang-orang kaya dengan fakir miskin, dan antara penguasa dengan rakyat jelata, dalam melaksanakan satu kewajiban agama.
5. Membiasakan umat untuk hidup teratur dan bersatu, menghindari sifat sombong dan iri hati. Mereka memulai ibadah puasanya di dalam satu waktu, dan mereka berbuka dalam satu waktu pula. Mereka sama-sama menunggu waktu dengan kesabaran, dan tidak seorang pun mendahului orang lain di dalam berbuka itu.
6. Membersihkan usus atau alat pencerna, daripada zat-zat yang berbahaya dalam perut, seperti zat lemah dan sebagainya; dan menghilangkan zat-zat yang mengendap di dalam tubuh, mengeringkan kelembabannya, dan menghancurkan lemak yang dapat berbahaya terhadap jantung
Refleksi Puasa dan Tantangan Berperilaku Jujur
Oleh: Khusnul Hidayah*
Alkisah diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu….”
Dengan lantang si gembala menjawab “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya” kata sipegembala
“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala” lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan “Lalu, di mana Allah?”
Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
“Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak”
Kisah di atas banyak menjadi inspirasi ketika bercerita tentang gambaran pribadi yang amanah, jujur menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi. Berkebalikan dengan cerita di atas, pada tanggal 9 Juli yang lalu Transperency Internasional Indonesia merilis Global Corruption Barometer 2103 yang menginformasikan 5 lembaga publik terkorup di Indonesia, yakni Kepolisian, parlemen, peradilan, Partai politik dan Pejabat Publik. Ironis memang, lima lembaga yang disebutkan di atas sejatinya adalah pengemban amanah utama dalam pengelolaan negara, akan tetapi realitasnya tidak menggambarkan citra yang mereka sandang.
Berpuasa, utamanya di Bulan Ramadhan, sejatinya adalah kawah candradimuka melalui disiplin yang kuat selama satu bulan penuh bagi pribadi muslim untuk mengimplementasikan nilai-nilai amanah, dan kejujuran guna meretas sebelas bulan yang lain. Selain menahan dari nafsu makan-minum, biologis juga menahan nafsu tamak dan serakah, Refleksi terpenting dalam ibadah shaum adalah kujujuran diri kepada Allah SWT.
Selama 1 bulan, setiap individu Muslim tidak peduli kaya, miskin, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan, dituntut untuk bersikap jujur kepada Tuhan karena ini adalah ibadah yang sangat pribadi antara manusia dengan Rabbnya. Bisa jadi orang tersebut berbohong mengatakan puasa kepada orang lain dan lingkungannya untuk menjaga wibawa padahal sejatinya tidak. Dia bisa berbohong kepada orang lain namun tidak pada Tuhan.
Kejujuran yang diajarkan dalam berpuasa akan melahirkan perilaku Ihsan, perilaku agar manusia ikhlas beramal semata kepada Allah. Sebagaiman Nabi SAW pernah ditanya jibril perihal pengertian ihsan? maka jawab Beliau: “Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya, namun Dia tetap melihatMu (HR Bukhari).
Menghadirkan Wajah Tuhan ketika Ramadhan berlalu?
Sudah jamak dilihat ketika ramadhan usai, maka individu pun tak lagi mengenal wajah Tuhannya bahkan menjauh dari perilaku ihsan. Mereka yang terbiasa berperilaku korupsi, suap dan perilaku tidak jujur lainnya akan kembali mengulang kebiasaanya, tak berbekas sedikitpun hikmah kesalehan yang dilakukannya selama berpuasa. Semestinya nilai-nilai kejujuran dapat diimplementasikan dalam pola gerak keseharian kehidupan baik selama ramadhan dan setelah ramadhan usai.
Untuk itu diperlukan penghayatan Ihsan dalam kehidupan yang bisa dicapai dengan menghadirkan wajah Allah dalam melakukan kesalehan individu maupun kesalehan sosial seperti dalam cerita anak gembala di atas. Kesalehan individu dilakukan dengan memelihara ibadah kita kepada Allah, seperti shalat, dzikir, dan ibadah lain yang berhubungan dengan Allah. Sementara kesalehan sosial tercermin dari tanggungjawab sosial terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu yang merupakan simbol orang-orang lemah (al mustadz’afin) sebagai konsekuensi dari peribadatan kepada Allah.
