Pentingnya Memiliki Agunan Saat Terlilit Utang, Ini Alasannya

Memberikan jaminan atas utang sangat diwajibkan dalam Islam agar ada jaminan pelunasan utang yang bersangkutan

Oleh: Dr Shamsiah Mohamad  

TIDAK dipungkiri, ada berbagai alasan yang mendorong pihak yang bersangkutan terlilit utang. Terkadang seseorang berada dalam situasi putus asa dari aspek keuangan.

Malah kadang dia tidak terlalu putus asa, tapi dia butuh uang tambahan untuk keperluan investasi dan lain sebagainya.

Islam mewajibkan bayar utang. Dalam istilah muamalat, akad utang disebut dengan al-qard. Sederhananya,  al-qard adalah akad pinjaman uang.

Berbeda dengan akad  al-`ariyah  yang dalam percakapan kita sehari-hari kita sebut sebagai pinjaman juga. Namun akad al-`ariyah ini menyangkut peminjaman benda-benda selain mata uang seperti peminjaman kursi, buku, pulpen dan sejenisnya.

Dalam Islam, ketika kita berutang kepada suatu pihak, baik perorangan maupun lembaga, sebaiknya kita menggadaikan sesuatu. Dalam ilmu muamalat, akad menjaminkan sesuatu terhadap utang yang kita tanggung disebut dengan ar-rahn.

Ar-rahn bukanlah suatu akad yang dapat berdiri sendiri. Sebab, ini merupakan jaminan atas utang. Oleh karena itu hendaknya diterapkan bersamaan dengan akad apa pun yang menghasilkan utang (dayn) seperti  akad al-qard  atau jual beli utang.

Sistem Keuangan Islam

Anjuran memberi agunan ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ࣖ

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Baqarah : 283)

Jaminan sangatlah penting. Meskipun bukan suatu hal yang wajib, namun agunan berperan sebagai bentuk jaminan kepada kreditur bahwa dalam keadaan debitur tidak mampu membayar utangnya, maka kreditur mempunyai cara lain untuk mendapatkan kembali utangnya.

Dengan kata lain, hati kreditur akan merasa lebih tenang apabila ia menyerahkan uangnya kepada pihak lain dengan dasar pinjaman atau ia menjual sesuatu dengan dasar pembayaran yang ditangguhkan.

Sebab, risiko utang yang belum terbayar dikelola melalui agunan yang diberikan debitur.

Dalam keuangan syariah, beberapa produk pembiayaan yang ditawarkan kepada nasabah akan melibatkan agunan seperti pembiayaan perumahan. Yang digadaikan adalah rumah yang dibiayai oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.

Begitu pula dengan pegawai pemerintah yang memperoleh pembiayaan perumahan syariah misalnya, mereka juga wajib menjaminkan rumah yang bersangkutan kepada pemerintah.

Sebenarnya penjaminan utang ini tidak hanya dilakukan pada keuangan syariah saja, namun juga pada keuangan konvensional. Hanya saja, dalam keuangan syariah, agunan tunduk pada hukum al-rahn.

Di Malaysia, lembaga keuangan syariah yang menawarkan produk al-rahn  terikat dengan Dokumen Kebijakan Al-Rahn yang dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia (BNM).

Meskipun pihak lain yang tidak berada dalam regulasi BNM tidak tunduk pada Dokumen Kebijakan al-Rahn ketika mereka menawarkan produk terkait al-rahn,  namun ada baiknya jika mereka merujuk pada dokumen terkait untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hukum syariah dalam produk yang mereka tawarkan kepada pelanggannya.

Terakhir, ketahuilah bahwa memberikan jaminan atas utang sangat diwajibkan dalam Islam agar ada jaminan pelunasan utang yang bersangkutan.*  

Terakhir, ketahuilah bahwa memberikan jaminan atas utang sangat diwajibkan dalam Islam agar ada jaminan pelunasan utang yang bersangkutan. Tuhan memberkati.*

HIDAYATULLAH

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 3): Mengenal Isim Mu’rab dan Mabni

Apa itu Isim Mu’rab dan Mabni?

Ibnu Hisyam mengatakan,

 وَهُوَ ضَرْبَانِ : مُعْرَابٌ, وهو ما يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ بِسَبَبِ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَيْهِ كَزَيْدٍ, وَمَبْنِيٌّ، وَهُوَ بِخِلَافِهِ

Isim ada 2 macam, yaitu:

Pertama, mu’rab. Isim mu’rab adalah berubahnya akhir dari sebuah kata dikarenakan sebab masuknya ‘amil (faktor/penyebab) pada isim tersebut, seperti زَيْدٍ.

Kedua, mabni. Isim mabni adalah kebalikan dari isim mu’rab.

Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa setelah Ibnu Hisyam menyebutkan ciri-ciri isim, Ibnu Hisyam menyebutkan macam-macam isim yang ditinjau dari sisi i’rab (perubahan akhir sebuah katanya). Bahwasanya isim ada 2 macam:

Pertama, Isim mu’rab

Isim mu’rab adalah akhir dari katanya tersebut berubah dikarenakan masuknya ‘amil (faktor/penyebab). Contohnya:

قَدِمَ الضَّيْفُ

“Tamu itu telah tiba.”

رَأَيْتُ الضَّيْفَ

“Saya telah melihat tamu itu.”

سَلَّمْتُ عَلَى الضَّيْفِ

“Saya telah mengucapkan salam kepada tamu itu.”

Maka, akhir dari sebuah kata, yaitu huruf ف (fa) yang digaris bawahi tersebut bisa berubah. Bisa dibaca dhammah, fathah, dan kasrah karena masuknya ‘amil pada isim tersebut. Pada kalimat yang pertama, ‘amil-nya adalah قَدِمَ. Pada kalimat yang kedua, ‘amil-nya adalah رَأَى. Dan pada kata ketiga, ‘amil-nya adalah عَلَى.

Syekh Abdullah ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan ‘amil adalah yang menyebabkan akhir sebuah kata berubah dalam bentuk tertentu dari bentuk-bentuk i’rab (perubahan). ‘Amil ada 2, yaitu:

Pertama, lafzhi (eksplisit). Contohnya fi’il bisa menjadi ‘amil (penyebab) adanya fa’il, huruf jer, dan lain-lain.

Kedua, ma’nawi (implisit). Contohnya al-ibtida (berada di awal kalimat) yang merupakan alasan mubtada menjadi marfu’.

Ibnu Hisyam mengatakan,

ما يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ

“Yang keadaan akhir katanya bisa berubah.”

Adapun i’rab, bukanlah sesuatu yang berubah pada awal kata ataupun tengah kata, karena itu masuk pada pembahasan ilmu sharaf. Contohnya: ketika membuat bentuk tasghir, فَلْسٍ menjadi فُلَيْسٌ dan  دِرْهَمٌ menjadi  دُرَيْهِمٌ.

Kedua, Isim mabni

Ibnu Hisyam mengisyaratkan isim mabni adalah kebalikan dari isim mu’rab. Syekh Abdullah ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya isim mabni adalah lawan isim mu’rab. Yaitu, isim mu’rab berubah keadaan akhir katanya, sedangkan isim mabni selamanya dalam keadaan satu keadaan. Tidak akan pernah berubah walaupun kemasukan ‘amil. Contohnya:

حَضَرَ الَّذِي فَازَ فِي الْمُسَابَقَةِ

“Orang yang menang pada perlombaan itu telah datang.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai fa’il yang merupakan isim mabni.

هَنَّأْتُ الَّذِي فَازَ فِي الْمُسَابَقَةِ

“Saya mengucapkan selamat kepada orang yang menang dalam perombaan itu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih yang merupakan isim mabni.

سَلَّمْتُ عَلَى اَّلذِي فَازَ فِي المُسَابَقَةِ

“Aku mengucapkan salam kepada orang yang menang dalam perlombaan itu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai isim majrur yang merupakan isim mabni.

Kata اَّلذِي yang terdapat pada 3 contoh di atas adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun. Tidak akan pernah berubah keadaan akhir kata isim tersebut, walaupun ada ