Pesan Alquran Jika Kita Melihat Orang Lain Kesulitan

Islam menekankan kepada umatnya untuk senantiasa berlaku baik kepada setiap makhluk.

Agama Islam menekankan kepada umatnya untuk senantiasa berlaku baik kepada setiap makhluk, apalagi manusia dengan apapun latar belakangnya. 

KH Noor Achmad Semarang menjelaskan, Islam adalah agama yang memperhatikan kemaslahatan dan mmperhatikan kehidupan manusia. Rasulullah SAW, kata beliau, diutus untuk seluruh alam semesta. 

Sehingga artinya, Islam memang ditujukan untuk kepentingan universal. Beliau menjabarkan bahwa terdapat dua contoh surat makkiyah yang menarik yang dapat diambil maknanya. Yakni Surat Al Maun dan Surat Al Balad. Bahwa dalam surat tersebut betapa Allah memberi penekanan, terutama kehidupan anak yatim dan orang miskin tanpa melihat agama. 

Demikian juga dalam Surat Al Balad. Islam bukan agama yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan seorang Muslim saja, tapi Islam juga agama yang menekankan umatnya untuk memperhatikan sosial terutama kepada mereka yang terkena musibah. 

Allah SWT berfirman dalam Surat Al Balad ayat 16:

اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ

“Au miskīnan żā matrabah(tin).”

Yang artinya, “Atau orang miskin yang sangat membutuhkan.”

Dalam tafsir Kementerian Agama dijelaskan bahwa memberi makan orang yang lapar pada masa kelaparan pertama sekali ditujukan pada anak-anak yatim yang ada hubungan keluarga dengan pemberi. 

Siapa lagi yang akan mau memperhatikan mereka bila bukan keluarga sendiri karena orang tuanya sudah tiada? Perhatian pada keluarga memang harus didahulukan sebagaimana sabda Rasulullah berikut:

 اَلصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِى الرَّحِمِ اثْنَتَانِ، صَدَقَةٌ وَ صِلَةٌ. 

Yang artinya, “Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah (satu amal), sedekah kepada orang yang punya hubungan keluarga ada dua amal, sedekah dan silaturrahim.” (HR Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai) 

IHRAM

10 Kewajiban Anak Kepada Orang Tua

Sejak lahir, kasih sayang dan pengorbanan orang tua tak henti-hentinya mengalir untuk anak-anaknya. Mereka membesarkan dengan penuh cinta, dedikasi, dan harapan. Dalam perjalanan hidup, kewajiban anak untuk membalas budi dan berbakti kepada orang tua menjadi landasan keharmonisan keluarga. Kewajiban-kewajiban ini bukan hanya bentuk balas budi, tetapi juga kunci kebahagiaan dan keberkahan dalam hidup. Nah berikut penjelasan 10 kewajiban anak kepada orang tua menurut Imam Abu Laits Al Samarqandi.

Biografi singkat Imam Abu Laits Al Samarqandi

Imam Abu Laits Al Samarqandi mempunyai nama lengkap Al Laits Nashr Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Ibrahim As Samarqandi Al Balkhi. Beliau dilahirkan di Samarkand, sebuah daerah di negara Uzbekistan saat ini, pada awal abad ke 4 H, tepatnya pada tahun 301 H.

Beliau merupakan salah satu mufassir, ahli fiqih, dan pakar hadits di masanya. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang wara’ dan taqwa. Selain itu keilmuan beliau tak perlu diragukan lagi, banyak karya yang telah beliau bukukan dan banyak memberikan manfaat hingga saat ini. 

Di antara karya beliau adalah Al Nawazil fil Fatawa, Uyun al Masail fi furu’ al-Fiqh al-Hanafi, Bustan al Arifin, Asrar al Wahy, Syarh Jami’ al Shagir, Al Nawadir al Mufidah, Tafsir Bahr al Ulum (Tafsir Samarqandy),Tanbihul ghafilin dan masih banyak lagi.

Beliu pulang memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa pada malam Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 375 H. Beliau dimakamkan pada siang hari di kota Balkh di samping kuburan gurunya yang mulia, yaitu Abu Ja’far Al Hindiwany.

10 kewajiban anak kepada orang tua

Dalam salah satu kitabnya yakni Tanbihul Ghafilin beliau imam Abu Laits Al Samarqandi menjelaskan 10 kewajiban anak kepada orang tua diantaranya adalah:

1. Apabila orang tua membutuhkan makanan, maka anaknya harus memberikan makanan kepadanya.

2. Apabila orang tua membutuhkan pakaian, maka anaknya harus memberikan pakaian kepadanya apabila anaknya mampu untuk memberikannya.

3. Apabila orang tua membutuhkan pelayanan, maka anaknya harus melayaninya.

4. Apabila orang tua memanggil anaknya, maka anaknya harus menjawab dan datang kepadanya.

5. Apabila orang tua memerintahkan sesuatu, maka anaknya harus mematuhinya selama tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat dan menggunjing.

6. Anak harus berbicara dengan sopan dan lemah lembut, tidak boleh berbicara kasar kepada orang tuanya.

7. Anak tidak boleh memanggil nama orang tuanya.

8. Anak harus berjalan di belakang orang tuanya.

9. Anak harus membuat kesenangan kepada orang tuanya sebagaimana ia membuat kesenangan kepada dirinya sendiri, dan menjauhkan segala apa yang dibenci oleh orang tuanya, sebagaimana ia menjauhkan diri dari apa yang dibenci oleh dirinya sendiri.

10. Anak harus memohonkan ampun untuk kedua orang tuanya kepada Allah selama ia berdoa untuk dirinya sendiri.

Penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

ويقال للوالدين على الولد عشرة حقوق أحدها: أنه إذا احتاج إلى الطعام أطعمه والثاني إذا احتاج إلى الكسوة كساه إن قدر عليه، وهكذا روى عن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم في تفسير قوله تعالى {وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً} فقال المصاحبة بالمعروف أن يطعمهما إذا جاعا ويكسوهما إذا عريا والثالث إذا احتاج أحدهما إلى خدمته خدمه والرابع إذا دعاه أجابه وحضره والخامس إذا أمره بأمر أطاعه ما لم يأمر بالمعصية والغيبة والسادس أن يتكلم معه باللين ولا يتكلم معه بالكلام الغليظ والسابع أن لا يدعوه باسمه والثامن أن يمشي خلفه والتاسع أن يرضى له ما يرضى لنفسه ويكره له ما يكره لنفسه والعاشر أن يدعو له بالمغفرة كلما يدعو لنفسه

Artinya:” Dikatakan bahwa orang tua mempunyai sepuluh hak terhadap anak, yang pertama adalah jika ia membutuhkan makan, maka ia diberi makan, dan yang kedua adalah jika ia memerlukan pakaian, maka berilah pakaian kepadanya jika ia mampu. diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dalam menafsirkan firman allah swt: “Dan temani mereka di dunia dengan kebaikan.” 

Beliau bersabda: “Teman yang baik adalah memberi mereka makan jika mereka lapar.” Dia menutupi mereka ketika mereka telanjang, dan yang ketiga, jika salah satu dari mereka membutuhkan jasanya, melayaninya. Yang keempat, jika dia memanggilnya, akan menjawab dan melayaninya. Yang kelima, jika dia memerintahkannya melakukan sesuatu, taatilah kecuali ia menyuruhnya berbuat dosa atau ghibah. Keenam berbicara kepadanya dengan lembut dan tidak berbicara kepadanya dengan kata-kata kasar. 

Ketujuh adalah tidak memanggil dengan namanya. Kedelapan adalah berjalan di belakang. dia, dan yang kesembilan adalah merasa puas dengan apa yang dia ridha, dia membenci dirinya sendiri, apa yang dia benci pada dirinya sendiri, dan yang kesepuluh adalah mendoakan ampunannya ketika dia mendoakan dirinya sendiri.

Demikian penjelasan 10 kewajiban anak kepada orang tua menurut Imam Abu Laits Al Samarqandi semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Menyegerakan Tidur dalam Perspektif Sains dan Islam

Manusia memiliki sebuah prinsip atau aturan hidup umum yang berlaku. Diantara aturan itu adalah menggunakan siang sebagai waktu bekerja dan berkarya dan malam sebagai waktu istirahat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Yunus ayat 67:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ

“Dan Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat dan (menjadikan) siang terang benderang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar” (QS Yunus, 10:67).

Allah Swt memberikan pesan serupa dalam ayat lain di Q.S An-Naba ayat 9-11. Allah Swt berfirman:

وَّجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًاۙ • وَّجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًاۙ • وَّجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاۚ

”Dan Kami jadikan tidurmu untuk beristirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’, 78: 9-11).

Islam menganjurkan umatnya untuk tidak melakukan aktivitas berlebih pada malam hari. Bahkan Rasulullah menyegerakan tidur setelah Shalat Isya. Disebutkan dalam Riwayat Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya dari Aisyah ra, dia berkata: ‘Rasulullah saw. tidak tidur sebelum isya’ dan tidak begadang setelah isya’.” Mengacu pada apa yang dilakukan Nabi Muhammad, kita dianjurkan untuk tidak tidur terlalu larut malam. Di Indonesia waktu tidur cepat antara jam 21.00-22.00.

Hal senada dapat kita temui dari para ahli kesehatan yang menguatkan mengapa kita dianjurkan tidur lebih awal dan tidak dianjurkan tidur terlalu larut malam. Sebab, tubuh manusia pada saat malam hari secara alamiah melakukan yang namanya detoksifikasi (lintasan metabolisme yang mengurangi kadar racun di dalam tubuh). Pukul 21.00 manusia mengalami detoksifikasi kelenjar getah bening atau sistem antibodi. Selanjutnya pada pukul 23.00 dimulailah detoksifikasi liver atau hati. Barulah pukul 01.00 pagi hingga pukul 03.00 dipurnakan dengan detoksifikasi empedu.

Segala proses detoksifikasi ini terjadi secara alamiah apabila manusia beristirahat secara total. Oleh karena itu, disyaratkan untuk tidur lebih awal dan bangun pukul 03.00 supaya dapat memperoleh manfaat dari proses pembersihan racun-racun dalam tubuh.

Memang ada sebagian ahli kesehatan yang mengatakan bahwa tidak masalah seseorang tidak tidur malam. Asalkan mengganti tidur malamnya dengan tidur di esok harinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh dokter Ari Fahrial Syam dalam tulisannya berjudul “mitos tidur terlalu larut malam, benarkah ganggu proses detoksifikasi alami tubuh?” di suara.com.

Namun hal ini berlaku jika ada faktor tertentu seperti harus bekerja di malam hari. Banyak profesi yang mengharuskan manusia bekerja di malam hari seperti dokter jaga malam, satpam, dan karyawan shift malam. Akan tetapi, dokter Ari juga menyetujui dengan pendapatnya bahwa tidak baik membiasakan diri beraktivitas di jam tidur karena tubuh membutuhkan metabolisme normal dengan tidur di malam hari.

Oleh sebab itu, para ahli kesehatan sangat merekomendasikan untuk menjaga kesehatan adalah dengan tidur di awal waktu dan bangun di sepertiga malam terakhir. Itulah mengapa sebabnya Nabi Muhammad menganjurkan shalat malam dengan tidur terlebih dahulu. Pola hidup ini adalah pola gaya hidup Nabi Muhammad Saw.

Dengan beristirahat yang cukup di malam hari dan memulai beraktivitas dengan beribadah di pagi hari, Nabi Muhammad tidak hanya memberikan contoh menjadi muslim yang baik tapi juga menjadi teladan dalam menjalani hidup sehat. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad 14 abad yang lalu, ternyata terkuak bahwa sebenarnya ada manfaat tidur di awal waktu dan bangun di sepertiga malam terakhir. Detoksifikasi yang terjadi pada tubuh manusia tidak hanya berhenti pada pukul 03.00 saja, namun berlangsung hingga pukul 05.00 yaitu detoksifikasi paru paru. Detoksifikasi berlangsung dengan menghirup udara segar diluar. Ini terjadi pada muslim ketika hendak melaksanakan shalat subuh, keluar dari rumahnya, menuju masjid. Paru paru menjadi optimal saat melangkah berjalan kaki menuju masjid.

Wallahu a’lamu bi al-shawab.

ISLAMKAFFAH

Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu

Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?”

Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka.

Makna mengusap khuf

“Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ).

Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan,

المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ

Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1]

Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2],

الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق

Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3]

Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan.

Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam.

Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf

Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf:

ويرون المسح على الخفين

Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4]

Di antara dalil-dalilnya adalah:

Pertama: Firman Allah Ta’ala,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5].

Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6]

Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda,

دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين

Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7]

Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab,

نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه

Ya, saya melihat Rasulullah kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8]

Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9]

Syarat-syarat mengusap khuf

Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu.

Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan.

Syarat-syarat yang disepakati

Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut:

Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna

Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan,

كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم

Rasulullah biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10]

Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf.

Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya

Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah).

Ketiga: Khuf harus suci

Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya.

Syarat-syarat yang diperselisihkan

Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut:

Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu

Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi.

Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena:

Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya.

Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap.

Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah.

Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit

Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,

أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين

“Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11]

Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam

Ketiga: Khuf harus mubah (halal).

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal.

Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12]

Kadar dan cara mengusap khuf

Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13]

Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf

Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut:

Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf.

Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal.

Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama.

Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah.

Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14]

Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf

Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut.

Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut.

Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15]

Durasi mengusap khuf

Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan,

جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم

“Rasulullah menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16]

Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17]

Kapan mulai durasi pengusapan?

Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan,

يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا

Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18]

Tentang durasi membasuh khuf dalam safar

Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai?

Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas:

Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir.

Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.

Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir.

Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.

Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.

Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19]

Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf

Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين

Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20]

Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati.

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Artikel: Muslim.or.id

Referensi utama:

Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M

Catatan kaki:

[1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah

[2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah

[3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322

[4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49

[5] QS. Al-Ma’idah: 6

[6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556

[7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274

[8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543

[9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360

[10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.”

[11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159

[12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90

[13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268

[14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92

[15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94

[16] HR. Muslim no. 267

[17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86

[18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah

[19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94

[20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274

Sumber: https://muslim.or.id/91699-mengusap-khuf-kaos-kaki-dan-sepatu-ketika-wudu.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Surah Al-Fatihah sebagai Ruqyah

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »

Bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati suatu perkampungan Arab. Saat itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu.

Penduduk kampung tersebut lantas berkata kepada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, -pen) karena pemimpin kampung ini tersengat binatang atau terserang demam.”

Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya, ada.”

Lalu, salah seorang sahabat pun mendatangi pemimpin kampung tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surah Al-Fatihah.

Akhirnya, pemimpin kampung tersebut sembuh. Lalu, yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor (dalam riwayat lain potongan daging) kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lalu, ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau.

Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah, kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah saja.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah (artinya: bisa digunakan untuk meruqyah, -pen)?”

Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201)

Kandungan hadis

Pertama, bolehnya menerima upah dari ruqyah dan mengajarkan Al-Qur’an

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata bahwa upah ruqyah ada 2 akad, yaitu:

Pertama: Akad ju’alah, yaitu mempersyaratkan hasil (kesembuhan) baru dapat upah. Jadi, apabila tidak sembuh, maka tidak boleh dapat upah.

Kedua: Akad ijarah, yaitu jasa dengan bentuk yang jelas dari segi waktu dan upahnya. Misalnya dalam waktu 30 menit dibayar sekian (ada kesepakatan sebelumnya). Meskipun tidak sembuh, boleh ambil upah. (Lihat Al-Mughni, 5: 314)

Begitu pula, dalam mengajarkan Al-Qur’an diperbolehkan mengambil upah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya yang lebih pantas untuk diambil upah adalah dari pengajaran Al-Quran.” (HR. Bukhari)

Namun, yang dilarang adalah apabila seseorang murni menerima upah karena membaca Al-Qur’an. Seperti ketika seseorang diundang untuk menjadi qari’ (membacakan suatu ayat Al-Qur’an) dalam acara hajatan tertentu, maka ia tidak diperbolehkan mengambil upah yang diberikan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. Al Baqarah: 41)

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia melewati seorang pembaca yang sedang membaca (Al-Qur’an), lalu dia meminta (imbalan), maka Imran mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Lalu, dia berkata bahwa Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ القُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ، فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ القُرْآنَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ

“Barangsiapa membaca Al-Qur’an, hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya. Sesungguhnya akan datang kaum-kaum yang mereka membaca Al-Qur’an, lalu dengannya mereka meminta-minta kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2917 dan Ahmad, no. 19885. Dihasankan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth di dalam Takhrijul Musnad)

Kedua, bolehnya memberikan dan menerima ruqyah

Allah Ta’ala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim, selain kerugian.(QS. Al-Isra: 82)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لا بأسَ بالرُّقى ما لَم تَكُن شِركًا

Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan. (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga melakukan ruqyah dan beliau pun pernah di-ruqyah oleh malaikat Jibril. Demikian juga, para sahabat Nabi pun melakukannya.

Dari Usman bin Abu Al-Ash Ats-Tsaqafiy berkata,

قَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِي وَجَعٌ قَدْ كَادَ يُبْطِلُنِي فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلْ يَدَكَ الْيُمْنَى عَلَيْهِ وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَقُلْتُ ذَلِكَ فَشَفَانِيَ اللَّهُ

Aku mendatangi Nabi dan aku sedang menderita penyakit yang sangat mengganggu, maka beliau bersabda kepadaku, ‘Letakkan tanganmu yang kanan di atasnya (yaitu, di atas bagian tubuh yang sakit), lalu ucapkan, ‘Bismillahi audzu biizzatillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru.’ (Dengan nama Allah, aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaan-Nya dari sakit yang aku derita ini) sebanyak tujuh kali.Maka, aku mengucapkan seperti itu dan Allah pun menyembuhkanku.(HR. Ibnu Majah)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

كَانَ إِذَا اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَاهُ جِبْرِيلُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ يُبْرِيكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَشَرِّ كُلِّ ذِي عَيْنٍ

Dahulu jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang sakit, maka Jibril datang meruqyah beliau. Jibril mengucapkan, ‘Bismillaahi yubrika, wa min kulli dain yasyfika, wa min syarri hasidin idzaa hasada, wa syarri kulli dzi ainin.’ (Dengan nama Allah yang menciptakanmu, Dialah Allah yang menyembuhkanmu dari segala macam penyakit, dari kejahatan pendengki ketika ia mendengki, serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat semua makhluk yang memandang dengan kedengkian). (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain, Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يتعوَّذُ منَ الجانِّ وعينِ الإنسانِ حتَّى نزَلتِ المعوِّذتانِ فلمَّا نزلَتا أخذَ بِهِما وترَكَ ما سواهما

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berlindung dari jin dan ‘ain (mata hasad manusia), sampai turun dua Mu’awwidzataan (surah Al-Falaq dan surah An-Nas). Ketika keduanya turun, beliau mengambil keduanya dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 2058 dan ia berkata bahwa hadisnya hasan)

Ruqyah diperbolehkan selama berasal dari bacaan Al-Qur’an atau zikir yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bacaan tersebut tidak mengandung unsur kesyirikan. Hal tersebut karena Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa ada 70.000 orang yang dijamin masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa,

هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak melakukan thiyarah (beranggapan sial), dan hanya kepada Allah mereka bertawakal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, bolehnya me-ruqyah orang kafir

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih tentang bolehnya seorang muslim me-ruqyah orang kafir, sebagaimana hadis di atas bahwa penduduk kampung yang disinggahi oleh para sahabat di atas dan menolak menerima mereka sebagai tamu itu adalah kaum kafir. Para sahabat pun juga tidak menolak untuk me-ruqyah-nya. (Lihat Majmu’ Kutubi wa Rasail wa Fatawa, 4: 292)

Orang kafir yang dimaksud adalah orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin (bukan kafir harbi).

Keempat, sikap wara’ (kehati-hatian) para sahabat

Tatkala para sahabat diberikan upah dari ruqyah berupa daging kambing, mereka enggan memakannya karena takut kalau menerima upah atas ruqyah itu dilarang, sampai mereka bertemu dan menanyakan hukumnya terlebih dulu kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Padahal, saat itu mereka sedang butuh dan kelaparan.

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, mulianya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Agar para sahabat merasa yakin atas ucapan dan hukum yang telah diterangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun meminta potongan daging kambing tersebut untuk dimakan bersama-sama.

 ***

Penulis: Arif Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/91508-surah-al-fatihah-sebagai-ruqyah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Mengenal Yaumul Hisab, Hari Perhitungan Amal di Akhirat

Hari penghitungan amal atau yaumul hisab dilakukan saat hari kiamat.

Yaumul Hisab (Hari Perhitungan) adalah hari di mana setiap orang Muslim akan dihitung amalnya dan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan selama menjalani kehidupan di dunia. Allah SWT berfirman:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah ayat 7-8)

Dalam ayat lain, ditekankan juga sebagai berikut:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حٰسِبِيْنَ

“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (QS. Al Anbiya ayat 47)

Termasuk juga ayat 17 Surat Gafir, yang berisi ganjaran atas setiap perbuatan seorang hamba. Allah SWT berfirman:

اَلْيَوْمَ تُجْزٰى كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ ۗ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Pada hari ini setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Gafir ayat 17)

Di Yaumul Hisab, setiap anggota tubuh akan berbicara dan menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan, dan mulut terkunci. Tidak ada tempat bagi dusta, ketidakjujuran, kepalsuan, kepura-puraan, atau pembantahan, pada Yaumul Hisab itu.

Adapun dalam riwayat hadits, juga dijelaskan mengenai suatu hari yang di dalamnya setiap hamba akan ditanya tentang kenikmatan yang dirasakan di dunia. Berikut haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةَ { ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنْ النَّعِيمِ } قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَيِّ النَّعِيمِ نُسْأَلُ فَإِنَّمَا هُمَا الْأَسْوَدَانِ وَالْعَدُوُّ حَاضِرٌ وَسُيُوفُنَا عَلَى عَوَاتِقِنَا قَالَ إِنَّ ذَلِكَ سَيَكُونُ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa telah turun ayat ini, ‘Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).’ (Surat At Takasur ayat 8).

Maka orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, kenikmatan apa yang kami akan ditanya? Sesungguhnya hanya ada dua hal yang hitam (kurma dan air), musuh datang sementara pedang-pedang kami berada pada pundak-pundak kami.” Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya itu akan terjadi.” (HR. Tirmidzi)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya terhadap ayat 8 Surat At Takasur, bahwa pada hari itu setiap hamba akan ditanya tentang bentuk syukur atas anugerah yang telah Allah berikan. Anugerah ini bisa berupa kesehatan, keamanan, rezeki dan lainnya. Bentuk syukur dan ibadah seperti apa yang dilakukan untuk membalas nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.

Umar bin Khattab pernah menyampaikan sebuah perkataan ihwal hisab ini. Dia berkata, “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu”, yang artinya ialah “Hisablah dirimu (amalmu) sebelum kelak engkau dihisab (oleh Allah SWT).”

Maka di sinilah letak pentingnya seorang hamba untuk selalu introspeksi atau evaluasi diri selama hidup di dunia, sebelum datang hari perhitungan amal yakni Yaumul Hisab.

sumber : Islamqa

Setiap Manusia akan Menghadapi Hari Perhitungan

Setiap amal perbuatan manusia selama di dunia akan dihitung .

Setiap manusia akan menghadapi hari perhitungan pada hidup setelah kematian. Setiap amal perbuatannya selama di dunia akan dihitung berapa antara amal baik dan yang buruk. Masing-masing individu hanya akan memikirkan nasibnya sendiri.

Surah al-Anbiya’ ayat 47 menggambarkan tentang hari perhitungan amal manusia. Ayat tersebut berbunyi:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حٰسِبِيْنَ

Wa naḍa‘ul-mawāzīnal-qisṭa liyaumil-qiyāmati falā tuẓlamu nafsun syai’ā(n), wa in kāna miṡqāla ḥabbatim min khardalin atainā bihā, wa kafā binā ḥāsibīn(a).

Artinya: Kami akan meletakkan timbangan (amal) yang tepat pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun (amal itu) hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.”

Dalam ayat tersebut menggambarkan bahwa setiap amal perbuatan apapun besar maupun kecil akan tercatat dan terhitung. Dari amal perbuatan akan ada timbangan sehingga tak akan merugikan seorangpun.

Tafsir tahlili dalam Quran Kemenag  menerangkan ayat tersebut menunjukkan Allah akan memperlihatkan keadilannya ketika menghitung amal dan perbuatan manusia selama di dunia. Keadilan yang akan diterapkan Allah membuat setiap orang tak akan dirugikan.

Setiap penialain akan dilakukan setepat-tepatnya. Amal baik maupun buruk manusia tak akan dikurangi ataupun ditambah. Kendati demikian Allah mempunyai kebijakan apakah akan menggandakan pahala atas amal baiknya di dunia. Sebaliknya apakah Allah akan memberikan hukuman yang lebih ringan atas dosa-dosanya.

Tafsir tersebut juga mengatakan bahwa keadilan yang akan diterapkan Allah pada hari perhitungan nanti ditegaskan pada bagian akhir ayat tersebut yakni “Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.”

Mengenai setiap perbuatan baik dan buruk tak akan terlewatkan untuk dicatat serta balasannya tertuang dalam Surah lain yakni Surah az-Zalzalah ayat 7-8:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ

Famay ya‘mal miṡqāla żarratin khairay yarah(ū).

Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”

وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ

Wa may ya‘mal miṡqāla żarratin syarray yarah(ū).

“Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”

IHRAM

Lakukan Minimal 4 Persiapan Ini Menyambut Ramadhan 1445 H

Ramadhan 1445 Hijriyah yang sudah di depan mata harus disambut sebaik mungkin oleh kaum Muslimin. Oleh karena itu, umat Islam perlu melakukan berbagai persiapan.

Tentu banyak persiapan penting dalam menyambut Ramadhan. Setidaknya ada empat hal sebagaimana disampaikan oleh Majelis Penasehat Hidayatullah, H. Amin Mahmud.

Pesan itu disampaikan pada acara Tarhib Ramadhan 1445 H di Masjid Ar-Riyadh Kampus Induk Hidayatullah Gunung Tembak, Teritip, Balikpapan, Ahad, 8 Sya’ban 1445 H (18/2/2024) bakda subuh.

Berdoa

Persiapan pertama, kata Pembina Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan itu, adalah menyambut Ramadhan dengan berdoa.

Yaitu meminta kepada Allah agar memberikan kesempatan untuk kembali menjalani bulan Ramadhan secara optimal.

“Ya Allah! Berikan barakah kepada kami, keluarga kami, di bulan Sya’ban ini. Dan sampaikanlah kami dengan sehat dan kuat untuk bisa sampai di bulan Ramadhan,” doa sang ustadz tersebut seraya diaminkan hadirin.

“Mudahan-mudahan tarhib Ramadhan kita ini dapat barakah,” doanya pula.

Bergembira

Persiapan kedua menyambut Ramadhan adalah dengan bergembira. Yaitu mengondikasikan jiwa (batin) agar berbahagia kedatangan bulan suci Ramadhan.

“Kita harus gembira, senang, bahagia dengan akan datangnya Ramadhan,” pesannya.

Meskipun seseorang dalam kondisi yang sedang tidak stabil, tetap berupaya untuk berjiwa bahagia menyongsong Ramadhan.

Ia mengatakan, meskipun misalnya ekonomi sedang susah, harga-harga pada naik, tapi usahakan tidak bersedih. Sebab, kebahagiaan menyambut Ramadhan tidak diukur dari materi. Tapi kebahagiaan secara spiritual.

“Jangan menilai fadilah Allah dalam bentuk materi,” pesannya.

Namun demikian, ia mendoakan, “Mudahan-mudahan kita diberikan solusi dalam menghadapi persoalan hidup kita.”

Susun Program

Persiapan ketiga menyambut Ramadhan adalah menyusun program-program untuk kesuksesan Ramadhan.

“Menyusun program, program pribadi, program keluarga, dan program jamaah,” pesan Amin Mahmud.

“Sekarang kita sudah ada panitia (Ramadhan), programnya untuk kita semua. Diikuti (program tersebut)!” imbaunya.

Di antara program penting selama Ramadhan adalah membaca Al-Qur’an dan shalat.

Saling Memaafkan

Persiapan keempat dalam menyambut Ramadhan, menurut Amin Mahmud, yaitu saling memaafkan.

Memang sebelum-sebelumnya juga kita sudah saling memaafkan. Tapi menjelang Ramadhan kembali kita saling memaafkan.

“Kita saling berlapang dada, saling meminta maaf,” pesannya. “Sehingga (saat) Ramadhan, hati kita bersih, tidak ada ganjalan-ganjalan.”

Ia pun berpesan agar kaum Muslimin khususnya warga Hidayatullah bisa lebih fokus menggapai kesuksesan Ramadhan yaitu berpredikat taqwa.

“Di bulan Ramadhan kita lebih konsentrasi kepada akhirat kita,” ujarnya.

Tarhib Ramadhan 1445 H itu berlangsung sejak Sabtu bakda isya, 8 Sya’ban 1445 H (17/2/2023) hingga Ahad pagi.

Tahun ini, Panitia Ramadhan 1445 H Hidayatullah Balikpapan mengusung tema “Ramadhan Berkah Bersama Al-Qur’an”.*

HIDAYATULLAH

Bijak dalam Utang Piutang

Bagi yang menunda pembayaran atau tak melunasi utang padahal mampu, dalam Islam dianggap pelaku kriminal, ada sanksi atasnya

TIDAK salah memang opini bahwa utang pemutus silaturahim paling tajam. Karena tak jarang berawal dari utang timbul permusuhan yang berakhir di meja hijau atau melayangnya nyawa.

Mengapa terjadi demikian? Ada perihal yang terlupakan oleh pelaku utang piutang. Yaitu sabda Rasulullah ﷺ al ‘ilmu qobla qaul wa ‘amal (ilmu sebelum perkataan dan perbuatan). Ya minimnya ilmu terkait utang piutang menyebabkan pelaku salah langkah dalam menjalaninya. 

Istilah utang dalam bahasa Arab adalah al-dain (jama’nya al-duyun). Maknanya :

ما كان في الذمة ما ثبت من المال في الذمة بعقد أو استهالك أو استقراض

Artinya : Apa-apa yang telah tetap dari harta dalam tanggungan karena adanya  akad, perusakan atau peminjaman.

Utang karena akad maksudnya pembayaran uang atau penyerahan barang tak tunai dalam suatu akad (jual beli, ijarah, nikah).

Misalnya dalam akad jual beli, pembeli membayar tempo atau angsuran pada penjual. Dalam akad jual beli salam (pesan) dan istishna (pesan buat), penjual belum menyerahkan barang saat pembeli sudah membayar lunas.

Dalam akad ijarah seperti sewa menyewa, penyewa belum membayar uang sewaannya. Dalam akad nikah, suami belum membayar tunai mahar istrinya. 

Dalam perusakan barang ada utang karenanya harus diganti. Dalilnya saat Rasulullah ﷺ menginap di rumah Sayyida Aisyah, istri lain memberikan makanan berwadah piring. Sayyidah Aisyah cemburu dan membanting piringnya sehingga pecah. Lalu Rasulullah bersabda :

إِنَاءٌ بِإِنَاءٍ

Artinya:  “Piring dengan piring.” (HR.Bukhari)

Utang pinjaman (istiqradh) maksudnya sesuatu yang diberikan pada orang lain dengan dikembalikan semisal (jenis dan jumlahnya). Contohnya pinjam emas 5 gram, harus dikembalikan emas 5 gram. Tak boleh dikembalikan  dalam bentuk uang seharga emas 5 gram atau  dikembalikan dengan emas tapi massanya berbeda.

Adab Utang Piutang

Agar menuai pahala dan mempererat persaudaraan, dalam utang piutang perlu memperhatikan adab berikut :

Pertama, niat shahih dalam akad.

Bagi pengutang berutang dengan alasan syar’i. Seperti untuk pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papa, kesehatan, pendidikan) atau hal produktif (modal usaha).

Penggunaan uang/harta dari utang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga muslim harus menjauhkan diri dari berutang untuk gaya hidup, gengsi atau foya-foya. 

Bagi pemilik piutang, berniat menolong saudaranya dalam kesulitan (ta’awun). Dilihat dari standar dunia, piutang memang ‘mengurangi’ harta.

Tapi Allah berjanji menolong hamba yang menolong saudaranya. Sehingga tak ada yang diharapkan dari piutang selain pahala dan ridha Allah. Rasulullah ﷺ bersabda :

مَن نَفَّسَ عن مؤمنٍ كُرْبَةً من كُرَبِ الدُّنيا نَفَّسَ اللهُ عنه كُرْبَةً من كُرَبِ يومِ القِيَامَة، ومن يَسَّرَ على مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخرةِ

“Siapa yang melapangkan seorang mukmin dari kesusahan dunia, niscaya Allah melapangkan baginya kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang dilanda kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat.” (HR.Muslim).

Kedua, memenuhi akad.

Bagi pengutang, berniat melunasi dan tak menunda pembayaran utang. Termasuk kezaliman bagi yang menunda pembayaran utang padahal mampu.

Bahkan dicap pencuri di sisi Allah bagi sengaja tak melunasi utang. Di akhirat utang tersebut menjadi penyesalan dan kerugian karena dibayar dengan amal kebaikannya. Rasulullah ﷺ bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya.” (HR Bukhari:).

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”  (HR. Ibnu Majah).

Bagi pemilik piutang, dianjurkan memberi tenggang waktu untuk pengutang yang kesulitan membayar hingga lapang. Dianjurkan juga mensedekahkan utang tersebut.

Memang berat, tapi ada janji dan balasan baik dari Allah bagi yang menghilangkan beban saudaranya. Allah SWT berfirman :

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 280).

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ

“Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan Arsy di hari kiamat.” (HR.Muslim).

Ketiga, tertib akad

Sering terjadi seiring berlalunya waktu antara pengutang dan pemilik piutang lupa kuantitas utang. Untuk mengatasinya, Islam mengajarkan bagi pengutang mencatat utangnya walaupun kecil dan menghadirkan dua saksi laki-laki saat akad.

Dalilnya firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 282.

Bagi pemilik piutang berhak menagih pengutang sesuai dengan waktu kesepakatan pembayaran secara ma’ruf. Bersabar jika tanggapan pengutang tak baik.

Berhak mengingatkan pengutang yang lalai membayar sebagai bentuk nahi munkar tanpa intimidasi dan tekanan. Rasulullah ﷺ bersabda :

خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah).

Keempat, paham konsekuensi akad.

Bagi yang menunda pembayaran atau tak melunasi utang padahal mampu, dalam Islam dianggap pelaku kriminal. Islam menerapkan sanksi tegas atas perbuatan tersebut. Di antaranya;

  • Yaitu hukuman ta’zir sesuai dengan keputusan qadhi (hakim) bukan dari pemberi piutang.
  • Seperti mengambil/menyita hartanya secara paksa dan menjualnya untuk bayar  utang;
  • Mengambil pendapatannya secara paksa sejumlah utang dengan menyisakan kebutuhan pokoknya;
  • Penjara; pukulan yang tak membahayakan dirinya dan tak berlebihan.

Sanksi tersebut bertujuan untuk menjamin kembalinya hak pemilik piutang dan hilangnya kedzaliman, tanpa menimbulkan mudharat bagi pengutang.

Bagi pemilik piutang tak mengambil manfaat dari utang baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, jasa atau lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا أقرض فلا يأخذ هدية

“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari).

Para ulama telah bersepakat haramnya manfaat dari utang karena riba. Ibnu Hajar Asqalani dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah menyatakan :

كُلُّ قَرْضِ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka ia adalah riba.”

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan :

كُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيْهِ أَنْ يَزِيْدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلاَفٍ

Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu adalah haram tanpa ada perbedaan pendapat. Wallahu a’lam bish-shawabi.*/ Desti Ritdamaya

HIDAYATULLAH

3 Amalan Malam Nisfu Sya’ban

Dalam Islam, bulan Sya’ban punya keistimewaan karena dihormati dan menjadi bulan persiapan sebelum Ramadhan. Nabi Muhammad SAW bahkan rajin beribadah lebih banyak di bulan ini. Maka, kita dianjurkan untuk mengikuti jejak beliau dan para sahabat dengan memperbanyak amal ibadah di Sya’ban. Nah berikut amalan malam nisfu Sya’ban.

Puncaknya ada di malam pertengahan Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Malam ini punya banyak keutamaan, melebihi malam-malam lainnya di bulan ini. Berbagai hadis menyebutkan betapa istimewanya malam Nisfu Sya’ban.