Empati kepada kaum lemah ditujukan bukan karena pencitraan diri tapi semata-mata karena ingin mengharap RidhaNya. Disinilah relevansi ibadah puasa dalam Bulan Ramadhan menjadi sangat penting, karena lewat puasalah manusia diajarkan untuk jujur baik kepada diri sendiri, lingkungan dan terutama kepada Allah dalam setiap amalnya. Kehilangan kejujuran akan mendatangkan kepemimpinan diri yang kurang amanah dan cenderung korup. Tipisnya jiwa amanah akan mengakibatkan tipisnya iman dan membuat orang mudah terjermbab dalam jurang korupsi.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UAD
dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ’Aisyiyah (LPPA)
sumber: Universitas Ahamad Dahlan
Thomas Jefferson: Presiden Amerika Pertama yang Difitnah karena Islam
“Kasihilah tetanggamu–manusia seperti dirimu sendiri–dan negaramu, lebih dari mengasihi dirimu sendiri,” tulis Thomas Jefferson sebelum kematiannya. Siapa kiranya “tetangga” yang dimaksudkan Jefferson dalam pesan yang belakangan jadi cetak biru bagi kelahiran negara dan bangsa Amerika yang begitu dicintainya?
Secara implisit Jefferson memasukkan warga Muslim dalam rumusan “Kaidah Emas” yang ditulisnya. Banyak orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada masa itu, namun telah banyak bukti menguatkan hal ini.
Pada 1776, Jefferson menulis di antara catatan pribadinya: “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Catatan itu ditulisnya beberapa bulan setelah ia menulis Deklarasi Kemerdekaan, ketika ia kembali ke Virginia untuk menyusun undang-undang baru bagi Amerika.
Jefferson mengadopsi preseden “hak-hak sipil” bagi Muslim dari traktat yang ditulis filsuf Inggris John Locke pada 1689, “A Letter Concerning Toleration”. Ide-ide Locke tentang toleransi terhadap Muslim dan Yahudi memicu serangan terhadapnya. Seorang kritikus mengecamnya karena memiliki “iman seorang Turki”, dan dia pun dituduh menyimpan Al-Quran yang oleh para pengecamnya disebut sebagai “Injil Muhammad”.
Selama berabad-abad, praktik memfitnah orang dengan cara menghubungkannya dengan Islam sangat umum dilakukan penganut Kristiani di Eropa. Dan praktik ini pun menyeberangi Samudera Atlantik sampai ke daratan Amerika. Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai “kafir”–kata yang pada masanya berarti bukan sekadar “tidak beriman”, melainkan juga “seorang Muslim”.
Dan seperti Locke, Jefferson memiliki sebuah Quran.
Jefferson yang waktu itu berusia 22 tahun membeli Quran pertamanya pada 1765 ketika sedang menempuh studi hukum di Williamsburg, Virginia. Sebuah surat kabar lokal mendokumentasikan pembeliannya atas Quran dua volume tersebut yang diterjemahkan seorang Inggris bernama George Sale. Pertama kali diterbitkan pada 1734, versi Sale adalah yang paling awal diterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. Di dalamnya tercakup 200 halaman “Wacana Awal ” yang berisi gambaran tentang keyakinan, ibadah dan hukum-hukum Islam.
Jefferson mungkin tertarik pada Quran sebagai kitab hukum, karena pada saat itu ia juga memesan banyak karya bahasa Inggris terkait yurisprudensi. Pastinya dia cukupsurprise membaca definisi penerjemah yang menyebut Nabi (Muhammad) sebagai “pemberi ketentuan hukum bagi orang-orang Arab”.
Meski Sale menyebut Islam sebagai “agama palsu”, dia juga memuji Nabi sebagai “pribadi yang indah, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”. Penerjemah juga menolak mendefinisikan Islam “disebarkan oleh pedang saja” dengan mengingatkan pembacanya bahwa orang Yahudi dan Kristen juga berperang atas nama agama mereka.
Para pengkritik menuduh Sale terlalu adil menggambarkan Islam, sehingga pengusaha misionaris Anglikan yang mempekerjakannya pun menolak hasil terjemahannya itu. Sale pun dianggap sebagai sebagai “setengah Muslim” oleh sejarawan Inggris Edward Gibbon pada 1788.
Jadi di kedua sisi Atlantik, mereka yang dinilai membela Islam atau penganutnya, sama-sama dikecam keras.
Lalu, apa yang ada dalam benak Jefferson mengenai Quran dan isinya? Dia tidak meninggalkan secuil pun catatan yang merekam pemikirannya tentang Kitab Suci Islam itu, mungkin karena memang dia tak pernah menulisnya, atau karena catatannya ikut musnah saat rumah ibunya terbakar lima tahun kemudian. Akibat kebakaran itu, menurut Jefferson, dia kehilangan “semua kertas” dan “hampir semua buku”. Quran miliknya mungkin juga ikut terbakar, tapi kalaupun demikian, pasti dia membelinya lagi karena saat ini Quran milik Jefferson tersimpan rapi di Library of Congress. Di Quran itu, Jefferson menorehkan parafnya di halaman pertama jilid pertama.
Jefferson sendiri mengkritik agama (Islam) dalam debat politiknya di awal tahun 1776 menyebut agama “membelenggu kebebasan”, tuduhan yang juga ia lontarkan terhadap ajaran Katolik. Dia berpikir kedua agama tersebut itu mencampuradukkan agama dan negara tepat ketika ia ingin memisahkan mereka di Virginia.
Meskipun kritis terhadap Islam, Jefferson mendukung hak-hak para penganutnya, kebijakan yang dilakukannya juga untuk warga Yahudi dan Katolik–dalam hal ini dia bergerak melampaui pahlawannya, Locke, yang tidak bertoleransi kepada penganut Katolik dan Ateis.
Dalam buku Jefferson 1784 Notes on Virginia, dia mengungkapkan pandangannya tentang kaitan antara agama yang dianut tetangganya dengan negara: “Kekuasaan yang sah dari pemerintah mencakup kontrol atas tindakan-tindakan warga yang melukai orang lain. Tapi saya tidak terluka sedikitpun kalau tetangga saya bilang ada 20 tuhan maupun tidak ada tuhan. Mereka tidak mencopet dompet saya atau mematahkan kaki saya.”
Dengan pernyataannya bahwa pemerintah tidak boleh mengganggu keyakinan spiritual warganya, secara tidak disadari Jefferson menunjukkan titik lemah kepada musuh-musuh politiknya. Bagi banyak orang, pernyataannya membuktikan bahwa dia bukan seorang Kristiani sejati.
Versi resmi Jefferson tentang Kaidah Emas, dikombinasikan dengan pandangan Locke tentang hak-hak sipil Muslim, dengan sangat nyata tergambar dalam autobiografinya pada 1821, di mana dia mengenang pertarungan terakhirnya untuk memenangkan rancangan undang-undangnya yang paling terkenal, the Statute of Virginia for Religious Freedom (Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama)–yang masih berlaku hingga kini.
Statuta itu menyatakan “Hak-hak sipil kita tidak bergantung pada pandangan keagamaan kita.” Meskipun usulan undang-undang Jefferson itu semula ditentang pada 1779, beberapa redaksionalnya dapat dinegosiasikan oleh James Madison dan akhirnya lolos disahkan pada 1786 saat Jefferson berada di Prancis.
Jefferson dengan gembira mencatat dalam autobiografinya bahwa upaya lawan-lawannya untuk mengubah redaksional dengan menambahkan “Yesus Kristus” di bagian pembukaan undang-undang tidak berhasil. Dan kegagalan tersebut menjadikan Jefferson semakin yakin untuk menegaskan maksudnya agar penerapan statuta itu berlaku “universal”. Dengan ini dia memaksudkan kebebasan beragama dan persamaan hak politik bukan hanya eksklusif bagi umat Kristiani–suatu keyakinan pada pluralisme agama yang juga diyakini Madison.
Jefferson menegaskan bahwa usulan awal undang-undangnya dimaksudkan untuk “mencakupkan perlindungannya terhadap Yahudi dan bukan Yahudi, Kristen dan Muslim, Hindu, dan kaum kafir….”
Pada saat menulis kata-kata seperti itu pada 1821, Jefferson tentu menyadari konsekuensinya, yaitu dirinya sendiri akan dicap sebagai kafir. Menjelang kemenangannya yang tipis dalam pemilihan presiden pada 1800, dia mengaku pada seorang karibnya, “Betapa hebatnya upaya kita melampaui kemunafikan dalam politik dan agama ini, kawan.”
Jefferson bukanlah kandidat presiden terakhir yang dikecam dan difitnah gara-gara keterkaitannya dengan Islam, tapi dialah yang pertama.
Tragisnya, meskipun Jefferson menang memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama Amerika–para budak dari Afrika Barat–tidak memperoleh kebebasan yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu bahkan mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan kebenarannya saat ini. [Diterjemahkan secara bebas dari islamophobiatoday.com]
*) Denise A. Spellberg, pengajar sejarah dan studi Timur Tengah di University of Texas, Austin, penulis buku Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders.
Puasa dan Gerakan Kejujuran
Oleh Dr HM Harry M Zein
Puasa dan Kejujuran
Oleh : Agustianto
Dosen Pascasarjana UI
Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidak jujuran benar-benar telah menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia.
Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka di bumi ini. Kita lebih mudah mencari orang-orang pintar daripada orang-orang jujur. Keserakahan dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan hedonisme yang cendrung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan . Sehingga kita sering mendengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan selalu diucapkan orang,”kalau jujur akan terbujur”,”kalau lurus akan kurus”,kalau ihklas akan tergilas”.
Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit korup dan ketidak jujuran.
Nabi muhammad Saw pernah mempredeksi, bahwa suatu saat nanti, diakhir zaman,manusia dalam mencari harta,tidak mempedulikan lagi mana yang halal dan mana yang haram. (HR Muslim).
Ramalan Nabi pada masa kini telah menjadi realitas sosial yang mengerikan, bahkan implikasinya telah menjadi patologi sosial yang parah, seperti menjamurnya korupsi, pungli, suap, sogok,uang pelicin dsb. Banyak kita temukan pencuri-pencuri berdasi melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam mengelola proyek. Manusia berlomba-lomba mengejar kekayaan dan kemewahan dunia secara massif, tanpa mempedulikan garisan-garisan syariah dan moralitas.
Era reformasi yang telah berlangsung lebih tujuh tahun, dengan tekad untuk memberantas segala bentuk kolusi,korupsi dan nepotisme, -bahkan telah ditetapkan lewat Tap MPR- belum menunjukkan tanda-tanda dan hasil yang mengembirakan,sebab, praktek kolusi,korupsi dan suap menyuap masih saja menjadi kebiasaan masyarakat kita . Untuk mengatasi dan mengurangi segala destruktip tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantap kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam puasa Ramadhan.
Puasa melatih kejujuran
Berbeda dengan sifat ibadah yang ada, puasa adalah ibadah sirriyah (rahasia). Dikatakan sirriyah, karena yang mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak, hanyalah orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah SWT.
Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur. Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah swt..
Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat seperti itu, takut puasa batal.
Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun sifat kejujuran.
Jika manusia jujur telah lahir, dan menempati setiap sektor dan instansi, lembaga bisnis atau lembaga apa saja, maka tidak adalagi korupsi, pungli, suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.
Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik dan terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Kejujuran juga menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya, seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kezaliman terhadap hak orang lain.Ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya mengancam stabilitas sosial. Ketidak jujuran selalu berimplikasi kepada ketidakadilan. Sebab orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya.
Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang,, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah banyak disapaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkat bahwa, Rasulullah pernah didatangi oleh seorang pezina yang ingin taubat dengan sebenarnya. Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu,agar orang tersebut berlaku jujur dan tidak bohong
Syarat yang kelihatan sangat ringan untuk sebuah pertaubatan besar, tetapi penerapannya dalam segala aspek kehidupan sangat berat.Dan ternyata syarat jujur tersebut sangat ampuh untuk menghentikan perbuatan zina. Jika ia tetap berzina secara sembunyi-sembunyi, lalu bagaimana ia harus menjawab jika Rasulullah menanyainya tentang apakah ia masih berzina atau tidak.Untuk menghindari berbohong kepada Nabi, maka si pezina mengakhiri prilakunya yang dusta itu dan kemudian benar-benar bertaubat dengan penuh penghayatan.
Dari riwayat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kejujuran sangat signifikan dalam membersihkan prilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi, penipuan, manipulasi, suap-menyuap dan sebagainya.
Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah dari ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan riel dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran telah disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan kolusi terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja dibeking oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya malapetaka berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma. kejujuran dan semakin mekarnya kepalsuan dalam kehidupan bangsa kita.
Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan profetik keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat ditransformasikan untuk membongkar sangkar kepalsuan dan mem bangun kejujuran.
