Jujur, Kiat Menuju Selamat

Mukadimah

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.

Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,

“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Definisi Jujur

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.

Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).

Allah berfirman,

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

Keutamaan Jujur

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.

Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,

“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”

Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.

Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.

Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”

Macam-Macam Kejujuran

  1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
  2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
  3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
    “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
  4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
  5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)

Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

Khatimah

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,

“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.

Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)

Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,

“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)

Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)

Referensi:

  1. Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
  2. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
  3. Mukhtarat min Al-Khutab Al-Mimbariah, karya Syaikh Shalih ibn Fauzan ; cet. Ke – 1, Jam’iayah Ihya’ At-Turats Al-Islamy.
  4. Syarh Riyadhus As-Shalihin, karya Syaikh Mahammad ibn Shalih Al-Utsaimin ; cet – 1 ; Dar- Wathan, Riyadh, KSA.

(Diambil dari majalah Fatawa)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38-jujur-kiat-menuju-selamat.html

Manfaat Jujur akan Dirasakan Banyak Orang

Dengan kejujuran Rasulullah, masyarakat Makkah sangat terbantu,

Nabi Muhammad SAW hadir di tengah manusia untuk menebar akhlakul karimah. Melalui ucapan dan keteladanannya, beliau mengajak manusia berlomba memiliki akhlak yang mulia. Salah satu akhlak mulia yang beliau tekankan adalah kejujuran. Kejujuran adalah sumber segala kebaikan. Nabi SAW menegaskan dalam hadis yang artinya, “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga.

Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. (Muttafaqunalih). Manfaat jujur tidak saja bersifat pribadi, tetapi juga dirasakan maslahatnya oleh banyak orang. Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam telah membuktikannya. Dengan kejujuran beliau, masyarakat Makkah sangat terbantu.

Saat mereka bepergian mereka bisa bernapas lega sebab harta berharganya tetap aman karena mereka titipkan kepada Rasulullah. Dengan bersemainya kejujuran akan mengeksiskan beragam kebaikan dan menyingkirkan keburukan di tengah masyarakat. Ibnul Qoyyim mengibaratkan sifat jujur seperti pedang Allah di muka bumi. Ia berkata, Kejujuran ibarat pedang Allah di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya.

Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barang siapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. (Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qoyyim al-Jauziah (2/279).

Sifat jujur sejatinya kebutuhan primer setiap orang. Kejujuran adalah sumber ketenangan. Nabi SAW bersabda yang artinya, Karena sesungguhnya jujur itu adalah (sumber) ketenangan dan dusta adalah (sumber) kebimbangan. (Riwayat Tirmidzi). Manfaat jujur itu memang terkadang tidak langsung bisa dinikmati. Tidak jarang buah kejujuran harus didahului dengan kepahitan dan kesulitan. Tapi dengan tetap sabar dalam kejujuran, pasti akan tiba masa kita merasakan keindahannya.

Ka’ab bin Malik salah satu fakta sejarah yang membuktikan hal tersebut. Saat absen dalam Perang Tabuk, ia bisa lolos dari hukuman dengan merekayasa alasan sehingga dinilai oleh Nabi sebagai orang yang absen karena ada uzur. Tapi Ka’ab enggan melakukan itu. Ia memilih jujur. Walhasil Rasulullah menghukumnya dengan tidak diajak berbicara oleh beliau dan seluruh kaum Muslimin Kota Madinah. Sungguh menyakitkan dan sangat menyulitkan. Tapi, ia bersabar karena ia yakin ujung dari itu semua adalah keindahan.

Ketika berlalu 50 hari masa pemboikotan, Allah memuliakannya dengan me nu runkan ayat yang memastikan jika tobatnya Ka’ab dan dua sahabat yang lain (Hilal dan Murarah) telah diterima oleh Allah. Menjadi sosok yang jujur membutuhkan kesabaran.

Sebab, dusta terkadang menawarkan sesuatu yang lebih menjanjikan dan menggiurkan. Untuk menepis tawaran yang sejatinya adalah fatamorgana, hendaklah kita selalu bersama dengan orang-orang jujur. Allah berfirman yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur). (QS at- Taubah:119).

Oleh: Ahmad Rifai

KHZANAHREPUBLIK

Pribadi Jujur

SubhaanAllah walhamdulillaah walloohuakbar! Maha Suci Allah yang atas izin-Nya jantung kita masih berdetak sampai hari ini, ruh kita masih berada di dalam jasadnya sampai saat ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kita melihat orang-orang yang menunaikan shalat banyak jumlahnya, orang-orang yang melaksanakan shaum pun banyak jumlahnya. Demikian juga orang-orang yang menunaikan ibadah haji, berbondong-bondong banyaknya setiap tahun. Namun, orang yang jujur, selalu dipertanyakan mengapa tidak sebanyak mereka jumlahnya.

Padahal jelas bahwa tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Seringkali kita senang menilai orang lain jujur, akan tetapi jarang mempertanyakan kepada diri kita sendiri sejauhmana kejujuran diri kita. Kita senang melihat orang lain jujur, kita senang diperlakukan sebagai orang yang jujur, walaupun sebenarnya kita belum tentu jujur. Kita pun senang berkumpul dan berinteraksi dengan orang yang jujur, namun apakah kita sendiri sudah menjadi orang yang jujur lagi dapat dipercaya?!

Rasulullah Saw adalah seseorang yang diberi gelar Al Amin, seseorang yang sudah terjamin kejujurannya dan terpercaya. Gelar ini diberikan oleh orang-orang di lingkungan beliau yang bahkan belum mengenal Islam. Gelar tersebut adalah gelar bagi orang yang setiap ucapannya pasti benar, setiap janji pasti ditepati, setiap amanah pasti ditunaikan dengan penuh tanggungjawab, bersih dari khianat. Inilah karakter utama yang perlu kita miliki.

Seorang muslim yang jujur adalah karena ia yakin bahwa Allah Swt senantiasa melihat dirinya, senantiasa mengetahui ucapan, perbuatan sekecil apapun yang ia ucapkan dan ia lakukan.

Sesungguhnya kebohongan itu tidak pernah berguna sama sekali. Karena sungguh Allah Swt tidak mungkin bisa kita bohongi. Allah Swt pasti tahu setiap apa yang kita lakukan. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati. (QS. Faathir [35] : 38)

Maka dari itu, kebohongan adalah sikap yang konyol, merendahkan, mencelakakan dan menghinakan diri sendiri. Jika kita berbohong, kemudian orang lain bisa dibohongi, sebenarnya itu bukan karena kita pandai berbohong, melainkan karena Allah Swt masih menutupi perbuatan kita dan masih memberi kita kesempatan bertaubat. Dan, jikalau pada saatnya nanti Allah menghendaki untuk membukanya, sehingga terbongkarlah kebohongan kita, maka tiada apapun yang bisa menyelamatkan kita.

Saudaraku, jikalau kebohongan yang kita terbongkar, maka kehormatan kita akan rubuh. Kepercayaan kepada kita pun akan sirna. Sekali kebohongan kita terbongkar, maka akan sulit untuk dipercaya lagi.

Sungguh, dicaci gara-gara kita jujur, itu jauh lebih baik daripada dipuji karena kita tidak jujur. Allah Maha Tahu siapa di antara hamba-hamba-Nya yang jujur, dan Allah berikan rasa tenang, sakiinah di dalam hatinya, sehingga dihina, dikucilkan, dipojokkan seperti apapun, dia akan tetap tenang karena Allah bersamanya.

Sebaliknya, bagi orang yang tidak jujur, sekalipun orang-orang di sekitarnya memujinya, mendukungnya, namun Allah tidak ridho, maka Allah akan cabut rasa tenang di dalam hatinya. Sehingga ia akan diliputi rasa gelisah, cemas, gundah gulana di tengah sanjungan orang. Ia sangat takut suatu saat nanti kebohongannya terbongkar. Padahal kebohongan itu serapat apapun menutupnya, cepat atau lambat niscaya akan terbuka juga.

Apa artinya kekayaan, jabatan, kedudukan, jika didapatkan dengan jalan ketidakjujuran? Apa artinya semua itu jika hanya mendatangkan kegelisahan, ketidaktenangan? Semua itu semu belaka, tidak mendatangkan kebahagiaan, malah akan mendatangkan malapetaka di dunia dan di akhirat. Naudzubillahi mindzalik!

Semoga kita termasuk orang-orang yang jujur. [smstauhiid]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

 

Menjaga sikap Jujur

Seorang pemimpin harus memiliki sifat jujur agar ia dipercaya oleh orang-orang yang dipimpinnya dan stakeholdernya.

 

SEORANG yang jujur di dalam jiwanya terdapat nilai rohani yang memantulkan sikap berpihak kepada kebenaran, moral terpuji, dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, sehingga ia hadir sebagai orang berintegritas yang mempunyai kepribadian terpuji dan utuh.

Sifat jujur merupakan mutiara akhlak yang akan menempatkan seseorang dalam kedudukan mulia (maqamam mahmuda). Orang yang jujur berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan. Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus, dan oleh karena itu ia memiliki keberanian moral yang sangat kuat.

Seperti halnya keikhlasan, kejujuran juga tidak datang dari luar. Tetapi dari bisikan kalbu yang secara terus menerus mengetuk-ngetuk dan membisikkan nilai moral luhur yang didorong hati nurani manusia yang fitrah. Kejujuran bukan sebuah paksaan, melainkan panggilan dari dalam diri seseorang.

Perilaku jujur diikuti oleh sikap bertanggung jawab atas apa yang diperbuat (integritas), sehingga kejujuran dan tanggung jawab ibarat dua sisi mata uang. Orang yang jujur selalu merasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf: 16)

Dalam kajian budaya kerja Islami tentang kejujuran, pernah terjadi suatu dialog antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang anak gembala yang sedang menggembala ternak tuannya. Dialog tersebut seperti menjadi mitos yang melegenda, yang menjadi perlambang seorang anak manusia yang memegang teguh kejujuran yang diilhamkan oleh surah Al-Qaaf ayat 16 tersebut.

Ringkasan dialog tersebut adalah sebagai berikut:

Kh: Wahai gembala bagaimana kalau 1 ekor domba yang kamu gembalakan itu saya beli?

AG: Mohon maaf tuan, saya hanya diamanahi untuk menggembalakan dan tidak untuk dijual.

Kh: Bagaimana kalau 1 ekor itu saya beli dengan harga 10 kali harga pasar?

AG: Amanah adalah harga diri saya dan tidak bisa dibeli dengan uang.

Kh: Kambing gembalaan itu begitu banyak, kalau hanya 1 satu ekor tidak ketahuan. Kamu katakan saja dimakan serigala…

AG: (Dengan perasaan kesal) fa ainallah (di mana Allah)…

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang saleh. Ia sebetulnya tidak benar-benar ingin membeli, tetapi hanya menguji kejujuran anak gembala itu. Hasil uji itu tersebut membuat Khalifah Umar bin Abdul Azizi bangga dengan sikap jujur yang menjadi integritas anak gembala itu. Masih adakah orang seperti itu di zaman sekarang ini?

Dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki sifat jujur agar ia dipercaya oleh orang-orang yang dipimpinnya dan stakeholder (pihak-pihak yang terkait)-nya. Kalau seorang pemimpin kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya dan stakeholdernya gara-gara tidak jujur, maka ketaatan orang-orang yang dipimpinnya dan sikap stakeholdernya sudah diliputi rasa dongkol dan tidak ikhlas lagi mengikuti petunjuk atau perintahnya, serta berdampak pada kekecewaan. Akhirnya cepat atau lambat ia akan ditinggalkan oleh orang-orang yang dipimpinnya dan stakeholdernya.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Manajemen Bisnis Syari’ah, penulis: Prof. Dr. H. M. Ma’ruf Abdullah, SH., MM)

 

HIDAYATULLAH

Jujur Jalan Keberuntungan dan Kemuliaan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt, tiada yang kuasa menandingi keagungan-Nya. Dialah Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya serta mencukupi rezeki seluruh makhluk-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada kekasih Allah, baginda nabi Muhammad Saw.

Rasululloh Saw. bersabda,“Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan. Dan, kebaikan menunjukkan jalan menuju surga.”(HR. Bukhori).

Saudaraku, mengapa masih saja ada pedagang yang diam-diam mengurangi takaran, mencurangi timbangan. Mengapa masih saja ada pegawai yang diam-diam menggelapkan anggaran. Mengapa masih saja ada pengusaha yang diam-diam memberi suap atau sogokan, dan mengapa masih saja ada oknum pejabat yang leluasa saja menerimanya.

Jawabannya adalah karena orang-orang seperti ini tidak yakin kepada Allah. Tidak yakin kepada Dzat yang Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat. Sehingga ia berani berbuat tidak jujur. Padahal kejujuran adalah bukti kemuliaan seseorang.

Kejujuran adalah cermin dari kebeningan hati. Orang yang selalu berusaha jujur di dalam hidupnya baik dalam niat, ucapan dan perbuatan, bisa dipastikan memiliki moral yang baik dan akhlak mulia. Bahkan, di dalam Al Quran disebutkan bahwa Allah akan menyandingkan orang-orang jujur dengan para nabi, para syahid dan orang-orang sholeh.

Allah Swt. berfirman,“Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah : yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh..”(QS. An Nisaa [4] : 69).

Siapapun menyukai kejujuran. Seorang atasan akan suka pada karyawannya yang jujur. Rakyat akan cinta pada pemimpinnya yang jujur. Seorang suami atau istri akan sayang kepada pasangannya yang jujur. Pembeli akan senang kepada pedagang yang jujur. Fitrah manusia itu mencintai kejujuran.

Hal yang sangat berharga sebagai buah dari kejujuran adalah rasa tenang. Padahal ketenangan adalah hal yang tidak bisa dinilai dengan materi. Apa gunanya harta kekayaan yang berlimpah jika berasal dari ketidakjujuran. Yang akan lahir hanyalah resah dan gelisah, takut jika sumber kekayaannya terbongkar. Sedangkan jika rasa resah dan gelisah sudah ada di dalam hati, maka rumah yang luas pun hanya akan terasa bagai penjara. Hati terasa sempit.

Sebaliknya, orang yang jujur selalu tenang, karena yang ia genggam adalah embun kebenaran, bukan bara ketidakjujuran. Ketenangan mengantarkan pada kebahagiaan. Meskipun hidup alakadarnya, orang yang jujur akan senantiasa diliputi rasa tenang dan kebahagiaan. Rumah yang sederhana terasa luas, dengan jiwa yang lapang dan hati yang tentram.

Rasululloh Saw. bersabda,“..maka sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan, dan kebohongan adalah keraguan..”(HR. Turmudzi). Rasululloh Saw. juga bersabda,“..Janganlah kalian berdusta, karena dusta akan mengantarkan pada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke neraka.”(HR. Bukhori dan Muslim).

Oleh sebab itu, marilah kita berlomba-lomba menjadi pribadi-pribadi yang jujur. Demi Allah, kejujuran adalah jalan menuju keberuntungan. Kejujuran adalah jalan menuju kemuliaan sejati. Kejujuran ciri dari tauhid yang kuat dan keyakinan yang lurus kepada Allah Swt.Wallohualam bishowab

 

sumber: Inilah.com

Sudah Jujurkah Kita?

Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat

Islam adalah agama yang mulia. Islam mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk selalu jujur dalam setiap keadaannya. Islam juga mengharamkan sifat dusta dan mencela perbuatan dusta. Oleh karena itu, di dalam banyak ayat dan juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan keharaman dusta.

Di antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta dan mulianya sifat jujur adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar)!” (QS At-Taubah: 119)

Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).”[1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat.”[2]

Keutamaan orang yang memiliki sifat jujur

Orang yang memiliki sifat jujur akan mendapatkan banyak keutamaan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Dia akan mendapatkan ketenangan di dalam hatinya

Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan di dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan. Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan penuh dengan kebimbangan.

Orang yang sudah terbiasa berbohong, maka untuk membenarkan kebohongannya dia akan selalu berbohong, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kebohongan. Orang yang seperti ini tidak akan bahagia di dunia dan di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ.

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.”[3]

Dia akan mendapatkan keberkahan dalam jual belinya

Seorang yang jujur di dalam kesehariannya dengan orang lain, maka akan mendapatkan keberkahan di dalam hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli memiliki hak khiyaar (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan, maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa keberkahan di dalam jual beli bisa didapatkan dengan kejujuran.

Dia akan mendapatkan kesyahidan jika dia memintanya dengan jujur

Menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid adalah cita-cita setiap mukmin yang sempurna keimanannya. Keutamaan orang yang mati dalam keadaan syahid sangat banyak dan sangat besar. Dalil-dalil yang membahas tentang keutamaan mati dalam keadaan syahid disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada saat sekarang ini, sangat susah untuk bisa menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid di medan pertempuran, karena syarat untuk berhijad sangatlah banyak dan tidak sembarangan. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala tetap memberikan keutamaan jihad untuk orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaan syahid, jika orang tersebut memiliki niat yang ikhlas dan jujur dari hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Barang siapa yang meminta kepada Allah untuk dimatikan dalam keadaan syahid dengan jujur, maka Allah akan menjadikannya berkedudukan seperti orang-orang yang mati syahid walaupun dia mati di atas kasurnya.”[5]

Surga dan orang-orang yang jujur

Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan surga atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Allah berkata: Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allah. Itulah keberuntungan yang paling besar“. (QS Al-Maidah: 119)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang sangat jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)

Wajibnya menjaga amanah

Di antara bentuk kejujuran pada diri seseorang adalah bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.

Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak beramanah. Dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mememenuhi perjanjian.”[6]

Orang yang diberikan amanah harus benar-benar menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

Cara melatih kejujuran

Untuk mencapai derajat ash-shiddiq (orang yang sangat jujur) tidaklah mudah. Seseorang harus terus melatih dan mempraktikkan kejujuran dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Jika kita perhatikan, sifat dusta kebanyakan muncul karena kecintaan seseorang terhadap dunia. Untuk mendapatkan dunia banyak orang yang berdusta dan melupakan akhiratnya.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ، فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ.

“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.”[7]

Dusta yang diperbolehkan

Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat, dimana seorang muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Dusta yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya)“[8]

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَخَّصَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَمِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu: ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya”[9]

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas, apakah dusta pada ketiga hal ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa dikatakan berdusta.

Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:

Ada orang zalim yang mencari dan mengejar seseorang untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang yang sedang duduk. Kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada orang yang duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat seorang pun lewat di depan saya.”

Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.

Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan fiqh kedua hadits tersebut di dalam kitab beliau ‘Ash-Shahiihah’, “Tidak samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama (yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir dari hadits-hadits. Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa kedustaan pada hadits tersebut kepada tauriyah maka tidaklah samar bahwa hal tersebut sangat jauh (dari kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, Al-Hafidzh (Ibnu Hajar Al-‘Asqalanaani) mengatakan di dalam kitabnya ‘Al-Fath’ (VI/119), “An-Nawawi mengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah) itu lebih utama.”[10]

Begitu indahnya agama Islam, dia mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu berlaku jujur dan hanya boleh berdusta pada keadaan-keadaan tertentu saja sebagaimana telah disebutkan di atas. Berbeda dengan beberapa kelompok sesat yang mengatasnamakan diri mereka Islam, sebagian mereka memperbolehkan dan menghalalkan berdusta, seperti yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Syi’ah.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allah subhaanahu wa ta’aalaamencatat kita sebagai orang-orang yang jujur dan memberikan kesempatan kita untuk bisa menjadi orang yang ash-shiddiiq sebelum kita wafat. Aamiin.

***

Daftar Pustaka

  1. Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  2. Ash-Shidqu Al-Fadhiilah Al-Jaami’ah. Sulaiman bin Muhammad bin Falih Ash-Shaghiir. Dar Ibnil-Atsiir.
  3. Jaami’ul-bayaan fii ta’wiilil-Qur’aan. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  4. Mahaasinush-Shidqi wa Masaawi-ul-Kadzib. ‘Abdullah bin Jarillah Alu Jarillah. www.islamhouse.com.
  5. Silsilatul-Ahaadiits Ash-Shahiihah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
  6. Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Ismaa’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  7. Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  8. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

Catatan kaki

[1] HR Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637.

[2] HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59/211.

[3] HR At-Tirmidzi no. 2518. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.

[4] HR Al-Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532/3858.

[5] HR Muslim no. 1909/4930.

[6] HR Ahmad no. 12383 dan Ibnu Hibban no. 194. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih di dalam Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir no. 7179.

[7] Tafsiir Ibnu Katsir IV/234.

[8] HR Abu Dawud no. 4922.

[9] HR Ahmad no. 27278.  Kedua hadits di atas dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 545.

[10] Penjelasan beliau di dalam pembahasan hadits no. 545 dalam Ash-Shahiihah.

___

Penulis: Ust. Sa’id Ya’i, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Refleksi Puasa dan Tantangan Berperilaku Jujur

Oleh: Khusnul Hidayah*

Alkisah diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu….”

Dengan lantang si gembala menjawab “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya” kata sipegembala

“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala” lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan “Lalu, di mana Allah?”

Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
“Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak”

Kisah di atas banyak menjadi inspirasi ketika bercerita tentang  gambaran pribadi yang amanah, jujur menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi. Berkebalikan dengan  cerita di atas, pada tanggal 9 Juli yang lalu Transperency Internasional Indonesia merilis Global Corruption Barometer 2103 yang menginformasikan 5 lembaga publik terkorup di Indonesia, yakni Kepolisian, parlemen, peradilan, Partai politik dan Pejabat Publik.  Ironis memang, lima lembaga yang disebutkan di atas sejatinya adalah pengemban amanah utama dalam pengelolaan negara, akan tetapi realitasnya tidak menggambarkan citra yang mereka sandang.

Berpuasa, utamanya di Bulan Ramadhan, sejatinya adalah kawah candradimuka melalui disiplin yang kuat selama satu bulan penuh bagi pribadi muslim untuk mengimplementasikan nilai-nilai amanah, dan kejujuran guna meretas sebelas bulan yang lain. Selain menahan dari nafsu makan-minum, biologis juga menahan nafsu tamak dan serakah, Refleksi  terpenting dalam ibadah shaum adalah kujujuran diri kepada Allah SWT.

Selama 1 bulan, setiap individu Muslim tidak peduli kaya, miskin, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan, dituntut untuk bersikap jujur kepada Tuhan karena ini adalah ibadah yang sangat pribadi antara manusia dengan Rabbnya. Bisa jadi orang tersebut berbohong mengatakan puasa kepada orang lain dan lingkungannya untuk menjaga wibawa padahal sejatinya tidak. Dia bisa berbohong kepada orang lain namun tidak pada Tuhan.

Kejujuran yang diajarkan dalam berpuasa akan melahirkan perilaku Ihsan, perilaku agar manusia ikhlas beramal semata kepada Allah. Sebagaiman Nabi SAW pernah ditanya jibril perihal pengertian ihsan? maka jawab Beliau: “Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya, namun Dia tetap melihatMu (HR Bukhari).

Menghadirkan Wajah  Tuhan ketika Ramadhan berlalu?

Sudah jamak dilihat ketika ramadhan usai, maka individu pun tak lagi mengenal wajah Tuhannya bahkan menjauh dari perilaku ihsan. Mereka yang terbiasa berperilaku korupsi, suap dan perilaku tidak jujur lainnya akan kembali mengulang kebiasaanya, tak berbekas sedikitpun hikmah kesalehan yang dilakukannya selama berpuasa. Semestinya nilai-nilai kejujuran dapat diimplementasikan dalam pola gerak keseharian kehidupan baik selama ramadhan dan setelah ramadhan usai.

  Untuk itu diperlukan penghayatan Ihsan dalam kehidupan yang bisa dicapai dengan menghadirkan wajah Allah dalam melakukan kesalehan individu maupun kesalehan sosial seperti dalam cerita anak gembala di atas. Kesalehan individu dilakukan dengan memelihara ibadah kita kepada Allah, seperti shalat, dzikir, dan ibadah lain yang berhubungan dengan Allah.  Sementara kesalehan sosial tercermin dari tanggungjawab sosial terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu yang merupakan simbol orang-orang lemah (al mustadz’afin) sebagai konsekuensi dari peribadatan kepada Allah.

Empati kepada kaum lemah ditujukan bukan karena pencitraan diri tapi semata-mata karena ingin mengharap RidhaNya. Disinilah relevansi ibadah puasa dalam Bulan Ramadhan menjadi sangat penting, karena lewat puasalah manusia diajarkan untuk jujur baik kepada diri sendiri, lingkungan  dan terutama kepada Allah dalam setiap amalnya. Kehilangan kejujuran akan mendatangkan kepemimpinan diri yang kurang amanah dan cenderung korup. Tipisnya jiwa amanah akan mengakibatkan tipisnya iman dan membuat orang mudah terjermbab dalam jurang korupsi.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UAD

dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ’Aisyiyah (LPPA)

sumber: Universitas Ahamad Dahlan