Amalan Malam Nisfu Sya’ban

Salah satu amalan malam nisfu Sya’ban adalah berdoa. Dalam sebuh hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Baihaqi, ini menjelaskan tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Di malam itu, Allah turun ke langit dunia dan memberikan ampunan, rezeki, dan pembebasan dari musibah kepada hamba-Nya yang memohon. Oleh karena itu, dianjurkan untuk bangun malam dan berpuasa pada hari Nisfu Sya’ban.

فقد روى ابن ماجه والبيهقي في الشعب عن علي رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلتها وصوموا يومها، فإن الله ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا، فيقول: ألا مستغفر فأغفر له؟ ألا مسترزق فارزقه؟ ألا مبتلى فأعافيه؟ ألا سائل فأعطيه؟ ألا كذا، ألا كذا؟ حتى يطلع الفجر

Artinya; Daripada Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu’ab, meriwayatkan dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika telah tiba malam Nisfu Sya’ban, maka bangkitlah kalian pada malam itu dan berpuasalah pada siangnya. Karena sesungguhnya Allah turun pada malam itu saat matahari terbenam ke langit dunia, lalu Dia berfirman: ‘Adakah orang yang memohon ampunan, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang memohon rezeki, maka Aku akan memberinya rezeki? Adakah orang yang sedang diuji, maka Aku akan membebaskannya dari ujian? Adakah orang yang meminta, maka Aku akan memberinya? Adakah begini, adakah begitu?’ hingga fajar menyingsing.”

Kedua, melaksanakan shalat sunah malam di malam Nisfu Sya’ban. Anjuran ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Albaihaqi dari ‘Ala’ bin Haris. Dalam hadis tersebut, ‘Ala’ bin Haris mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah pada malam Nisfu Sya’ban. Oleh karena itu, melaksanakan shalat sunah pada malam Nisfu Sya’ban merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عن عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم مِنَ الَّليْلِ يُصَلِّيْ فَأَطَالَ السُّجُوْدَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهاَمَهُ فَتَحَرَّكَ، فَرَجَعْتُ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ، وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ، قَالَ: ” يَا عاَئِشَةَ أَوْ يَا حُمَيْرَاءَ ظَنَنْتَ أَنَّ النَّبِيَّ خَاسَ بِكَ؟ “، قُلْتُ: لَا وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنَّكَ قُبِضْتَ لِطُوْلِ سُجُوْدِكَ، فَقَالَ: ” أَتَدْرِيْنَ أَيُّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ “، قُلْتُ: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِيْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ، وَيَرْحَمُ اْلمُسْتَرْحِمِيْنَ، وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ اْلحِقْدِ كَمَا هُمْ “.

Artinya: Dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah berdiri di tengah malam untuk shalat, dan dia memperpanjang sujudnya sehingga saya mengira dia telah wafat. Ketika saya melihat itu, saya berdiri hingga saya meraih ibu jarinya untuk melihat apakah dia masih bernafas, dan ibu jarinya bergerak, maka saya kembali. Ketika dia mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai shalatnya, dia berkata: “Wahai Aisyah, atau Humairah, apakah kamu berpikir bahwa Nabi telah khianat kepadamu?”

Aku berkata: “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, tetapi aku mengira bahwa engkau telah wafat karena lamanya sujudmu.” Dia berkata: “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Dia berkata: “Ini adalah malam pertengahan Sya’ban. Sesungguhnya Allah SWT menengok hamba-hamba-Nya pada malam pertengahan Sya’ban, maka Dia mengampuni orang yang meminta ampunan, merahmati orang yang memohon rahmat, dan menunda hukuman bagi orang yang bermusuhan, sebagaimana mereka.”

Ketiga, membaca surah Yasin sebanyak tiga kali. Menurut kitab Mujribat karya Ad-Dairaby, salah satu praktik yang dianjurkan pada malam Nisfu Sya’ban adalah membaca surat Yasin sebanyak tiga kali dengan niat yang berbeda:

Pertama, membaca Surat Yasin dengan niat memohon umur yang diberkati, serta kepatuhan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kedua, membaca Surat Yasin dengan niat memohon perlindungan dari segala macam bencana, godaan, dan bahaya fisik maupun spiritual. Ketiga, membaca Surat Yasin dengan niat memohon hati yang kaya secara spiritual, yang hanya bergantung pada Allah dan tetap teguh dalam iman Islam hingga akhir hayat.

Menurut Syaikh Muhammad bin Darwisy dalam Asná al-Mathálib, pembacaan Surat Yasin pada malam Nisfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad beberapa ulama, seperti yang dikatakan oleh Syeikh Al-Buni, dan hal ini tidak dianggap sebagai hal yang buruk.

وقال العلامة الديربي في “مجرباته” (ومن خواص “سورة يس” –كما قال بعضهم- أن تقرأها ليلة النصف من شعبان “ثلاث مرات”: الأولى بنية طول العمر، والثانية بنية دفع البلاء، والثالث بنية الإستغناء عن الناس.

Artinya: Dan Imam Ad-Dairobi berkata dalam kitabnya “Al-Mujarrabaat” (dan di antara khasiat Surat Yasin – seperti yang dikatakan beberapa orang – adalah membacanya pada malam Nisfu Sya’ban “tiga kali”: pertama dengan niat panjang umur, kedua dengan niat menghilangkan bala, dan ketiga dengan niat tidak bergantung kepada manusia.

Demikian amalan malam nisfu Sya’ban. Semoga kita semua bisa beribadah pada malam tersebut dan mendapatkan pahala dari Allah. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH