Menyambut Kesucian Ramadhan dengan Introspeksi Diri

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan. Di bulan ini, umat Islam di seluruh dunia berpuasa dari terbit hingga terbenamnya matahari. Selain itu, Ramadhan juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Artikel ini akan membahas tentang menyambut Ramadhan dengan intropeksi diri.

Intropeksi Diri Menyambut Ramadhan

Sebenarnya, jika ditelisik arti kata dari “Marhaban” bermakna “kami lapang menerima”. Jadi misalnya ada orang atau tamu yang datang kita ucapkan kepadanya marhaban, itu untuk menggambarkan bahwa hati kami tidak kesal, melainkan hati lapang menerima. Kemudian, marhaban juga bermakna “tempat bagi pejalan atau kendaraan untuk mengambil bekal dan memperbaiki kendaraan”.

Artinya, kalau kita mengucapkan marhaban, maka berarti disamping hati kita tidak kesal dan lapang menerimanya, juga berarti bahwa di bulan Ramadhan kita siap mengambil bekal. Pun, di bulan Ramadhan kita siap memperbaiki apa yang tidak baik dari kepribadian dan apa yang rusak dari tekad. Kita ingin menggambarkan kelapangan dada kita dengan kehadiran Ramadhan.

Boleh jadi ada diantara kita bahkan anak-anak kita yang berkata “waduh puasa lagi, kapan terakhir ini.” Itu sebabnya, tak jarang ketika menjelang Maghrib buka puasa kita selalu berkata pada penceramah-penceramah “jangan lama-lama ceramah ini sudah mau berbuka lho”.

Tentu saja, kata Quraish Shihab, kita tidak ingin seperti itu, akan tetapi kita ingin menyambutnya dengan gembira. Pun, menyambutnya harus disesuaikan dengan tamu yang datang. Kalau demikian, yang pertama dalam konteks penyambutan ini kita harus tahu arti Ramadhan yang sebenarnya.

Sebenarnya, puncak dari Ramadhan adalah “Lailatul Qadar”. Allah Swt. berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ ۚ مِّنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلٰمٌ  ۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Artinya: “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Roh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr [97]: 3-5).

Karena itu, kenalilah Ramadhan, kenalilah ciri-cirinya supaya dia mau datang ke hati Anda. Jika Anda tidak mengenalnya, maka Ramadhan akan berjalan dan berlalu saja. Lebih dari itu, menariknya, bisa jadi apa-apa yang Anda tidak meminta justru Allah Swt. mengasihnya. Makanya perbanyak sedekah, terutama pada mereka yang tidak mampu.

أيُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فَيْ رَمَضَانَ

Artinya: “Rasulullah saw pernah ditanya, “Sedekah apakah yang paling mulia?” Beliau menjawab: “Yaitu sedekah dibulan Ramadhan.” (HR Tirmidzi).

Tentang niat puasa

Semua kita tahu bahwa puasa tidak akan sah jika tidak ada niat. Anehnya, kalau puasa sunnah kita boleh berniat pada pagi hari. Itu sebabnya, ketika Nabi tidak ada makanan di dapur, Nabi langsung puasa Sunnah.

Siti Aisyah Ra mengisahkan, “Rasulullah Saw. bertanya kepadaku pada suatu hari, “wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?” Aku menjawab, “wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu apapun (untuk dimakan).” Beliau lalu bersabda, “kalau begitu aku akan puasa.” (HR. Muslim).

Dari sini kita tahu bahwa, tidak ada panutan kesederhanaan terbaik selain Rasulullah Saw. Beliau adalah pemimpin umat dan negara, namun kehidupan beliau tidak dikelilingi emas dan permata. Saat berpuasa, menu sahur dan berbuka Rasulullah hanya itu-itu saja.

Artinya, bukan berarti kita harus meniru menu berbuka ala Rasulullah Saw. Namun, setidaknya, dari Nabi kita bisa belajar keharusan menghindari sifat tamak dalam makan dan minum. Tidak terlalu kenyang hingga malas beribadah dan tidak lupa akan rasa syukur atas nikmat yang Allah Swt. berikan. 

Berbeda dengan Ramadhan yang niatnya harus di malam hari. Bahkan, madzhab Syafi’i mengatakan niat puasa ramadhan harus tiap malam. Kenapa tiap hari berniat? Quraish Shihab mengatakan biar kita intropeksi. Misalnya tahun lalu saya masih ada kekurangan ketika berpuasa, maka tahun saya akan memperbaikinya.

Kenapa tiap malam? Karena kemarin saya berniat mau melakukan ini akan tetapi gagal, maka besok saya akan lakukan. Jadi intinya adalah introspeksi. Itu sebabnya, pada bulan Ramadhan sangat dianjurkan yang namanya i’tikaf pada malam 20 terakhir.

I’tikaf Ramadhan 

Ada banyak ulama yang mengatakan ketika beri’tikaf (introspeksi) tidak boleh membaca walau ilmu (apalagi membawa handphone), dengan tujuan supaya intropeksi fokus. Itu artinya, jika esoknya puasa Anda kurang baik, maka niat dan introspeksinya kurang sempurnah.

Masih tentang Ramadhan. Keberagamaan kita sekarang lebih banyak menyenangkan diri kita ketimbang menyenangkan Tuhan. Pergi naik haji memang disenangi oleh Tuhan, akan tetapi menolong tetangga yang butuh lebih disenangi Tuhan. Misalnya 1 juz Anda pahami al-Qur’an itu lebih bagus dari pada hatam 10 juz. Dalam hal ini, tadarus adalah bukan membaca semata, melainkan sebuah interaktif dengan orang lain untuk belajar. Pendek kata, di bulan Ramadhan kita harus melakukan yang disukai Tuhan.

Penting dicatat, bahwa ada amalan yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah. Sebuah hadits mengatakan:

عن أبى الدرداء رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألا أُخبرُكَ بأفضلَ مِنْ درجةِ الصيامِ و الصلاةِ والصدقةِ؟ قالوا: بلى, قال: إصلاحُ ذاتِ البينِ, فإِنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقَةُ. رواه الترميذى

Artinya: “Dari Abu Darda’ Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Maukah kalian Aku beritahu yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah? Mereka menjawab: “Ya”,  Rasulullah bersabda: “Berinteraksi sosiallah yang baik, karena interaksi sosial yang buruk itu memangkas.” (HR Tirmidzi).

Sederhananya, interaksi sosial yang baik adalah dengan akhlak atau etika yang baik itu lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah. Dalam hal ini bukan berarti cukup dengan interaksi sosial yang baik, apalagi dengan pandangan subjektif, sudah cukup, sekalipun tanpa puasa, shalat, dan sedekah. Ketiga hal itu penting bahkan wajib dilaksanakan oleh seorang mukmin, dan dilarang meninggalkannya.

Sekurang-kurangnya, interaksi sosial memiliki tujuan untuk mencapai dan menuju nilai-nilai sosial melalui gerakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, dan merupakan bagian dalam upaya untuk menghilangkan strata sosial yang timbul dari kepedulian sosial dari dalam diri masing-masing.

Pendek kata, kesalehan yang ideal menurut al-Qur’an adalah, kesalehan yang memadukan secara sinergitas antara kesalehan ritual individual dan kesalehan sosial. Tidak hanya mementingkan diri sendiri, akan tapi juga memikirkan mereka-mereka yang ada di akar rumput. Inilah kesalehan yang sesungguhnya. 

Demikian penjelasan terkait menyambut kesucian Ramadhan dengan introspeksi diri. Semoga dengan introspeksi diri, kita dapat menyambut Ramadhan dengan hati yang suci dan siap untuk menerima limpahan berkah dari Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Agar Jamaah Punya Persiapan Memadai untuk Berhaji

Haji merupakan ibadah pemersatu umat Islam dari berbagai belahan dunia.

Sebanyak 143 calon haji berasal dari Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, mengikuti bimbingan manasik haji pada 2024.

“Ibadah haji merupakan Rukun Islam yang kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya,” kata Staf Ahli Bupati Bidang Perekonomian dan Keuangan Pemkab Barito Utara Hery Jhon Setiawan di Muara Teweh, Rabu.

Kegiatan manasik haji ini dihadiri Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalteng Noor Fahmi dan pejabat lainnya.

Dia menjelaskan sebelum berangkat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah Almukarramah, calon haji harus lebih dahulu mempersiapkan diri dengan bermacam-macam persiapan secara matang dan teratur.

Dalam melaksanakan ibadah haji nanti, kata dia, akan memperoleh hasil yang baik dan memuaskan yaitu “Haji Mabrur dan Maqbul” yang mendapat rida Allah SWT, karena haji yang mabrur yang menjadi dambaan dan harapan semua umat Islam.

“Kepada jamaah calon haji saya harapkan dapat menyimak penyampaian materi dengan baik. Manasik haji ini merupakan geladi bersih yang akan dilaksanakan di Tanah Suci nanti,” kata dia.

Pelaksana Harian Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Barito Utara Almubasir mengatakan bimbingan manasik haji pada tahun ini diikuti 143 calon haji berasal dari daerah setempat.

Mereka terdiri atas urut porsi sebanyak 104 orang, prioritas lanjut usia (lansia) lima orang, cadangan 24 orang, penyatuan delapan orang dan mutasi dua orang.

“Dengan jumlah keseluruhan sebanyak 143 orang jamaah calon haji Barito Utara,” kata Almubasir.

Dia menjelaskan tujuan manasik haji bagi jamaah calon haji Barito Utara, agar semua calon haji dapat memahami semua informasi tentang ibadah haji, tuntunan perjalanan haji, petunjuk kesehatan, dan mampu mengamalkan saat pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Selain itu, kata dia, agar calon haji dapat mandiri dalam melaksanakan ibadah haji, baik secara mandiri, regu, maupun rombongan.

“Dan agar para jamaah calon haji mempunyai kesiapan dalam menunaikan ibadah haji, baik mental, fisik, kesehatan, maupun petunjuk ibadah haji yang lainnya,” ucap Almubasir.

IHRAM

Berapa Lama Ulama Salaf Mengkhatamkan Alquran?

Menurut Imam al-Nawawi dalam al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, para ulama terdahulu memiliki aneka pola yang beragam dalam membaca/mengkhatamkan Alquran mereka. Semuanya pada prinsipnya bergantung kepada kebiasaan masing-masing dan tentu saja kecintaannya terhadap Alquran itu sendiri.

Seperti yang dikutip Imam al-Nawawi dari Ibn Abi Dawud, ada berbagai pola para ulama dalam mengkhatamkan Alquran. Berikut diantara pola-polanya,

  • Dua Bulan Sekali
  • Satu Bulan Sekali
  • Sepuluh Malam/Hari Sekali
  • Dua Hari Sekali
  • Sehari Sekali
  • Sehari Dua Kali/TIga Kali/Delapan Kali.

Demikian diantara pola-pola menghafal Alquran di kalangan para ulama. Tradisi ini, menurut al-Nawawi tidak terlepas dari tuntunan Nabi Saw. Dan diantara para sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan ulama sesu Nabi Saw yang mengkhatamkan Alquran satu hari sekali adalah Usman bin Affan, Tamim ad-Dari, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Imam al-Syafi’i, dan ulama lainnya.

Masih dalam catatan Imam al-Nawawi, sosok yang mampu mengkhatamkan Alquran sampaii tiga kali dalam sehari (riwayat lain bahkan mengatakan empat) adalah Sulaiman bin ‘Itr. Beliau adalah Qadhi (Hakim Negara) di Mesir pada masa Kekhalifan Mu’awiyah.

Sementara yang berhasil mengkhatamkan Alquran delapan kali sehari (empat di waktu siang dan empat di waktu malam) adalah Syaikh Abu ‘Utsman al-Maghribi. Guru dari seorang sufi besar Abu Abdurrahman as-Sulami. Nama yang terakhir ini terkenal dengan salah satu karyanya Thabaqaat as-Shufiyyah.

Bahkan, menurut Ibn Abi Dawud sendiri, ia memiliki riwayat kisah bahwa Mujahid, salah seorang tabi’in, mampu mengkhatamkan Alquran dari maghrib sampai isya’.

Sebenarnya, masih banyak lagi kisah-kisah yang menunjukkan kedekatan yang begitu intim antara para sahabat atau tabi’in terhadap Alquran. Sehingga, mereka mampu membacanya sampai akhir hanya dalam waktu sebentar.

Bagaimana dengan Kita ?

Masih dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi mengatakan bahwa persoalan banyak sedikitnya seseorang membaca Alquran bergantung kepada pribadi masing-masing. Tidak semuanya bisa memiliki kemampuan membaca Alquran dengan waktu yang singkat. Bahkan, Nabi Saw. sendiri pernah mengatakan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud,

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ 

“dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash Ra., beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “orang yang membaca Alquran kurang dari tiga hari, tidak memahami isi (Alquran) itu.”

Ada riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. sebenarnya seringkali menngatakan bahwa membaca Alquran sebaik tidak terlalu cepat. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa paling tidak tujuh hari sekali untuk mengkhatamkannya.

Namun, bagi seseorang yang telah dianugerahi pemahaman yang dalam, sebaiknya membaca Alquran sampai ia memahami isinya. Bagi yang disibukkan dengan mengajar atau mengerjakan yang berhubungan fasilitas umum (khususnya bagi umat muslim) maka bacalah sampai tingkatan yang ia mampu. Jangan sampai pekerjaannya terganggu karena disibukkan dengan membaca Alquran. Wallahu A’lam.

Klik Muhamad Masrur Irsyadi untuk melihat tulisan-tulisannya yang lain.

BINCANG SYARIAH

Arab Saudi Siap Menampung 1,2 Juta Jamaah Haji

Mekanisme baru ini bertujuan untuk memfasilitasi persiapan haji.

Kerajaan Arab Saudi telah mengkonfirmasi, bahwa pada musim haji 2024 mendatang, kerajaan akan mampu menampung jamaah hingga 1,2 juta orang. Komite Saudi yang bertanggung jawab untuk menampung peziarah Muslim selama musim haji di kota suci Makkah telah melisensikan total 1.860 bangunan.  

 “Bangunan berlisensi dapat menampung sekitar 1,2 juta peziarah,” menurut panel pemerintah, dilansir dari Gulf News, Jumat (1/3/2024).

 Wakil Gubernur Makkah, Pangeran Saud bin Meshal baru-baru ini memperpanjang batas waktu untuk menerima aplikasi dari para pemilik bangunan untuk melisensikan mereka hingga akhir Shawwal, atau bulan ke-10 dalam kalender Islam atau 8 Mei 2024.

Jumlah bangunan untuk peziarah di Makkah, yang dikenal sebagai Ibukota Suci, diperkirakan pada akhirnya akan melebihi 5.000 orang.

Hampir 2 juta peziarah dari seluruh dunia melakukan haji di dalam dan sekitar Makkah tahun lalu, menandai kembalinya jumlah mereka ke tingkat pra-pandemi.

Arab Saudi baru-baru ini mengungkapkan aturan untuk musim haji mendatang yang dijadwalkan Juni mendatang dan menekankan persiapan awal. Menurut aturan ini, tidak ada tempat khusus yang akan dialokasikan lagi untuk negara-negara di situs suci Saudi di musim ziarah baru, kata Menteri Haji Saudi Tawfiq Al Rabiah.

Dia menjelaskan bahwa tempat untuk negara yang berbeda akan ditunjuk tergantung pada penyelesaian kontrak.

Penerbitan visa haji akan dimulai pada 1 Maret dan berakhir pada tanggal 20 Syawal, sesuai dengan 29 April.

Kedatangan peziarah haji akan dimulai pada hari pertama Dhul Qaidah, bulan Islam ke-11 atau pada 9 Mei 2024.

Mekanisme baru ini bertujuan untuk memfasilitasi persiapan haji yang dilakukan oleh umat Islam setidaknya sekali seumur hidup.

IHRAM

Anjuran Bersedakah pada Kerabat Dekat Dibanding Orang Lain

Bersedekah merupakan dalam bentuk harta dan benda termasuk perkara yang sangat terpuji dan sangat dianjurkan dalam Islam. Banyak ayat dan hadis Nabi saw yang menganjurkan untuk bersedekah, baik kerabat dekat dan orang lain. Namun dalam Islam, seseorang sangat dianjurkan untuk bersedekah pada kerabat dekatnya terlebih dahulu dibanding orang lain.

Bahkan dalam kitab al-Majmu, Imam Nawawi mengatakan bahwa anjuran bersedekah pada kerabat dekat sebelum bersedekah pada orang lain ini sudah disepakati oleh para ulama. Beliau berkata;

أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ

“Ulama sepakat bahwa bersedekah pada kerabat dekat lebih utama daripada bersedekah pada orang lain. Hadis-hadis yang menyebutkan hal tersebut sangat banyak dan terkenal.”

Lebih lanjut Imam Nawawi mengatakan bahwa anjuran bersedekah pada kerabat dekat dibanding orang lain ini berlaku baik pada kerabat dekat yang wajib dinafhkahi maupun yang tidak wajib. Misalnya anak, ibu, bapak, saudara, paman, sepupu dan seterusnya. Bahkan menurut Imam al-Baghawi, memberikan sedekah pada kerabat dekat yang wajib dinafkahi lebih utama dibanding memberikan sedekah pada orang lain.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu berikut;

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ عَلَى الْقَرِيبِ وَتَقْدِيمِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْقَرِيبُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ غَيْرُهُ قَالَ الْبَغَوِيّ دَفْعُهَا إلَى قَرِيبٍ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَفْضَلُ مِنْ دَفْعِهَا إلَى الْأَجْنَبِيِّ

“Sahabat kami (ulama Syafiiyah) berkata, ‘Tidak ada perbedaan dalam sedekah yang sunah atas kerabat dekat dan mendahulukannya dibanding orang lain antara kerabat dekat yang wajib dinafkahi dan tidak wajib. Menurut Imam al-Baghawi, memberikan sedekah pada kerabat dekat yang wajib dinafkahi lebih utama dibandingkan bersedekah pada orang lain.”

Bahkan sebagian ulama Syafiiyah, anjuran memberikan sedekah pada kerabat dekat bukan hanya sedekah sunah saja, namun juga sedekah wajib, seperti zakat, kaffarah dan lainnya. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu berkata;

قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ

“Sahabat kami (ulama Syafiiyah) berkata, ‘Disunahkan dalam sedekah sunah, zakat, kaffarah untuk diberikan pada kerabat dekat jika memang mereka adalah orang yang masuk kategori orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka lebih utama dibanding orang lain.’”

Demikian keterangan tentang anjuran bersedakah pada kerabat dekat dibanding orang lain. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Saat Usia Mencapai 40 Tahun, Apa yang Perlu Dilakukan?

Betapa banyak dari kita yang terperdaya oleh dunia dan jauh dari mengingat kematian. Kita sibuk dengan berbagai aktivitas keduniawian, detik demi detik terlena dengan gemerlap dan kesibukan dunia. Kita mengerjakan ibadah wajib sekenanya, apalagi ibadah yang sunah, akan mudah untuk ditinggalkan, toh hanya sekedar ibadah sunah. Secara tidak sadar kita pun merasa bahwa kematian itu masih jauh dari hidup kita? Bagaimana tidak, kita merasa fisik kita masih baik, akal pikiran masih belum menua, dan belum ada tanda-tanda keriput di badan. Sadar atau tidak, kita asosiasikan kematian itu dengan usia lanjut, atau ketika kita terbaring di ICU, atau ketika sudah berjalan memakai tongkat. Adapun sekarang, maka belum saatnya mati.

Kita diajarkan bahwa hidup ini butuh “jeda”, jeda untuk introspeksi diri terhadap apa yang telah kita perbuat di kehidupan ini. Jeda untuk menghisab amal perbuatan kita, menghitung-hitung dosa dan kesalahan kita, lalu berusaha untuk memperbaiki kualitas diri dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Kita menjauh sejenak dari gemerlap kehidupan dunia, untuk menyendiri, menghadap Allah Ta’ala, memohon ampunan, dan bertobat kepada-Nya. Dan di antara “jeda” itu adalah di saat usia kita telah mencapai 40 tahun. Namun, perlu diketahui bahwa “40 tahun” yang dimaksud dalam artikel ini adalah berdasarkan perhitungan Hijriyah, bukan Masehi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia pun berdoa,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15).

Imam Malik rahimahullah berkata,

أَدْرَكْتُ أَهْلَ العِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُوْنَ الدُّنْيَا ، وَيُخَالِطُوْنَ النَّاسَ ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً ، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمْ اِعْتَزَلُوْا النَّاسَ

“Aku mendapati para ulama di berbagai negeri, mereka sibuk dengan aktivitas dunia dan pergaulan dengan sesama manusia. (Namun) ketika mereka sampai di usia 40 tahun, mereka pun menjauh dari manusia.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 14: 218)

Abdullah bin Dawud rahimahullah berkata, “Kaum salaf, apabila di antara mereka ada yang sudah berumur 40 tahun, ia mulai melipat kasur, yakni tidak akan tidur lagi sepanjang malam, selalu melakukan salat, bertasbih, dan beristigfar. Lalu mereka mengejar segala ketertinggalan pada usia sebelumnya dengan amal-amal (saleh) di hari sesudahnya.” (Ihya Ulumiddin, 4: 410)

Oleh karena itu, apabila usia kita telah mencapai 40 tahun, hendaknya kita mulai sibuk dengan ibadah dan amal saleh. Karena usia 40 tahun adalah di antara tanda peringatan, bahwa kita tidak akan lama lagi hidup di dunia. Bukankah kita telah mengetahui, Nabi shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur umatku adalah antara 60 hingga 70 tahun, dan hanya sedikit yang umurnya lebih dari itu.” (HR. Ibnu Majah no. 4236, Syekh Al-Albani mengatakan: hasan shahih)

Jadi, usia 40 tahun itu ibarat pertengahan dan persimpangan jalan, yang ujungnya adalah surga atau neraka. Masa itu adalah masa untuk berbenah memperbaiki diri, bukan sebaliknya, justru semakin berambisi mengejar dunia, semakin sibuk hura-hura dan foya-foya, lalai dalam beribadah, dan tenggelam dalam hal-hal lainnya yang tidak bermanfaat kebaikan bagi kehidupan akhiratnya.

Usia 40 tahun ini juga ibarat ujian untuk memperbaiki diri. Apabila lulus, maka insya Allah hari-hari berikutnya akan dimudahkan untuk beramal saleh. Apabila tidak lulus, maka semakin tua akan semakin menjadi (dalam maksiat), kecuali yang Allah Ta’ala berikan taufik dan hidayah. Sampai-sampai Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dan amal kebaikannya belum mengalahkan keburukannya, maka hendaknya ia bersiap-siap ke neraka.” (Bahrud Dumuu’, hal. 57)

Apabila belum juga bertobat dan terus menumpuk dosa, bisa jadi dampak dari dosa tersebut akan segera dia rasakan, cepat atau lambat. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

لا تغتر إذا لم تر أثر ذنبك في حينه .فقد تجد أثره بعد أربعين سنة

“Janganlah tertipu ketika engkau tidak melihat efek dosa pada saat engkau melakukannya. Terkadang efek dosa tersebut engkau rasakan setelah 40 tahun.” (Ad-Daa’ wad Dawa’, hal. 130)

Semoga Allah Ta’ala mengampuni segala dosa dan kesalahan kita, dan memberikan kita taufik untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya.

***

@Kantor Pogung, 11 Sya’ban 1445/ 21 Februari 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/91969-saat-usia-mencapai-40-tahun-apa-yang-perlu-dilakukan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Ternyata Ini Tujuan Nabi Muhammad SAW Rutin Tahajud

Nabi Muhammad rutin mengerjakan sholat Tahajud.

Alquran menjelaskan, supaya Allah SWT mengangkat kita ke tempat yang terpuji maka dianjurkan untuk melaksanakan sholat Tahajud. Sebagaimana diketahui, sholat Tahajud adalah sholat tambahan bagi Nabi Muhammad SAW dan bagi umat Islam sholat Tahajud adalah sunah.

Surah Al Isra’ ayat 79 dan tafsirnya menjelaskan keutamaan sholat Tahajud yang biasa dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Salah satu tujuan Rasulullah SAW rajin Tahajud agar beliau diangkat oleh Allah SWT ke tempat terpuji sehingga bisa memberikan syafaat kepada umatnya.

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا

Pada sebagian malam lakukanlah sholat Tahajud sebagai (suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji (QS Al Isra’: 79)

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, ayat ini memerintahkan Rasulullah dan kaum Muslimin agar bangun di malam hari untuk mengerjakan sholat Tahajud. Ayat ini merupakan ayat yang pertama kali memerintahkan Rasulullah mengerjakan sholat malam sebagai tambahan atas sholat yang wajib.

Sholat malam ini diterangkan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Bahwasanya Nabi SAW ditanya orang, “Sholat manakah yang paling utama setelah sholat yang diwajibkan (sholat lima waktu).” Rasulullah SAW menjawab, “Sholat Tahajud.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Dari hadis-hadis Nabi yang sahih, yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW bangun untuk mengerjakan sholat Tahajud, setelah beliau tidur. Kebiasaan Nabi ini dapat dijadikan dasar hukum bahwa sholat tahajud itu sunat dikerjakan oleh seseorang, setelah tidur beberapa saat di malam hari, kemudian pada pertengahan malam hari ia bangun untuk sholat Tahajud.

Kemudian, Allah SWT menerangkan bahwa hukum sholat Tahajud itu adalah sebagai ibadah tambahan bagi Rasulullah di samping sholat lima waktu. Oleh karena itu, hukumnya bagi Rasulullah SAW adalah wajib, sedang bagi umatnya adalah sunat. 

Dalam ayat ini, diterangkan tujuan sholat tahajud bagi Nabi Muhammad adalah agar Allah SWT dapat menempatkannya pada tempat yang terpuji (maqaman mahmudan). Yang dimaksud dengan maqaman mahmudan adalah syafaat Rasulullah SAW pada hari kiamat. Pada hari itu manusia mengalami keadaan yang sangat susah yang tiada taranya. Yang dapat melapangkan dan meringankan manusia dari keadaan yang sangat susah itu hanyalah permohonan Nabi Muhammad SAW kepada Tuhannya, agar orang itu dilapangkan dan diringankan dari penderitaannya.

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata, “Maksud maqaman mahmudan dalam ayat ini adalah syafaatku.” (hadis Hasan Sahih)

Kebanyakan para ahli berkata, “Yang dimaksud dengan maqaman mahmudan itu adalah suatu kedudukan yang dipergunakan oleh Rasulullah SAW pada hari kiamat untuk memberi syafaat kepada manusia, agar Allah SWT meringankan kesusahan dan kesulitan yang mereka alami pada hari itu.”

Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, dan segolongan ahli hadis, “Allah mengumpulkan manusia pada suatu daratan yang luas pada hari kiamat, mereka semua berdiri dan tidak seorang pun yang berbicara pada hari itu kecuali dengan izin-Nya. Orang-orang yang mula-mula diseru namanya adalah Muhammad, maka Muhammad berdoa kepada-Nya. Inilah yang dimaksud dengan maqaman mahmudan dalam ayat ini.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membaca doa setelah selesai mendengar azan, ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Yang memiliki seruan yang sempurna dan sholat yang dikerjakan ini, berilah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan dan angkatlah ia kepada maqaman mahmudan (kedudukan yang terpuji) yang telah Engkau janjikan kepadanya,’ maka dia memperoleh syafaatku.”

Rasulullah SAW berkata, “Aku adalah pemimpin anak cucu Adam pada hari kiamat. Aku tidak membanggakan diri, dan di tanganku lah terpegang liwa’ul hamdi (bendera pujian) aku tidak membanggakan diri. Tidak ada seorang nabi pun pada hari itu, sejak dari Adam sampai nabi-nabi yang lain, kecuali berada di bawah benderaku itu, aku adalah orang yang pertama kali keluar dari bumi, dan aku tidak membanggakan diri.

Manusia saat itu ditakutkan oleh tiga hal yang menakutkan. Kemudian mereka mendatangi Adam. Mereka berkata, “Kamu adalah bapak kami, tolonglah kami kepada Tuhanmu.” Adam menjawab, “Saya punya dosa yang menyebabkan saya diturunkan ke bumi. Datanglah kepada Nuh!” maka mereka mendatangi Nuh. (setelah mereka mengadukan masalahnya kepada Nuh), Nuh berkata, “Saya telah mendoakan penghuni bumi sehingga mereka dihancurkan. Tetapi datanglah kepada Ibrahim. Maka mereka mendatangi Ibrahim. Ibrahim kemudian menyuruh mereka mendatangi Musa. Musa berkata, “Saya pernah membunuh orang. Datanglah kepada Isa.” Isa kemudian berkata, “Saya pernah disembah selain Allah. Datang sajalah kepada Muhammad.”

Maka mereka mendatangi aku. Aku kemudian pergi bersama mereka, lalu aku pegang lingkaran pintu surga, kemudian aku tarik. Kemudian aku ditanya, “Siapa itu?” aku menjawab, “Muhammad.” Kemudian mereka membukakan pintu untukku, dan berkata, “Selamat datang.” Lalu aku tersungkur bersujud. Kemudian Allah mengilhami aku untuk memuji, bertahmid, dan mengagungkan-Nya. Lalu aku diperintah, “Angkatlah kepalamu, mintalah! Kamu akan diberi. Mintalah hak syafaat, maka kamu akan diizinkan untuk memberi syafaat. Dan berkatalah, akan didengar perkataanmu. Itulah maqam yang terpuji, yang difirmankah Allah, “Semoga Tuhanmu memberikan maqam yang terpuji kepadamu.” (Riwayat at-Tirmidzi)

Dari ayat dan hadis-hadis di atas dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW dengan mengerjakan sholat tahajud akan diangkat oleh Allah SWT ke tempat dan kedudukan yang dipuji oleh umat manusia, para malaikat, dan Allah SWT, yaitu kedudukan untuk memintakan syafaat bagi umat manusia pada waktu berada di Padang Mahsyar dengan izin Allah.

Umat manusia memang berhak mendapat syafaat karena amal saleh dan budi pekerti mereka semasa di dunia, yaitu diampuni dosanya oleh Tuhan atau dinaikkan derajatnya. Pada firman Allah yang lain diterangkan bahwa bangun di tengah malam untuk sholat tahajud dan membaca Alquran dengan khusyuk akan dapat membuat iman jadi kuat dan membina diri pribadi.

Allah SWT berfirman, “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk sholat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (Yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Alqur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa), dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan.” (QS Al-Muzzammil: 1-6)

RAMADHAN

Puasa Ramadhan dan Transformasi Umat

Puasa tidak terbatas simpanan pahala di akhirat, tetapi berpengaruh bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat

Oleh: Fahmi Salim

UMAT Islam seluruh dunia sebentar lagi akan melaksanakan ibadah shaum (bulan Ramadhan). Allah berfirman ;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS: al-Baqarah: 183).

Shaum dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi Al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha, shaum adalah menahan diri dari dorongan nafsu, bukan semata-mata menahan. Sedangkan menurut syara’, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam.

Puasa bertujuan mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan berfungsi mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram. (lihat Tafsir Al-Manar, vol.2/114-115).

Dalam perspektif Islam, kebangkitan umat tidak melulu selalu dikaitkan dengan kesuksesan jihad fisik dan capaian pembangunan fisik serta sumber daya umat baik alam maupun manusianya.

Justru setiap tahun, Allah sediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim.

Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan umat muslim harus benar-benar fokus ke arah pencapaian tujuan ibadah tersebut yaitu “agar kamu bertakwa”.

Kita tak boleh hanya berhenti sebatas menjaga aturan-aturan lahiriah puasa berupa larangan makan, minum dan berhubungan suami-istri dari Subuh hingga waktu Maghrib tiba.

Namun, kita harus berupaya maksimal mewujudkan tujuan-tujuan disyariatkannya (maqasid syariah) ibadah puasa tersebut yang disimpulkan dalam kalimat ‘la’allakum tattaqun’.

Apa saja yang harus kita lakukan untuk mewujudkan tujuan takwa dari ibadah puasa?

Pertama, kita harus memfungsikan tujuan puasa dalam kehidupan keseharian kita. Caranya dengan memaksimalkan fungsi ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah yang melekat).

Jika muslim sanggup mengalahkan syahwat dan hawa nafsunya selama satu bulan penuh karena taat dan tunduk kepada perintah Allah ta’ala, maka kebiasaan positif itu diharapkan akan melahirkan akhlak muraqabah dan rasa malu terhadap Allah.

Ketika di hari biasa ketika kita dihadapkan pada pilihan halal dan haram baik dalam makanan dan minuman, jenis profesi, muamalah ekonomi, sosial masyarakat dan kehidupan bernegara.

Kedua, manfaat puasa tidak terbatas pada simpanan pahala di akhirat saja, tetapi juga berpengaruh positif bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat.

Muslim yang berakhlak ‘puasa’, tak akan berani menipu dan memanipulasi anggaran. Juga tak mempan dibujuk rayuan sogok dan korupsi.

Ia juga tak akan berani berkilah untuk berkelit dari kewajiban membayar zakat sebagai tanggung jawab sosial kepada fakir miskin dan tak akan doyan makan uang riba.

Muslim yang bertakwa, pada saat ia lalai oleh maksiat, maka dia tidak akan terlena terlalu lama dan cepat bertaubat kepada Allah seperti terungkap dalam firman-Nya;

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya.” (QS: Al-A’raf: 201).

Allah berfirman yang maknanya;

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin…” (QS: Al-Baqarah: 184).

Ayat ini menyatakan bahwa puasa Ramadhan itu hanya dilakukan selama beberapa hari saja (sedikit) jika dibandingkan jumlah hari dalam satu tahun, 8.3% dari total jumlah hari setahun.

Selain itu pula, ayat ini memberikan ruang keringanan (rukhsah) bagi tiga golongan. Dua golongan yaitu orang yang sakit dan dalam perjalanan (musafir) dibolehkan berbuka puasa, dengan ketentuan harus mengganti puasanya itu di hari lain di luar Ramadhan (qadha’).

Golongan orang-orang yang berat menjalankannya karena sudah tua renta, penyakit menahun, termasuk para pekerja buruh berat yang bekerja sepanjang tahun, maka mereka diberikan keringanan tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar ‘fidyah’, yaitu memberi makan satu orang miskin pada setiap harinya.

Itu semua diwajibkan karena betapa pentingnya puasa Ramadhan ini bagi setiap muslim. Namun meski begitu, Islam adalah agama realistis yang selalu memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang menimpa setiap penganutnya.

Dengan adanya beberapa keringanan tersebut maka terbukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan solusi bagi semua persoalan umatnya. Setelah itu Allah ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS: Al-Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwa beberapa hari tertentu yang diwajibkan berpuasa itu adalah hari-hari bulan Ramadhan. Sekaligus menyiratkan bahwa bulan yang khusus diwajibkan berpuasa itu adalah bulan turunnya Al-Quran.

Mengapa Allah khususkan bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) dengan ibadah puasa yang sangat spesial?

Imam Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan bahwa dipilihnya waktu kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) ini adalah dalam rangka Allah ta’ala mengingatkan kepada kita atas nikmat-Nya berupa turunnya Al-Quran yang menjadi petunjuk dan pedoman hidup seluruh umat.

Cara kita mensyukuri nikmat turunnya Al-Quran itu dari Allah ta’ala adalah dengan berpuasa sepanjang bulan tersebut pada saat Allah ta’ala menurunkan Al-Quran.

Salah satu manifestasi rasa syukur kita atas nikmat-Nya itu adalah dengan memaksimalkan pengamalan petunjuk Al-Quran pada momentum turunnya ke dunia di bulan Ramadhan.

Kita pun harus menjadikan puasa sarana meraih ketakwaan yang mewujud dalam akhlak dan amal kita dengan menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya petunjuk bagi kehidupan manusia.

Jika tidak demikian, maka kita belum dapat memfungsikan nikmat-Nya itu dan belum dapat mensyukurinya dengan benar (lihat Al-Manar, vol.2/130)

Sedangkan menurut Syeikh Mahmud Syaltut, mantan Syekhul Azhar Mesir, “Karena Al-Quran berfungsi secara kuat untuk menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh, maka cara kita mensyukurinya harus dengan ibadah yang sepadan dengan nikmat itu dalam makna dan dampaknya, yaitu puasa yang juga berfungsi menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh”. (lihat Al-Islam Aqidatan wa Syari’atan, hlm.111)

Oleh sebab itulah, ibadah puasa Ramadhan harus diisi dengan segala aktifitas yang menambah kualitas bacaan, pemahaman dan pengamalan serta penghayatan kita terhadap kandungan Al-Quran.

Komitmen kita terhadap penegakan syariat Islam yang digali dari pandangan hidup Al-Quran dan juga sunnah Rasul, harus terus dipelihara bahkan ditingkatkan selama Ramadhan.

Karena Al-Quran adalah peta jalan (road map) kebangkitan umat Islam di dunia untuk meraih kejayaan (izzah), maka sudah seharusnya proses pembelajaran dan program pemberantasan buta aksara dan buta makna Al-Quran harus semakin digalakkan dan ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.

Hanya dengan spirit seperti inilah, kita dapat memaknai Ramadhan dan puasa dengan benar demi tegaknya kejayaan Islam dan umat muslim dalam manifestasi kualitas khairu ummah (umat terbaik) yang dilahirkan oleh ajaran kitab suci untuk memimpin peradaban manusia menuju kebaikan dan keselamatan.

Rangkaian ayat tentang shaum ini ditutup dengan firman Allah;

وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Hal ini ditekankan agar kita senantiasa optimal menunaikan puasa dengan sempurna harinya. Oleh sebab itulah, kita diperintahkan untuk mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yaitu hukum-hukum yang bermanfaat bagi perbaikan kualitas diri setiap hamba Allah.

Di antaranya kewajiban puasa dan kewajiban menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup. Dan karenanya kita wajib mensyukuri Allah atas nikmat petunjuk-Nya tersebut. Wallahu A’lam.

Makan roti jangan berlari;

Kalaulah jatuh kita yang rugi.

Bersihkan hati sucikan diri;

Sambut Ramadhan sebentar lagi.

Penulis Ketua Bidang Tabligh Global dan Kerja Sama PP Muhammadiyah

HIDAYATULLAH

MUI Imbau Konten Kreator Tak Permainkan Agama

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau para konten kreator agar tidak mempermainkan agama. Sebab, mempermainkan agama masuk ke wilayah penodaan dan pelecehan terhadap ajaran agama.

Hal tersebut disampaikan, Ketua MUI Bidang Pengkajian dan Penelitian Prof Utang Ranuwijaya untuk menanggapi viralnya Samsuddin alias Gus Samsudin yang membuat konten dan diunggah ke akun Youtube Mbah Den (Sariden). Dalam konten buatan Gus Samsudin itu, ditampilkan orang-orang memakai sorban di kepalanya seperti yang biasa dipakai para ulama.

Ada juga wanita yang memakai hijab dan cadar dalam konten tersebut. Dalam konten tersebut, orang yang memakai sorban mengatakan kepada orang-orang (jamaahnya) bahwa bertukar pasangan atau bertukar istri itu hukumnya boleh asal suka sama suka serta tidak ada paksaan.

“Kalau senang sama senang, walau bukan suami istri, bebas. Di sini tukar pasangan juga boleh, asal suka-sama suka. Makanya di agama lain tidak ada,” kata seorang yang memerankan kiai dalam konten itu.

Prof Utang menegaskan, mestinya siapapun yang akan membuat konten itu berhati-hati jangan sampai masuk ke wilayah yang terkait dengan akidah dan syariah khususnya ibadah.

“Kalau masuk ke wilayah itu seperti mengolok-olok agama, mempermainkan agama, dan itu masuk ke wilayah penodaan atau pelecehan terhadap ajaran agama, mestinya para pembuat konten menjauhkan diri dari konten seperti itu,” kata Prof Utang dikutip dari laman Republika.co.id, Kamis (28/3/2024).

Prof Utang mengatakan, sekarang ini membuat konten sudah menjadi tren masyarakat karena media sosial luar biasa perkembangannya. MUI tidak menghalangi siapapun untuk membuat konten soal yang terkait dengan kehidupan muamalah dengan kehidupan sosial.

“Tapi (kontennya) jangan sampai masuk ke wilayah aqidah dan syariah,” ujar Prof Utang.

ISLAMKAFFAH

Ekspor Kurma Arab Saudi Meningkat 14 Persen

Jumlah negara pengimpor meningkat menjadi 119 negara.

Pusat Nasional Kurma Arab Saudi (NCPD) mengumumkan pertumbuhan 14 persen yang signifikan dalam nilai ekspor kurma Saudi pada 2023. Peningkatan jumlah ekspor ini mencapai 1.462 miliar riyal saudi atau Rp 6,12 triliun dari tahun sebelumnya.

Dilansir dari Saudi Gazette, Sabtu (2/3/2024), ini menandai ekspansi yang mengesankan dalam jejak global kurma Saudi. Jumlah negara pengimpor meningkat menjadi 119 negara.

Sejak 2016, total nilai ekspor, termasuk produk kurma telah melonjak 152,5 persen dari 579 juta riyal saudi menjadi 1.462 miliar riyal saudi pada 2023, menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) yang kuat sebesar 12,3 persen.

Kepala Eksekutif NCPD Mohammed Alnuwairan, mengaitkan kesuksesan ini dengan upaya gabungan kepemimpinan, produsen kurma, eksportir, dan lembaga publik. Inisiatif kolaboratif ini telah mencakup partisipasi dalam pameran lokal dan internasional, mengatur misi bisnis, merampingkan prosedur ekspor, dan terlibat dengan sektor swasta di bawah strategi kohesif untuk meningkatkan ekspor tanggal.

Pasar ekspor untuk tanggal Saudi telah melihat pertumbuhan yang luar biasa, khususnya di China. Ekspor ke China melonjak sebesar 121 persen pada 2023, dibandingkan dengan 2022. Prancis juga melihat peningkatan yang signifikan sebesar 16 persen, sementara Singapura dan Korea mengalami pertumbuhan yang substansial dengan impor masing-masing meningkat sebesar 86 persen dan 24 persen.

Yang mendasari keberhasilan ini adalah peningkatan yang signifikan dalam kualitas dan produksi produk kurma olahan, ditingkatkan oleh upaya pemasaran lokal dan internasional.

Alnuwairan menekankan tujuan ambisius NCPD, dalam kemitraan dengan sektor swasta, untuk memposisikan tanggal Saudi sebagai pilihan utama bagi konsumen di seluruh dunia. Strategi untuk mencapai tujuan ini termasuk memperluas ekspor nasional produk kurma dan kurma, meningkatkan praktik pertanian dan industri untuk kualitas yang lebih baik, menyediakan layanan pemasaran yang vital dan informasi industri, dan mendukung sektor kurma melalui berbagai inisiatif.

IHRAM