Ada yang secara pesimis berpendapat, bahwa membangun kejujuran pada era materialisme adalah suatu utopia (angan-angan) mengingat mengakarnya sifat ketidak jujuran dalam masyarakat dan bangsa kita. Sebagai orang beriman yang menyandang peringkat khairah ummah, sikap pesimis di atas harus dibuang jauh-jauh.Sebab gerakan amarma’ruf nahi mungkar yang dilandasi iman, harus tetap dilancarkan, agar konstelasi dunia ini tidak semakin parah.
PENUTUP
Realitas menunjukkan, bahwa kesemarakan ramadhan dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun ironisnya, bersamaan dengan itu penyimpangan dan ketidakjujuran masih berjalan terus. Padahal, suatu bulan kita dilatih dan didik untuk berlaku jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya. Bila selama satu bulan itu, orang-orang yang berpuasa benar-benar berlatih secara serius dengan penuh penghayatan terhadap hikmah puasa, maka pancaran kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa mereka. Kalau puasa Ramadhan yang dilakukan tidak melahirkan manusia-manusia jujur, berarti kualitas puasa orang tersebut masih sebatas lapar dan dahaga. Karena puasa yang dilakukan tidak memantulkan refleksi kejujuran. Kalau orang yang berpuasa, masih mau menerima suap dari orang-orang yang mencari pekerjaan, berarti kualitas ibadah orang tersebut masih sangat rendah. Kalau orang yang berpuasa, masih mau melakukan mark up dalam proyek, korupsi dan kolusi, berarti puasa yang dilakukan masih jauh dari tujuan puasa.
Kalau pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna,pungli,korupsi dan kolusi tetap menjadi kebiasaan, barang kali puasa yang dilakukan tidak didasari iman, tetapi mungkin ia melakukan puasa hanya karena mengikuti tradisi. Untuk mewujudkan manusia jujur, perlu peningkatan iman dan penghayatan kesadaran kehadiran Tuhan. Tanpa upaya ini, kejujuran tak kan lahir dari orang yang berpuasa.
Keutamaan Sepuluh Hari Kedua Ramadhan
SETELAH berhasil melalui fase pertama yang sudah pasti cukup berat karena tubuh dan pikiran berusaha beradaptasi dengan kondisi saat puasa, maka 10 hari kedua Ramadhan ini mungkin akan terasa lebih ringan karena akhirnya tubuh sudah mulai terbiasa dengan aktivitas puasa yang menuntut seseorang untuk tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga saat matahari terbenam.
Untuk keutamaan 10 hari kedua Ramadhan seperti yang disebutkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).”
Nah, pada fase kedua atau fase 10 hari kedua Ramadhan inilah Allah membukakan pintu magfirah atau ampunan yang seluas-luasnya.
Karenanya Jangan sampai kita melewatkan hari-hari penuh ampunan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dengan sia-sia. Pada waktu-waktu inilah saat yang paling tepat untuk memperbanyak doa serta memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lalu agar diampuni dan dibebaskan dari hukuman.
Perbanyaklah melakukan sholat malam, berdoa , tilawah quran, dan berdzikir karena pada 10 hari kedua Ramadhan ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengurangi dosa-dosa yang telah kita perbuat.
Dengan memohon ampunan dengan tulus dan bersungguh-sungguh serta bertobat dari hati yang terdalam Insya Allah pasti mendapatkan ampunan-Nya. [berbagai sumber]
sumber: Islampos.com
Ini Asal Mula Tradisi Membangunkan Sahur
JAKARTA — Ada beragam tradisi memeriahkan dan menghidupkan Ramadhan di berbagai dunia Islam. Sebagiannya, atau nyaris keseluruhannya, memang belum pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi, tak jadi soal. Ini soal tradisi dan budaya yang berangkat dari kearifan lokal.
Unik, sekaligus mengundang ketertarikan lintas generasi. Tiap daerah memiliki tradisi masing-masing. Ikhtiar sederhana masyarakat lokal untuk memberi keistimewaan bulan suci itu. Salah satu tradisi klasik di Timur Tengah adalah membangunkan sahur. Di Indonesia, sejumlah daerah mengenalnya dengan grebek sahur.
Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan al-muskhirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel yang berbeda-beda sesuai dengan karakter lokal tiap-tiap negara. Liriknya, berisikan ajakan dan seruan bangun sahur.
Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq yang berkuasa di Mesir pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-muskhirati pertama.
Ini karena pada 238 H, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur. Ia melakukannya dengan berjalan kaki.
Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat. Dan kini, profesi ini tak lagi menarik. Mulai tergeser dengan suara alarm, atau pekikan keras dari pengeras suara di masjid.
sumber: Republika Online