Puasa Ramadhan dan Transformasi Umat

Puasa tidak terbatas simpanan pahala di akhirat, tetapi berpengaruh bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat

Oleh: Fahmi Salim

UMAT Islam seluruh dunia sebentar lagi akan melaksanakan ibadah shaum (bulan Ramadhan). Allah berfirman ;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS: al-Baqarah: 183).

Shaum dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi Al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha, shaum adalah menahan diri dari dorongan nafsu, bukan semata-mata menahan. Sedangkan menurut syara’, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam.

Puasa bertujuan mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan berfungsi mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram. (lihat Tafsir Al-Manar, vol.2/114-115).

Dalam perspektif Islam, kebangkitan umat tidak melulu selalu dikaitkan dengan kesuksesan jihad fisik dan capaian pembangunan fisik serta sumber daya umat baik alam maupun manusianya.

Justru setiap tahun, Allah sediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim.

Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan umat muslim harus benar-benar fokus ke arah pencapaian tujuan ibadah tersebut yaitu “agar kamu bertakwa”.

Kita tak boleh hanya berhenti sebatas menjaga aturan-aturan lahiriah puasa berupa larangan makan, minum dan berhubungan suami-istri dari Subuh hingga waktu Maghrib tiba.

Namun, kita harus berupaya maksimal mewujudkan tujuan-tujuan disyariatkannya (maqasid syariah) ibadah puasa tersebut yang disimpulkan dalam kalimat ‘la’allakum tattaqun’.

Apa saja yang harus kita lakukan untuk mewujudkan tujuan takwa dari ibadah puasa?

Pertama, kita harus memfungsikan tujuan puasa dalam kehidupan keseharian kita. Caranya dengan memaksimalkan fungsi ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah yang melekat).

Jika muslim sanggup mengalahkan syahwat dan hawa nafsunya selama satu bulan penuh karena taat dan tunduk kepada perintah Allah ta’ala, maka kebiasaan positif itu diharapkan akan melahirkan akhlak muraqabah dan rasa malu terhadap Allah.

Ketika di hari biasa ketika kita dihadapkan pada pilihan halal dan haram baik dalam makanan dan minuman, jenis profesi, muamalah ekonomi, sosial masyarakat dan kehidupan bernegara.

Kedua, manfaat puasa tidak terbatas pada simpanan pahala di akhirat saja, tetapi juga berpengaruh positif bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat.

Muslim yang berakhlak ‘puasa’, tak akan berani menipu dan memanipulasi anggaran. Juga tak mempan dibujuk rayuan sogok dan korupsi.

Ia juga tak akan berani berkilah untuk berkelit dari kewajiban membayar zakat sebagai tanggung jawab sosial kepada fakir miskin dan tak akan doyan makan uang riba.

Muslim yang bertakwa, pada saat ia lalai oleh maksiat, maka dia tidak akan terlena terlalu lama dan cepat bertaubat kepada Allah seperti terungkap dalam firman-Nya;

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya.” (QS: Al-A’raf: 201).

Allah berfirman yang maknanya;

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin…” (QS: Al-Baqarah: 184).

Ayat ini menyatakan bahwa puasa Ramadhan itu hanya dilakukan selama beberapa hari saja (sedikit) jika dibandingkan jumlah hari dalam satu tahun, 8.3% dari total jumlah hari setahun.

Selain itu pula, ayat ini memberikan ruang keringanan (rukhsah) bagi tiga golongan. Dua golongan yaitu orang yang sakit dan dalam perjalanan (musafir) dibolehkan berbuka puasa, dengan ketentuan harus mengganti puasanya itu di hari lain di luar Ramadhan (qadha’).

Golongan orang-orang yang berat menjalankannya karena sudah tua renta, penyakit menahun, termasuk para pekerja buruh berat yang bekerja sepanjang tahun, maka mereka diberikan keringanan tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar ‘fidyah’, yaitu memberi makan satu orang miskin pada setiap harinya.

Itu semua diwajibkan karena betapa pentingnya puasa Ramadhan ini bagi setiap muslim. Namun meski begitu, Islam adalah agama realistis yang selalu memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang menimpa setiap penganutnya.

Dengan adanya beberapa keringanan tersebut maka terbukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan solusi bagi semua persoalan umatnya. Setelah itu Allah ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS: Al-Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwa beberapa hari tertentu yang diwajibkan berpuasa itu adalah hari-hari bulan Ramadhan. Sekaligus menyiratkan bahwa bulan yang khusus diwajibkan berpuasa itu adalah bulan turunnya Al-Quran.

Mengapa Allah khususkan bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) dengan ibadah puasa yang sangat spesial?

Imam Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan bahwa dipilihnya waktu kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) ini adalah dalam rangka Allah ta’ala mengingatkan kepada kita atas nikmat-Nya berupa turunnya Al-Quran yang menjadi petunjuk dan pedoman hidup seluruh umat.

Cara kita mensyukuri nikmat turunnya Al-Quran itu dari Allah ta’ala adalah dengan berpuasa sepanjang bulan tersebut pada saat Allah ta’ala menurunkan Al-Quran.

Salah satu manifestasi rasa syukur kita atas nikmat-Nya itu adalah dengan memaksimalkan pengamalan petunjuk Al-Quran pada momentum turunnya ke dunia di bulan Ramadhan.

Kita pun harus menjadikan puasa sarana meraih ketakwaan yang mewujud dalam akhlak dan amal kita dengan menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya petunjuk bagi kehidupan manusia.

Jika tidak demikian, maka kita belum dapat memfungsikan nikmat-Nya itu dan belum dapat mensyukurinya dengan benar (lihat Al-Manar, vol.2/130)

Sedangkan menurut Syeikh Mahmud Syaltut, mantan Syekhul Azhar Mesir, “Karena Al-Quran berfungsi secara kuat untuk menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh, maka cara kita mensyukurinya harus dengan ibadah yang sepadan dengan nikmat itu dalam makna dan dampaknya, yaitu puasa yang juga berfungsi menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh”. (lihat Al-Islam Aqidatan wa Syari’atan, hlm.111)

Oleh sebab itulah, ibadah puasa Ramadhan harus diisi dengan segala aktifitas yang menambah kualitas bacaan, pemahaman dan pengamalan serta penghayatan kita terhadap kandungan Al-Quran.

Komitmen kita terhadap penegakan syariat Islam yang digali dari pandangan hidup Al-Quran dan juga sunnah Rasul, harus terus dipelihara bahkan ditingkatkan selama Ramadhan.

Karena Al-Quran adalah peta jalan (road map) kebangkitan umat Islam di dunia untuk meraih kejayaan (izzah), maka sudah seharusnya proses pembelajaran dan program pemberantasan buta aksara dan buta makna Al-Quran harus semakin digalakkan dan ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.

Hanya dengan spirit seperti inilah, kita dapat memaknai Ramadhan dan puasa dengan benar demi tegaknya kejayaan Islam dan umat muslim dalam manifestasi kualitas khairu ummah (umat terbaik) yang dilahirkan oleh ajaran kitab suci untuk memimpin peradaban manusia menuju kebaikan dan keselamatan.

Rangkaian ayat tentang shaum ini ditutup dengan firman Allah;

وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Hal ini ditekankan agar kita senantiasa optimal menunaikan puasa dengan sempurna harinya. Oleh sebab itulah, kita diperintahkan untuk mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yaitu hukum-hukum yang bermanfaat bagi perbaikan kualitas diri setiap hamba Allah.

Di antaranya kewajiban puasa dan kewajiban menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup. Dan karenanya kita wajib mensyukuri Allah atas nikmat petunjuk-Nya tersebut. Wallahu A’lam.

Makan roti jangan berlari;

Kalaulah jatuh kita yang rugi.

Bersihkan hati sucikan diri;

Sambut Ramadhan sebentar lagi.

Penulis Ketua Bidang Tabligh Global dan Kerja Sama PP Muhammadiyah

HIDAYATULLAH

Inilah Tradisi Ramadhan Para Khalifah

Para pemimpin Muslim memuliakan bulan Ramadhan dengan berbagai aktivitas. Apa contohnya?

BAGI umat Islam, kehadiran bulan Ramadhan merupakan anugerah. Hal itu dikarenakan banyaknya keutamaan di dalam bulan turunnya Al-Quran tersebut.

Sangat layak jika kaum Muslimin menyambut datangnya bulan mulia itu dengan penuh suka-cita. Juga mengisinya dengan aktivitas yang mulia.

Hal ini dilakukan mulai dari rakyat jelata, hingga para penmimpinnya.  Para pemimpin Muslim yang bertanggung jawab atas terjaganya ajaran agama  menyambut bulan mulia dengan berbagai macam aktivitas.

Bagi mereka, Ramadhan adalah bulan yang harus diberi prioritas perhatian.

Kajian Keilmuan

Salah satu kegiatan di istana yang semarak di bulan Ramadhan adalah kajian ilmu-ilmu keislaman. Hal ini misalnya digalakkan oleh Khalifah al-Qadir Billah, salah satu penguasa di era Bani Abbasiyah.

Khalifah al Qadir Billah dikenal sebagai pemimpin yang mencintai ilmu. Dalam fiqih, al Qadir yang bermazhab Asy-Syafi’i berguru kepada seorang ulama besar di masanya, Abu Bisyr Ahmad al-Harawi. (Styar A’lam An-Nubala’, 15/ 127).

Tidak cuma berguru

Khalifah al-Qadir Billah juga manpu menghasilkan beberapa karya. Di antaranya adalah kitab yang berisi tentang berita wafatnya Rasulullah ﷺ.

Khalifah juga menulis kitab bantahan terhadap kaum Mu’tazilah serta kitab yang menerangkan perselisihan antara Abdul Azizi dan Bisyr al-Marisi. Ketiga kitab tersebut biasa dibacakan oleh Abu al-Hasan bin al-Hajib di hadapan para ulama dan para qadhi di istana Kekhalifahan Baghdad ketika bulan Ramadhan. (Tarikh

Islam, 28/ 268).

Kitab-kitab itu juga dibaca di Istana Malik al-Asyraf yang berada di Syam. Kala itu yang menjadi penasihat istana adalah Syeikh Syamsuddin, yang merupakan cucu dari Ibnu al-Jauzi.

Nasihat-nasihat Syeikh Syamsuddin memang amat dirindukan oleh umat ketika itu. Bahkan ketika ia menyampaikan nasihat di atas mimbar, jamaah yang hadir akan terbawa suasana hingga menangis tersedu-sedu dan berdiri dari majelis dengan mata sembab.

Majelis tersebut biasanya digelar setiap hari Sabtu di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan.  Suatu saat, Syeikh Syamsuddin masuk ke istana Malik al-Asyraf kemudian memintanya untuk membaca kitab Maqasid ash-Shalat karya Imam Izuddin bin Abdissalam.

Kitab itu dibaca hingga selesai dan ia pun memujinya. Syeikh Syamsuddin kemudian menyampaikan kepada khalayak agar kitab tersebut dijadikan bahan bacaan.  Setelah itu, kitab Maqashid ash-Shalat pun tersebar dan banyak disalin. (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, 8/239).

Sya’ban bin Husain Qalawun yang berkuasa di Mesir juga menginisiasi pembacaan kitab selama bulan Ramadhan.  Misalnya yang dibaca adalah

Shahih al-Bukhari, dimulai pada bulan Rajab, berlanjut hingga Sya’ban, diakhiri di bulan Ramadhan. Pembacaan kitab hadits yang masyhur itu juga dihadiri oleh sultan, para ulama, serta para pejabat tings pemerintahan di kala itu. (an

Nujum az-Zahirah, 14/267).

Pambacaan Shahih al-Bukhari dilaksanakan di istana yang berada di dalam

Qal’ah Jabal (Benteng Gunung Bangunan ini sebelumnya dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi di puncak Gunung Muqaththam. (Tarikh al- Khulafa, hal 430).

Tradisi di Istana Utsmaniyah

Di masa Daulah Utsmaniyah, tibanya bulan Ramadhan disambut oleh istana dengan berbagai macam kegiatan mulia.  Sultan yang berkuasa kala itu mengundang para duta besar negara-negara lainnya ke istana dalam rangka menyampaikan ucapan selamat atas datangnya bulan mulia.

Pihak istana juga mengundang masyarakat, baik yang Muslim mapun yang bukan, untuk berbuka puasa bersama di istana.  Diharapkan dengan langkah

Di istana Utsmaniyah juga didirikan shalat tarawih yang dihadiri oleh sultan.

Sedangkan di waktu akhir Ramadhan, maka sultan, para menteri, serta para pejabat tinggi pemerintahan menghadiri shalat tarawih di Masjid Aya Shofiyah. Pihak istana juga memerintahkan agar dipasang lampu-lampu berbagai warna di jalanan-jalan untuk menyemarakkan suasana Ramadhan.

Di masa berkuasanya Sultan Musthafa III, diadakan tradisi baru semasa bulan

Ramadhan, yakni pembacaan kitab tafsir karya lmam al-Baidhawi yang dikuti oleh sultan. Tatsir yang satu ini merupakan kitab yang dipandang istimewa oleh para penganut Mazhab Hanafi, yang merupakan mazhab fiqih resmi

Utsmaniyah saat itu.

Tradisi pembacaan tafsir al-Baldhawi ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203). Pembacaan tafsir tidak mesti berurutan sesual urutan surat-surat pada mushaf. Pada tahun 1785 M, pembacaan tafsir dimulai dari Surat al-Fatihah.

Sedangkan pada tahun 1755 M, pembacaan dimulai dari Surat al- Isra’ hingga berlangsung sampai Ramadhan tahun 1778. Sedangkan pada Ramadhan tahun 1779-1784, dibaca Surat al-Fath. (Madzhahir al-Hadharah min ats-T’saqafah al-Utsmaniyah, hal 88).

Bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan bagi sultan untuk bertemu rakyat secara langsung dalam jamuan buka puasa bersama. Sebagai timbal balik, hadirin kemudian mendoakan kebaikan untuk sultan. Tradisi ini disebut sebagai masabih murjaniyah.

Adapun para menteri dan pejabat lainnya, mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadhan.Masyarakat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya.

Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan Al-Qur an yang merdu. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203, 204).*/Thoriq, Suara Hidayatultah

HIDAYATULLAH

Hukum Puasa Tua Renta

Hukum puasa bagi orang tua yang sudah renta dan tidak mampu berpuasa karena alasan kesehatan atau kelemahan fisik adalah diizinkan untuk tidak berpuasa. Hal ini didasarkan pada prinsip kesehatan dan kepentingan kemanusiaan dalam agama Islam.

Dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan fisik dipandang sebagai suatu prioritas yang sangat penting. Oleh karena itu, jika seseorang tidak mampu berpuasa karena alasan kesehatan atau kelemahan fisik, dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di kemudian hari jika mampu.

Pada kasus ini, seseorang yang tidak mampu berpuasa karena alasan kesehatan atau kelemahan fisik harus membayar fidyah sebagai gantinya. Fidyah adalah membayar sejumlah uang atau memberi makan kepada orang miskin untuk menggantikan puasa yang tidak dapat dilakukan.

Namun demikian, keputusan untuk tidak berpuasa harus didiskusikan dengan dokter atau ahli kesehatan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan memang tidak memungkinkan untuk berpuasa.

Sementara itu, di dalam kitab Bulughul Maram, imam Ibnu Hajar al Asqalani mengutip hadis mauquf (tetapi marfu secara hukum) dari Ibnu Abbas yang lebih gamblang menjelaskan tentang dispensasi bagi orang yang sudah tua renta untuk tidak berpuasa sekaligus solusi penggantinya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: (( رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً، وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ )) رَوَاهُ الدَّارُ قُطْنِيْ وَالْحَاكِمُ وَصّحَّحَاهُ  .

“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “diberikan rukhsoh/dispensasi bagi orang tua renta untuk tidak berpuasa dan ia harus memberi makan satu orang miskin setiap hari, dan tidak ada qadla’ puasa baginya.”( HR. Imam al Daru Quthni dan Imam al Hakim)

Membayar Fidyah Puasa

Secara hukum puasa, seseorang yang telah tua renta diperbolehkan untuk tidak puasa, akan tetapi dianjurkan membayar fidyah. Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’I, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’ gandum. (Jika 1 sha’ setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha’ berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah berupa beras.

Pada sisi lain, kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.

Dikutip dari website Baznas, cara membayar fidyah puasa dengan uang versi Hanafiyah adalah memberikan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma atau anggur seberat 3,25 kilogram untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya.

Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta Raya dan Sekitarnya, ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp60.000,-/hari/jiwa.

Demikian penjelasan hukum puasa tua renta. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Apakah Musafir Sebaiknya Puasa atau Mengambil Rukhsah?

Apakah musafir sebaiknya puasa atau mengambil rukhsah? Ini menjadi persoalan penting menjelang pulang kampung atau mudik. Nah ini penjelasannya.

Saat berpuasa di bulan Ramadhan, seorang muslim boleh membatalkan puasanya jika memenuhi beberapa syarat untuk mendapat rukhsah ini. Seperti sakit atau bepergian jauh.

Namun saat ini, zaman modern dan moda transportasi sudah canggih, apakah tetap boleh membatalkan puasa saat perjalanan melebihi 80 kilometer? Bagi musafir, apakah sebaiknya tetap melaksanakan puasa atau mengambil rukhsah untuk batal saja?

Keutamaan rukhsah dijelaskan dalam hadis yang menyebutkan bahwa Allah mencintai hambaNya yang menjalankan rukhsah. Kecintaan tersebut setara dengan kebencian Allah pada hambaNya yang berbuat maksiat.

Dalam sebuah hadis Nabi riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu,

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الله يحب أن تؤتى رخصُه كما يكرَه أن تؤتى معصيته رواه أحمد، وصححه ابن خزيمة وابن حبان

Artinya: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang melaksanakan rukhsah, sebagaimana Allah membenci hambaNya melakukan maksiat.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Berlainan dengan itu, dalam ayat 184 surat al-Baqarah disebutkan bahwa berpuasa lebih baik daripada menjalankan rukhsah yang karena beberapa alasan yang disebutkan. Begini ayatnya,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan kamu berpuasa lebih baik jika kamu mengetahui.

Bagaimana memahami maksud ayat tersebut?  Dalam tafsir al-Qurthubi, ada beberapa rincian mengenai ayat ini. Tapi mari kita pahami konteks kalimat “dan kamu berpuasa lebih baik jika kamu mengetahui.

” Berdasarkan kalimat ini, ulama berbeda pendapat tentang keutaman berpuasa bagi musafir. Sebagian berpendapat, lebih utama tetap berpuasa bagi yang kuat. Sebagian lainnya berpendapat lebih utama menjalankan rukhsah karena Allah mencintai HambaNya yang menjalankan rukhsah.

Imam Malik dan Imam Syafi’i, dalam sebagian riwayat mengatakan bahwa berpuasa lebih utama dilakukan bagi yang kuat. Sedangkan ulama dari kalangan Mazhab Maliki malah memberi pilihan untuk tetap melanjutkan puasa atau membatalkannya, tidak ada yang lebih utama.

Begitu juga ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa ini sifatnya opsional, tidak ada yang lebih utama. Para ulama mazhab tersebut merujuk pada hadis riwayat Anas bin Malik,

سافرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في رمضان فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم أخرجه مالك والبخاري ومسلم

Artinya: Kami berpergian bersama Rasulullah di bulan Ramadhan, kemudian yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

Perbedaan pendapat ini memberikan kita pilihan untuk meyakini salah satunya. Secara fikih, membatalkan puasa dalam perjalanan yang sudah melebihi jarak safar adalah boleh. Yang berbeda adalah mengenai keutamaan bagi musafir yang apakah sebaiknya tetap melaksanakan puasa atau menjalankan rukhsah. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Ya Allah, Aku Tidak Kuasa Menjalani Ramadhan tanpa Pertolongan-Mu (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Resep apakah untuk bisa mendapatkan pertolongan Allah dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadan? (lanjutan)

Prinsip kedua: menghayati nama Allah Al-Qoyyuum dan sifat-Nya Al-Qoyyuumiyyah

Al-Qoyyuum adalah salah satu nama Allah yang husna (terindah). Ibnul Qoyyim Rahimahullah menjelaskan kesimpulan makna Al-Qoyyuum yang mengandung dua makna pokok, yaitu:

1) Yang Maha mandiri, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dan tidak butuh kepada selain-Nya. Hal ini berarti nama Allah Al-Qayyuum mengandung sifat kaya yang sempurna. Allah tidak membutuhkan seluruh makhluk-Nya.

Allah Ta’ala tidak membutuhkan kita dalam mengurus seluruh makhluk-Nya. Allah Ta’ala tidak membutuhkan ketaatan dan ibadah kita. Ketaatan kita tidak bermanfaat bagi Allah Ta’ala dan kemaksiatan hamba juga tidak membahayakan bagi Allah Ta’ala sedikit pun.

2) Yang Maha mengurus segala sesuatu, sehingga semuanya membutuhkan kepada-Nya. Tidak ada satu pun di antara makhluk-Nya dapat bertahan di muka bumi kecuali diurus dan dipelihara oleh-Nya. Tiada satupun hamba-Nya dapat taat kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menghindari larangan-Nya kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Hal ini menunjukkan kemahakuasaan Allah Ta’ala. Nama Allah Al-Qayyuum juga mengandung sifat kuasa yang sempurna. Dengan demikian, Al-Qoyyuum bermakna yang Maha mandiri lagi Maha mengurus segala sesuatu.

Al-Qoyyuum termasuk Al-Asma’ul Husna. Sedangkan Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berdoa kepada Allah dengan Asma’ul Husna. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا

“Dan hanya milik Allah-lah Al-Asma’ul Husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan Al-Asma’ul Husna tersebut” (QS. Al-A’raf: 180).

Selain berdoa dengan menyebut nama Allah Ta’ala yang sesuai dengan isi doa, kita juga harus beribadah dengan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung dalam nama Al-Qoyyuum. Setiap nama dan sifat Allah Ta’ala mengandung tuntutan ibadah kepada Allah Ta’ala semata.

Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyatakan,

وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر

“Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah orang yang beribadah dengan melaksanakan tuntutan peribadahan dari seluruh nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Tuntutan peribadatan apa yang terkandung dalam nama Al-Qoyyuum?

Tuntutannya adalah seorang hamba meyakini kemahamandirian-Nya, kemahakayaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan kemahapengurusan-Nya terhadap segala sesuatu. Dengan demikian, hal tersebut melahirkan sikap selalu membutuhkan-Nya dan berusaha meraih segala kebaikan dengan maksimal disertai menyandarkan hatinya kepada Allah semata. Selain itu, selalu berusaha memohon pertolongan kepada-Nya semata dan tidak bergantung kepada dirinya sendiri. Tidak pula bergantung kepada seluruh makhluk. Buah dari hal tersebut adalah ia tidak merasa besar di sisi Allah, memandang dirinya tidak memiliki kekuatan sama sekali kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak membangga-banggakan dirinya sendiri.

Prinsip ketiga: Islam itu agama mudah, tapi ketaatan itu berat jika bukan karena Allah yang memudahkan

Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu” (QS. Al-Muzzammil: 5).

Ulama tabi’in, Al-Hasan Al-Bashri dan Qotadah Rahimahumallah menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Al-Qur’an itu berat pengamalannya. Sebagaimana ditafsirkan oleh ulama tafsir Muqotil dan Qotadah Rahimahumallah dalam ucapan yang lain bahwa kewajiban, perintah, dan larangan, serta batasan syariat yang ada dalam Al-Qur’an itu berat pengamalannya.

Memang syariat Islam ini mudah. Namun berat diamalkan jika bukan Allah Ta’ala yang memudahkan. Oleh karena itu, jangan sombong dan merasa seolah-olah pasti bisa beribadah dengan baik pada bulan Ramadan. Allah Ta’ala akan memudahkan pengamalan Islam ini pada bulan Ramadan dan pada bulan selainnya bagi orang yang mendapatkan taufik-Nya. Orang yang mendapatkan taufik adalah orang yang bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah Ta’ala semata sembari bertawakal kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya semata.

Mari kita renungkan beberapa contoh sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa beliau akan berat mengamalkan ketaatan, jika tidak Allah mudahkan. Bahkan beliau menunjukkan sikap mustahil melakukannya tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terbaik. Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling paham ilmu syariat, paling sempurna amal salehnya, dan paling bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Al-Bara’ bin ‘Aazib Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Ahzab ikut serta memindahkan tanah galian Khandaq bersama kami. Bahkan tanah tersebut sampai menutupi kulit putih perut beliau. Beliau melantunkan syair,

وَاللَّهِ لَوْلَا أَنْتَ ما اهْتَدَيْنَا… وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا

‘Demi Allah, kalaulah bukan karena Engkau (Ya Allah), tentulah kami tidak akan mendapatkan hidayah # Dan kami tidak bisa bersedekah, dan kami tidak pula bisa menunaikan salat. Maka sungguh turunkanlah kepada kami ketenangan’ (HR. Bukhari dan Muslim).”

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu agar selalu meminta pertolongan kepada Allah pada setiap salatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا مُعاذُ، واللَّهِ إنِّي لأحبُّكَ، واللَّهِ إنِّي لأحبُّك

“Wahai Mu’adz, Demi Allah, sesungguhnya benar-benar saya mencintaimu. Demi Allah, sesungguhnya benar-benar saya mencintaimu!”

Lalu beliau bersabda,

أوصيكَ يا معاذُ لا تدَعنَّ في دُبُر كلِّ صلاةٍ تقولُ: اللَّهمَّ أعنِّي على ذِكْرِكَ، وشُكْرِكَ، وحُسنِ عبادتِكَ

“Saya wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah sekali-kali Engkau tinggalkan di akhir setiap salat, sebuah doa, ‘Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu (dengan baik)’” (HR. Abu Dawud, sahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan saja memohon pertolongan untuk bisa beribadah kepada Allah dan beramal saleh, namun -dalam hadis yang lain- beliau juga berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari berbuat buruk dan berbagai macam dosa serta mengikuti hawa nafsu yang tercela. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ من منكراتِ الأَخلاقِ والأعمالِ والأَهْواءِ

“Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari akhlak batin yang mungkar, amal zahir yang mungkar, dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah dari segala kemungkaran, terkait dengan akhlak batin, amal zahir, dan hawa nafsu. Akhlak batin yang mungkar misalnya hasad, sombong, buruk sangka kepada saudaranya yang beriman, dan yang semisalnya. Amal zahir yang mungkar misalnya mencela, menuduh tanpa bukti, zina, membunuh, zalim, dan lainnya. Sedangkan hawa nafsu yang mungkar yakni seluruh sikap mengikuti hawa nafsu yang dibenci oleh Allah dan diingkari pelakunya.

Dalam hadis lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan terkena tipu daya setan yang menyesatkan manusia dari jalan Allah. Tipu daya setan terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Mengikuti syubhat, yang menjerumuskan kepada kekafiran atau bid’ah dan merusak kekuatan ilmiyyah hati.

2) Mengikuti syahwat, yang menjerumuskan kepada dosa besar maupun kecil, terutama syahwat perut dan kemaluan. Keduanya adalah pokok syahwat dan merusak kekuatan kehendak baik hati yang membuahkan amal saleh.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن مما أخشى عليكم شهوات الغي في بطونكم وفروجكم ومضلات الهوى

“Sesungguhnya termasuk perkara yang aku khawatirkan atas diri kalian adalah syahwat yang menyimpang pada perut dan kemaluan kalian, serta hawa nafsu yang menyesatkan.”

Di antara bentuk ketergantungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah semata adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنا على طاعَتِكَ

“Ya Allah, sang pengatur hati, arahkan hati kami kepada ketaatan kepada-Mu” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Allah yang Maha mengatur hati manusia agar mengarahkan hati beliau kepada segala bentuk ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, zahir maupun batin, yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Bahkan untuk urusan hati, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap berdoa agar ditetapkan di atas agama Islam. Ini pun beliau sering berdoa kepada Allah agar menetapkan hati beliau di atas agama-Nya.

Syahr bin Hausyab Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummu Mukminin, apakah doa yang paling banyak diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat berada disisimu?”

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Dahulu doa yang paling banyak beliau ucapkan adalah,

يا مُقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي على دينِكَ

‘Wahai Sang Pembolak balik hati [1], tetapkan hatiku di atas agama-Mu.’”

Ummu Salamah berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah mengapa doa yang paling banyak Engkau ucapkan adalah Ya Muqallibal Quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinika?’”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ، فمَن شاءَ أقامَ، ومن شاءَ أزاغَ

‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari jemari Allah. Barang siapa yang Allah kehendaki (kebaikan), niscaya Allah akan menegakkan hati tersebut. Sedangkan barang siapa yang Allah kehendaki (keburukan), niscaya Allah akan menyimpangkannya.’”

Lalu Mu’adz pun membaca doa,

رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kami” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Ash-Shan’ani Rahimahullah menyatakan bahwa hati itu menyimpan rahasia-rahasia. Tidak ada yang mengetahui semuanya kecuali Allah semata. Oleh karena itu, selagi masih hidup, janganlah kita merasa aman dari fitnah syubhat maupun syahwat. Sesungguhnya rahasia hati itu akan muncul tandanya di akhir hayat kita.

Apabila Allah mengetahui apa yang tersimpan di hati seorang hamba adalah kelurusan niat dan kejujuran hati, maka Allah akan tutup akhir hayatnya husnul khatimah dengan Allah beri taufik untuk beramal saleh di akhir hayatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّما الأعْمالُ بالخَواتِيمِ

“Sesungguhnya amal itu ditentukan di akhir hayat seseorang” (HR. Bukhari).

Maksudnya, sesungguhnya amal seorang hamba di akhir hayatnya itu lebih berhak dan inilah yang jadi patokan penilaian. Barang siapa yang beralih dari amal keburukan, meninggalkannya, dan beralih kepada ketaatan di akhir hayatnya, berarti dia sudah bertaubat. Barang siapa yang beralih dari ketaatan kepada keburukan di akhir hayatnya, maka dia su’ul khatimah. Dan barang siapa yang beralih dari keimanan kepada kekafiran, maka berarti ia murtad. Wal’iyaadzu billah.

Al-Baji Rahimahullah berkata,

لا عليكم أن لا تعجبوا بعمل أحد حتى تنظروا بم يختم له

“Tidak masalah bagi kalian untuk tidak kagum pada amalan seseorang sampai kalian melihat amal akhir hayatnya.”

Kesimpulan

Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam bahwa seorang hamba butuh untuk terus memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap melakukan perintah dan meninggalkan larangan. Begitu pun terus memohon dalam setiap sabar terhadap semua takdir, baik di dunia maupun saat menghadapi kengerian di alam barzakh dan hari kiamat.

Tidak ada yang mampu menolong kecuali Allah ‘Azza wa jalla. Barang siapa yang benar-benar memohon pertolongan kepada Allah atas semua hal itu, maka Allah Ta’ala akan menolongnya. Barang siapa yang tidak memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan justru minta pertolongan kepada selain-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan alihkan urusannya kepada selain-Nya. Dengan demikian, ia jadi ditelantarkan dan tidak medapat pertolongan dari Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74283-ya-allah-aku-tidak-kuasa-menjalani-ramadhan-tanpa-pertolongan-mu-bag-2.html

Hikmah Puasa (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

SEBAB KETAKWAAN SELAIN PUASA PADA BULAN RAMADAN

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa puasa Ramadan termasuk sebab ketakwaan yang terbesar. Dan sebab-sebab ketakwaan yang lain pada bulan Ramadan -alhamdulillah- itu banyak, di antaranya:

Pertama, dibukanya pintu-pintu surga dan tidak satu pun pintu surga yang ditutup. Itu berarti terbuka kesempatan yang luas untuk melakukan banyak amal saleh dan mengandung dorongan yang kuat untuk taat kepada Allah semata.

Kedua, ditutupnya pintu-pintu neraka dan tidak satu pun pintu neraka yang dibuka. Ini isyarat bahwa pada bulan Ramadan sedikit kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba yang beriman.

Ketiga, dibelenggunya dedengkot setan-setan. Ini isyarat tidak adanya alasan bagi mukalaf untuk bermaksiat. Masalahnya lebih kepada berjihad mengendalikan hawa nafsu dan jiwa yang banyak mengajak kepada keburukan karena dedengkot setan telah dibelenggu.

Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1899) dan Muslim (no. 1079), dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,  bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, serta setan-setan dibelenggu.

Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah rahimahullah terdapat riwayat,

ﻭﺻﻔﺪﺕ ﻣﺮﺩﺓ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ

“Dan dibelenggu dedengkot setan-setan”

Maksud “maradatusy syayathin” adalah pembesar/dedengkot setan-setan yang membangkang kepada Allah. Oleh karena itu, di antara setan lainnya masih bisa menggoda manusia. [1]

Keempat, bulan Ramadan adalah bulan ibadah kepada Allah semata, kaum muslimin secara serentak bersemangat melaksanakan berbagai macam ibadah, berpuasa bersama, salat lima waktu berjemaah bersama, salat tarawih bersama, sahur dan buka pada waktu yang bersamaan, mengeluarkan zakat fitrah bersama, iktikaf bersama, berlomba-lomba baca Al-Qur’an, berbagi makanan buka puasa, dan berbagai ketaatan lainnya. Pemandangan ketaatan ada di mana-mana, di masjid, di rumah, di jalan, di kantor, dan berbagai tempat lainnya.

Tentunya ini menjadi hal yang memudahkan kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah semata karena suasana kebersamaan dalam beribadah kepada Allah semata itu mempengaruhi suasana hati untuk semangat melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Kelima, di bulan Ramadan, Allah persiapkan berbagai sebab ampunan Allah. Ini tentunya dorongan kuat seorang hamba untuk bersih dari dosa dengan banyak tobat dan banyak melakukan amalan sebab didapatkannya ampunan Allah.

SEBAB AMPUNAN ALLAH DAN PENGHAPUSAN DOSA DI BULAN RAMADAN

Sebab-sebab ampunan Allah di bulan Ramadan adalah:

Puasa Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Antara salat lima waktu, dan antara salat Jumat, jika dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta menghindari dosa besar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Antara salat yang lima waktu, antara (salat) jumat yang satu dengan (salat) jumat berikutnya, antara (puasa) Ramadan yang satu dan (puasa) Ramadan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa (pelakunya) selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

Salat tarawih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan salat tarawih [2] di bulan Ramadan karena beriman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salat malam dan ibadah lainnya di malam lailatul qadar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan ibadah pada malam lailatul qadar karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Maksud “mengerjakan ibadah” di sini adalah ibadah salat, membaca Al-Qur’an, sedekah, doa, dan seluruh ibadah lainnya. [3]

Tobat kepada Allah Ta’ala semata

Orang yang tidak bertobat dari dosa disebut dalam Al-Qur’an, surah Al-Hujurat ayat 11, sebagai orang yang zalim. Ini menunjukkan bahwa bertobat itu wajib. Dan bertobat kepada Allah itu penyebab ampunan Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surah Al-Furqan ayat 70,

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang bertaubat seperti orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah, hadits hasan)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah menghitung seratus kali dalam satu majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan,

ربِّ اغفر لي، وتُب عليَّ، إنَّكَ أنتَ التَّوَّابُ الرَّحيمُ

“Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau adalah Yang Mahapenerima taubat lagi Yang Mahapenyayang. (HR. Abu Dawud, sahih)

Jika sudah sedemikian lengkapnya sebab-sebab takwa dan sebab ampunan Allah pada bulan Ramadan, maka sungguh sangat merugi orang keluar dari Ramadan tidak bertakwa kepada Allah Ta’ala dan tidak diampuni dosa-dosanya.

Barangsiapa yang masuk madrasah Ramadan, namun gagal meraih takwa kepada Allah, maka ibarat seorang murid yang masuk sekolah, namun tidak bisa baca dan tulis dan tidak menguasai ilmu yang diajarkan di sekolah tersebut. Maka, haruslah orang yang berpuasa itu berbeda dengan orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa lebih mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah semata.

Kebaikan-kebaikan menghapus dosa

Allah Ta’ala berfirman,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114)

PUASA VVIP

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang dinamakan Mukhtashar Minhajil Qashidin (hal. 44), beliau menjelaskan tentang tingkatan puasa,

وللصوم ثلاث مراتب : صوم العموم ، وصوم الخصوص ، وصوم خصوص الخصوص

“Dan puasa memiliki tiga tingkatan: 1) puasa umum; 2) puasa khusus; dan 3) puasa super khusus.”

Beliau pun menjelaskan satu persatu macam-macam puasa tersebut,

Pertama, puasa orang umum

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

فأما صوم العموم : فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة

“Adapun puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat (baca: menahan diri dari melakukan berbagai pembatal puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh).”

Puasa jenis umum ini jelas sekali diambil dari dalil-dalil tentang adanya pembatal-pembatal puasa.

Kedua, puasa orang khusus (VIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم الخصوص : فهو كف النظر ، واللسان ، والرجل ، والسمع ، والبصر ، وسائر الجوارح عن الآثام

“Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.”

Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat disyariatkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut kepada Allah. Sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh kemaksiatan dan menjadi orang yang diridai oleh-Nya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Lihatlah tafsirnya kembali dalam artikel seri sebelumnya.

Ketiga, puasa super khusus (VVIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم خصوص الخصوص : فهو صوم القلب عن الهمم الدنية ، والأفكار المبعدة عن الله ـ سبحانه وتعالى ـ ، وكفه عما سوى الله ـ سبحانه وتعالى ـ بالكلية

“Dan adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara totalitas.”

Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang bahwa baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga ketakwaan yang asasi adalah ketakwaan hati. Jika hikmah disyariatkannya puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali tercakup adalah ketakwaan hati. Hal ini karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling agung adalah ketakwaan hati.

Buah puasa yang hakiki

Demikianlah hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah di bawah ini,

فإنْ تكلَّم لم يتكلَّم بما يجرح صومه، وإن فعل لم يفعل ما يفسد صومه، فيخرج كلامه كلُّه نافعًا صالحًا، وكذلك أعماله،

“Jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya. Dan jika ia berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya. Hingga keluarlah seluruh ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk perbuatannya.”

فهي بمنزلة الرَّائحة الَّتي يشمُّها من جالس حامل المسك، كذلك من جالس الصَّائم انتفع بمجالسته، وأَمِن فيها من الزُّور والكذب والفجور والظُّلم، هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب

“Maka ucapan dan perbuatannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang duduk menemani pembawa minyak wangi misk.

Demikianlah orang yang menemani orang yang sedang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari pertemanannya tersebut. Ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran, dan kezaliman.

Inilah sesungguhnya puasa yang disyariatkan. Ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54)

Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang dituntut untuk ditinggalkan saat berpuasa?

Simaklah penuturan Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini,

فالصَّوم هو صوم الجوارح عن الآثام، وصوم البطن عن الشَّراب والطَّعام؛ فكما أنَّ الطَّعام والشَّراب يقطعه ويفسده، فهكذا الآثام تقطع ثوابَه، وتفسدُ ثمرتَه، فتُصَيِّره بمنزلة من لم يصُم

“Maka, puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan puasanya perut dari minuman dan makanan. Sebagaimana makan dan minum itu menentukan sahnya puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti kedudukan orang yang tidak berpuasa.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54-55)

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74277-hikmah-puasa-bag-2.html

Hikmah Puasa (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

ALLAH ADALAH AL-HAKIM (YANG MAHA MENENTUKAN HUKUM DAN BIJAKSANA) DAN PENGARUHNYA PADA SYARIAT-NYA

Di antara nama-nama Allah Ta’ala yang terindah (asma’ul husna) adalah Al-Hakim, Yang Maha Menentukan Hukum dan Bijaksana). Hanya Allahlah semata Sang Penentu hukum (baik hukum syariat Islam, hukum takdir, maupun hukum balasan di dunia maupun akherat), dan hukum-hukum-Nya pada puncak kebijaksanaan, kesempurnaan, dan keindahan.

Tidaklah Allah men-syariat-kan suatu hukum syariat, kecuali pasti ada hikmah yang sempurna di dalamnya. Terkadang kita tahu, namun banyak yang kita tidak tahu. Termasuk syariat puasa Ramadan yang sedang kita jalani.

DALIL HIKMAH PUASA

Setidaknya ada dua dalil hikmah puasa.

Dalil Pertama

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala telah kabarkan hikmah yang agung dari kewajiban berpuasa Ramadan, berupa diraihnya ketakwaan. Sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Puasa adalah sarana untuk merealisasikan takwa, sedangkan takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Puasa termasuk sebab yang terbesar seseorang bisa melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Puasa Ramadan adalah madrasah imaniyyah agar seorang hamba mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah Ta’ala semata.

Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa adalah diraihnya ketakwaan.

Kedua, puasa itu adalah bagian dari keimanan. Oleh karena itu, yang diseru untuk melaksanakannya adalah orang-orang yang beriman.

Ketiga, puasa Ramadan itu diwajibkan bagi kita sebagaimana puasa juga diwajibkan bagi umat-umat sebelum umat Islam karena puasa termasuk syariat dan perintah yang bermanfaat bagi makhluk di setiap zaman. Jadi, janganlah seseorang merasa berat berpuasa, karena itu bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dengan bertakwa dan di akhirat dengan masuk surga, terhindar dari siksa.

Dalil Kedua

Hadis dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan (baca: tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).” (HR. Al-Bukhari)

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فأما قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً

“Maka, adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela, mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba … Dan adapun amal “az-zuur” adalah setiap perbuatan yang haram berupa penipuan, khianat, khianat dalam jual beli, dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan.” [1]

Beliau rahimahullah juga berkata,

فالذي لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما حرَّم الله

“Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakikatnya ia tidak puasa. Karena memang (zahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [2]

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أي: أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن ندع قول الزور والعمل به والجهل

“Yaitu, bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita itu (sekadar) meninggalkan makan dan minum. Namun (hakikatnya) menghendaki dari kita agar kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh.” [3]

Dari hadits tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa itu untuk meraih takwa dengan menghindari ucapan dan perbuatan haram yang berarti menunaikan kewajiban.

Kedua, puasa yang sesungguhnya itu bukan sekadar meninggalkan makan dan minum, namun puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah takwa, yaitu menghindari ucapan dan perbuatan haram dan larangan Allah lainnya, serta menunaikan kewajiban dan perintah Allah lainnya.

Ketiga, setiap dosa dan maksiat itu berdampak buruk pada puasa seseorang. Semakin banyak seseorang menghindari maksiat, maka semakin bagus kualitas puasanya. Begitu pula sebaliknya, semakin seseorang banyak melakukan maksiat, semakin menurun pahala puasa seseorang.

BERBAGAI BENTUK KETAKWAAN YANG MERUPAKAN HIKMAH PUASA RAMADAN

Ulama rahimahumullah telah menyebutkan berbagai macam hikmah puasa Ramadan. Semuanya kembali kepada perkara ketakwaan kepada-Nya semata. Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan menghasilkan berbagai bentuk ketakwaan:

Pertama, puasa melahirkan berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah.

Karena puasa membiasakan seseorang melakukan berbagai ketaatan yang disyariatkan. Ketaatan tersebut dilakukan saat sedang berpuasa. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan ketaatan lainnya, seperti: bertauhid, salat berjemaah lima waktu, menunaikan zakat, sedekah, baca Alquran, berbakti kepada orang tua, meninggalkan gibah, meninggalkan mencari nafkah dengan cara haram, dan lain-lain.

Kedua, puasa melahirkan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya.

Karena puasa itu membiasakan seseorang menahan diri dari perkara yang hukum asalnya halal yang dicintai syahwat (makan, minum, dan hubungan badan) dalam rangka taat kepada Allah serta mencari rida Allah semata. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk menahan diri dari seluruh perkara haram.

Ketiga, puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia.

Karena sebagaimana dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم

“Sesungguhnya setan mengalir [4] dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah.”

Syaikhul Islam rahimahullah  berkata dalam Majmu’ Fatawa (25: 246), “Tidak ada keraguan bahwa darah terbentuk dari makanan dan minuman. Dan jika seseorang makan atau minum, maka darah tempat mengalirnya setan-setan akan meluas. Sedangkan jika ia puasa, maka tempat mengalirnya setan-setan akan menjadi sempit, sehingga tergeraklah hati melakukan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” [5]

Maka, dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.

Keempat, puasa itu menundukkan syahwat dan mengendalikan hawa nafsu.

Oleh karena itu, solusi bagi pemuda yang belum mampu menikah adalah berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menafkahi rumah tangga), maka menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.” (HR. Muslim)

Kelima, puasa membuahkan sterilnya pelakunya dari akhlak yang buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa itu perisai bagi pelakunya dari hal-hal yang merusak puasa dan mengurangi kesempurnaannya. [6] Termasuk juga perisai dari akhlak buruk. Dan hendaknya orang yang berpuasa berhiaskan diri dengan akhlak yang baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ

“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa.’ (dua kali).” (HR. Bukhari)

Keenam, puasa membuahkan rasa syukur kepada Allah.

Seseorang yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan badan. Ini semua termasuk nikmat yang paling besar. Menahan diri dari nikmat-nikmat tersebut seharian dengan berpuasa akan menyadarkan seseorang kadar nikmat yang besar tersebut sehingga mendorong seseorang menyukurinya, terutama saat berbuka puasa.

Ketujuh, puasa membuahkan zuhud terhadap dunia.

Pada aktifitas berpuasa terdapat bentuk menahan diri dari menunaikan dua pokok syahwat perhiasan dunia yaitu perut dan kemaluan. Hal ini mendorong pelakunya untuk zuhud terhadap dunia dan perhiasannya dalam bentuk meninggalkan perkara dunia yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.

Kedelapan, orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala meskipun sendirian.

Sehingga tidak berani makan minum dan hubungan suami istri di siang Ramadan padahal ia mampu melakukannya. Karena meyakini Allah melihatnya dan mengetahui perbuatannya.

Kesembilan, ibadah puasa hakikatnya merupakan bentuk tarbiyyah (pendidikan) sosial kemasyarakatan.

Mendidik pelakunya menjadi insan yang peka terhadap masyarakatnya dan bentuk tarbiyyah tersebut berupa:

Pertama, memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong dalam kebaikan di antara kaum muslimin, antara si kaya dengan si miskin. Karena si kaya merasakan sebagian kesulitan si miskin berupa rasa lapar meski beberapa saat ketika berpuasa. Maka, bagaimana lagi fakir miskin yang lapar setiap harinya? Sehingga hal ini menyebabkan si kaya tergerak untuk bersedekah, memberi makan buka puasa, dan berzakat di bulan Ramadan.

Kedua, memupuk persatuan di antara kaum muslimin, karena mengawali puasa Ramadan dan mengakhirinya secara bersama-sama. Sahur dan buka pun pada waktu yang bersamaan.

Ketiga, mengajarkan kesamaan kedudukan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, bangsawan bernasab tinggi dan rakyat yang tak bernasab tinggi. Tidak ada yang membedakan di antara mereka, kecuali ketakwaannya.

Semoga Allah Ta’ala menyampaikan umur kita sehingga kita bisa berjumpa dengan bulan Ramadan dan menganugerahkan kepada kita kemampuan beribadah dengan ikhlas dan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74275-hikmah-puasa-bag-1.html

Hukum Swab Test Saat Puasa

Berikut ini hukum Swab test saat puasa. Pasalnya, di Bulan Ramadhan, banyak aktivitas yang mewajibkan swab atau PCR. Berikut penjelasan lengkapnya. 

Salah satu upaya yang sangat intens dilakukan pemerintah untuk menekan angka penyebaran Covid-19 adalah dengan melakukan pengecekan massal dan berkala kepada masyarakat secara menyeluruh baik dengan Rapid Test Antigen ataupun PCR. 

Prosedur dua metode Swab lendir ini dilakukan dengan cara memasukkan alat ke rongga hidung sampai nasofaring (dinding paling belakang hidung) atau ke rongga mulut sampai orofaring (bagian atas tenggorokan).

Lantas, bagaimana respon fikih terkait pelaksanaan Swab saat berpuasa? Apakah memasukkan alat ke rongga mulut atau rongga hidung termasuk hal-hal yang dapat membatalkan puasa?

Dalam literatur kitab fikih, benda yang masuk melalui lubang atau rongga tubuh, seperti hidung, telinga, dan dubur dapat membatalkan puasa apabila sampai masuk kepada rongga dalam (jauf).

Sedangkan apabila tidak sampai masuk ke bagian dalam maka puasanya tidak batal. Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Badaius Shanai’, juz 2, halaman 93 berikut,

وَمَا وَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى الدِّمَاغِ عَنْ الْمَخَارِقِ الْأَصْلِيَّةِ كَالْأَنْفِ وَالْأُذُنِ وَالدُّبُرِ بِأَنْ اسْتَعَطَ أَوْ احْتتَقَنَ أَوْ أَقْطَرَ فِي أُذُنِهِ فَوَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى الدِّمَاغِ فَسَدَ صَوْمُهُ وَكَذَا إذَا وَصَلَ إلَى الدِّمَاغِ لِأَنَّهُ لَهُ مَنْفَذٌ إلَى الْجَوْفِ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَا الْجَوْفِ .وَلَوْ وَصَلَ إلَى الرَّأْسِ ثُمَّ خَرَجَ لَا يُفْسِدُ بِأَنْ اسْتَعَطَ بِاللَّيْلِ ثُمَّ  خَرَجَ بِالنَّهَارِ لِأَنَّهُ لَمَّا خَرَجَ عَلِمَ أَنَّهُ لم ييَصِلْ إلَى الْجَوْفِ أو لم يَسْتَقِرَّ فيه وَأَمَّا ما وَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أو إلَى الدِّمَاغِ عن غَيْرِ الْمَخَارِقِ الْأَصْلِيَّةِ بِأَنْ دَاوَى الْجَائِفَةَ وَالْآمَةَ فَإِنْ دَاوَاهَا بِدَوَاءٍ يَابِسٍ لَا يُفْسِدُ لِأَنَّهُ لم يَصِلْ إلَى الْجَوْفِ وَلَا إلَى الدِّمَاغِ

Artinya : “Apapun yang bisa sampai ke rongga dalam (jauf) atau ke otak yang nanti juga berujung ke rongga dalam (jauf) melalui lubang atau rongga tubuh, seperti hidung, telinga, dubur, dll, maka puasanya batal.

Namun, seandainya hanya sampai pada kepala kemudian keluar lagi, dalam arti tidak sampai ke jauf atau sampai tapi tidak menetap di dalam jauf maka tidak batal. 

Sedangkan bila melalui selain rongga tubuh, semisal obat maka jika obatnya kering maka puasanya tidak batal. Apabila obatnya basah maka batal.”

Dalam proses pelaksanaan Swab Test, pemeriksaan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan memasukkan alat ke rongga hidung sampai nasofaring (dinding paling belakang hidung) atau ke rongga mulut sampai orofaring (bagian atas tenggorokan).

Memasukan sesuatu pada kedua organ ini tidak dapat membatalkan puasa karena tidak sampai pada rongga bagian dalam (jauf). 

Kalaupun pemeriksaan Swab ini sampai melewati rongga dalam, tidak lantas dapat dikatakan membatalkan puasa, karena Swab tidak sesuai dengan ‘illat (alasan) penentuan batasan tersebut yakni sampai dan menetapnya sesuatu di jauf sehingga ia memberi efek kenyang (ghida), berbeda dengan Swab.

Apabila ‘illat tersebut tidak dijumpai, maka puasanya tidak dapat dihukumi batal. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih, 

الْحُكْم يَدُور مَعَ عِلَّته وُجُودًا وَعَدَمًا

Artinya: “Hukum didasarkan pada ada atau tidak adanya sebuah ‘illat (alasan).”

Demikian penjelasan mengenai hukum swab test saat puasa. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Puasa sebagai Zakat Tubuh, Inilah Penjelasan Ilmiahnya

SEGALA sesuatu menuntut dikeluarkan zakatnya. Dan puasa sebagai zakat tubuh.

Zakat harta adalah mengeluarkan sebagiannya (2,5%-20%) untuk orang-orang yang berhak menerima. Zakat ilmu adalah mendakwahkan ilmu itu kepada orang lain.

Zakat (mempelajari) hadits adalah mengamalkannya walau hanya sekali. Zakat rumah ialah merenovasinya atau mengecatnya paling tidak. Zakat kolam adalah dikuras dan dibersihkan.

Zakat mobil adalah diservis dan direparasi. Sedangkan, zakat tubuh adalah berpuasa, diet, dan berpantang untuknya. Rasulullah ﷺ bersabda,

ولكل شىء زكاة وزكاة الجسد الصوم 4 رواه ابن ماجه

“Segala sesuatu ada zakatnya dan zakat tubuh adalah puasa.” (HR Ibnu Majah)

Zakat menurut bahasa berarti ‘suci, subur, berkah, bagus, terpuji, meningkat, dan berkembang’. Sesuai dengan arti ini, segala sesuatu yang telah dikeluarkan zakatnya, maka akan menjadi suci, subur, berkah, bagus, terpuji, berkembang, da meningkat.

Tubuh misalnya, bila telah dizakati dengan puasa, maka tubuh akan menjadi sehat, bersih, bagus, subur, berseri seri, dan indah, karena puasa meningkatkan daya serap makanan, menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh, meningkatkan fungsi organ reproduksi, meremajakan sel-sel tubuh, dan membuat kulit lebih sehat dan berseri.

Meningkatkan Daya Serap Makanan

Berdasarkan ilmu gizi, orang umumnya hanya dapat menyerap gizi sebanyak 35% dari gizi makanan yang dikonsumsi. Dengan berpuasa, penyerapan gizi dapat meningkat hingga 85%.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: sebelum diserap, makanan harus mengalami proses perubahan dari padat menjadi komponen-komponen yang amat halus. Perubahanperubahan tersebut terjadi di dalam alat-alat pencernaan.

Seperti diketahui, pada waktu berpuasa alat pencernaan beristirahat selama kurang lebih enam jam. Dengan beristirahat, alat-alat pencernaan menjadi lebih giat dalam mereduksi dan menyerap makanan yang dikonsumsi. Logikanya, bila efisiensi pencernaan bertambah, daya serap tubuh terhadap gizi menguat.

Menyeimbangkan Kadar Asam dan Basa dalam Tubuh

Menurut ilmu tubuh, perbandingan zat kimia yang bersifat alkali dan bersifat asam di dalam tubuh manusia harus seimbang. Dengan menjalani puasa, zat-zat yang bersifat asam di dalam darah akan dapat dikurangi dan dijaga agar sifat alkalinya tetap lemah sehingga tercapai keseimbangan antara keduanya.

Sedangkan, pada saat tidak berpuasa, keseimbangan tersebut dapat tercapai jika makanan dan minuman yang dikonsumsi sesuai dengan perbandingan yang seimbang. Dan, ini cukup sulit.

Meningkatkan Fungsi Organ Reproduksi

Berdasarkan hasil riset di laboratorium hewan Lembaga Penelitian Ternak Amerika Serikat terhadap 864 ekor ayam petelur yang produktivitasnya telah menurun, terbukti bahwa 75% ayam-ayam tersebut dapat kembali bertelur setelah diberi terapi puasa selama sepuluh hari. Sebelumnya ayam-ayam tersebut telah menjalani masa bertelur antara 12-14 bulan.

Peningkatan fungsi organ reproduksi ini erat kaitannya dengan peremajaan (regenerasi) sel yang mendatangkan perubahan pada sel-sel urogenitalis dan jaringan-jaringan organ reproduksi wanita. Terjadi perubahan metabolik pada saat menjalankan puasa, terutama yang dilangsungkan lewat kelenjar-kelenjar endokrin.

Kelenjar endokrin indung telur menghasilkan lebih banyak estrogen dan progesteron. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi itu dapat meningkatkan fungsi organ reproduksi, yang berarti pula meningkatkan kesuburan.

Meremajakan Sel-Sel Tubuh

Organ-organ tubuh terdiri atas jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan dari sel-sel sejenis. Ada berbagai sel dalam tubuh manusia, antara lain sel darah, sel tulang, sel saraf, sel otot, dan sel lemak.

Sel-sel tersebut mempunyai bentuk yang beraneka ragam, dari yang berbentuk bulat, bercabang, pipih, hingga bentuk-bentuk lainnya. Ketika menjalani puasa, organorgan tubuh berada pada posisi rileks sehingga sel-sel tersebut memiliki kesempatan untuk memperbarui diri.

Sel-sel baru terbentuk pada lapisan dalam yang kemudian mendesak sel-sel sudah tua untuk keluar. Sel-sel yang sudah tua ini segera mati pada saat mencapai permukaan, dan kemudian mengelupas. yang

Membuat Kulit Lebih Sehat dan Berseri

Setiap saat tubuh mengalami metabolisme energi, yaitu peristiwa perubahan dari energi yang terkandung dalam zat gizi menjadi energi potensial dalam tubuh. Sisanya akan disimpan di dalam tubuh, sel ginjal, sel kulit, dan pelupuk mata, serta dalam bentuk lemak dan glikogen.

Cadangan gizi inilah yang sewaktu-waktu akan dibakar menjadi energi jika tubuh tidak mendapat suplai pangan dari luar. Ketika berpuasa, cadangan energi yang tersimpan dalam organ-organ tubuh dikeluarkan, sehingga melegakan pernapasan organ-organ tubuh serta sel-sel penyimpannya.

Peristiwa ini lazim disebut peremajaan sel. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila orang yang sering berpuasa, kulitnya akan lebih segar dan lembut.

Dr. Muhammad Dawahiri, seorang ahli penyakit kulit dari Universitas Kairo mengatakan, “Hubungan antara makan dan penyakit-penyakit kulit erat sekali. Karena itu, berpuasa (berpantang makan dan minum) untuk suatu masa dapat mengurangi kadar air pada tubuh dan darah. Pada gilirannya akan bisa menurunkan kadar air pada kulit, sehingga pada saat yang sama membuat kulit mempunyai pertahanan yang kuat menghadapi penyakit-penyakit kulit yang diakibatkan oleh bakteri (mikrobia).”

Vladimir Nikitin menyimpulkan bahwa tanpa memperoleh makanan, proses ketuaan manusia akan bisa dihambat. Sarjana biokimia Rusia ini sudah mengadakan eksperimen untuk membuktikan itu.

Tikus-tikus yang biasa hanya berumur dua setengah tahun, dengan jalan menstop suplai makanannya, tikus-tikus itu berhasil “diperpanjang” umurnya sampai empat tahun.*/Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis (GiP)

HIDAYATULLAH

Hukum Memberi Makan Orang yang Tidak Puasa

Tak terasa sekarang sudah di bulan Ramadhan. Kendati bulan puasa, namun masih banyak orang yang tidak berpuasa. Lantas, bagaimana hukum memberi makan atau menjualnya kepada orang yang tidak puasa, baik ia muslim maupun non muslim? .

Ini perlu dirinci, jika ia menjual kepada orang muslim yang tanpa adanya udzur maka hukumnya haram. Namun jika ia menjual kepada orang Islam yang mendapati udzur untuk berpuasa, semisal karena sudah tua, haid, wanita menyusui, musafir, sabi, atau orang yang tidak wajib puasa lainnya, maka yang demikian adalah boleh. 

Adapun menjual makanan di siang hari kepada non muslim, juga diharamkan, sebab mereka juga dituntut untuk melakukan puasa (menurut qaul rajih). Berikut penjelasan dari ulama’:

وحرم أيضا: …. بيع نحو المسك لكافر يشتري لتطييب الصنم والحيوان لكافر علم أنه يأكله بلا ذبح لان الأصح أن الكفار مخاطبون بفروع الشريعة كالمسلمين عندنا خلافا لأبي حنيفة رضي الله تعالى عنه فلا يجوز الإعانة عليهما ونحو ذلك من كل تصرف يفضي إلى معصية يقينا أو ظنا ومع ذلك يصح البيع.

“Haram menjual minyak wangi kepada orang kafir, yang mana akan digunakan untuk meminyaki berhalanya, dan haram juga menjual hewan kepada orang kafir yang jelas-jelas diketahui bahwasanya ia akan memakan hewan tersebut tanpa disembelih.

Sebab menurut qaul ashah dalam madzhab Syafii, orang kafir itu juga terkenan tuntutan hukum, seperti orang muslim lainnya, lain halnya dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah.

Maka tidak boleh menolong mereka dalam transaksi tersebut, sebegitu juga haram melakukan transaksi dengan orang yang berpotensi melakukan maksiat atasnya, baik diketahui secara pasti maupun masih taraf praduga. 

Meskipun demikian, hukum jual belinya sah (yakni tidak ada tuntutan atau perselisihan yang bisa dibawa ke hakim), meski haram”. (Fath Al-Mu’in, h. 326)

Syarih (komentator) kitab ini memberikan contoh sebagaimana redaksi berikut:

(وقوله: من كل تصرف يفضي إلى معصية) بيان لنحو…إلى أن قال… وكإطعام مسلم مكلف كافرا مكلفا في نهار رمضان، وكذا بيعه طعاما علم أو ظن أنه يأكله نهارا.

Di antara contoh dari transaksi yang berimbas pada kemaksiatan adalah (orang muslim mukallaf) memberi makan kepada orang kafir yang mukallaf (berakal dan sudah baligh), atau jual beli makanan kepada orang yang diketahui secara pasti atau diduga kuat bahwa ia akan memakannya di siang hari bulan Ramadhan. (I’anah Al-Thalibin, III/30)

Dalam kitab lain juga dijelaskan dengan serupa keterangan di atas, misalnya Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Bujairimi Ala Al-Khatib (II/224), Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam Futuhat Al-Wahhab (X/310), dan dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebut bahwasanya mayoritas ulama itu berpendapat demikian. Dijelaskan: 

كَمَا نَصَّ الشِّرْوَانِيُّ وَابْنُ قَاسِمٍ الْعَبَّادِيُّ عَلَى مَنْعِ بَيْعِ مُسْلِمٍ كَافِرًا طَعَامًا، عَلِمَ أَوْ ظَنَّ أَنَّهُ يَأْكُلُهُ نَهَارًا فِي رَمَضَانَ، كَمَا أَفْتَى بِهِ الرَّمْلِيُّ، قَال: لأَِنَّ ذَلِكَ إِعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ الرَّاجِحَ أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ.

 Imam Syarwani dan Ibnu Qasim Al-Ubbadi melarang untuk menjual makanan di siang hari bulan puasa kepada non muslim yang mukallaf atau ia yang diduga kuat atau dketahui secara pasti akan memakannya. 

Imam Al-Ramli juga berfatwa demikian, sebab ini adalah menolong perkara maksiat, terlebih menurut pendapat yang unggul bahwasanya non muslim itu dituntut juga melakukan syariat seperti orang Islam pada umumnya. (Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid IX/ 212)

Dari keterangan di atas bisa kita ketahui bahwa yang haram adalah segala transaksi yang berimbas pada kemaksiatan, semisal menjual makanan kepada orang muslim yang tidak berpuasa tanpa adanya udzur syar’i atau non muslim yang mukallaf. 

Maka dari itu dikecualikan darinya yaitu orang-orang yang tidak berpuasa karena adanya udzur syar’i semisal sedang dalam perjalanan dan haid. Mengapa demikian? Sebab poros hukum keharamannya adalah adanya i’anah ala al-ma’asi (menolong seseorang untuk berbuat maksiat), sedang kriteria yang demikian tidak termasuk, maka boleh menjual makanan kepadanya. 

Hanya saja warung memang tidak perlu tutup secara full, sebab pasti ada orang yang mempunyai udzur syar’i. Namun ia tidak boleh vulgar dalam membuka warungnya, hormatilah orang yang berpuasa.

Adapun ketika menjual makanan pada sore hari, agaknya sudah bisa dipastikan bahwa ia memang beli untuk berbuka. Maka yang demikian diperbolehkan menjual makanan kepadanya.

Demikian penjelasan terkait hukum memberi makan orang yang tidak puasa. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH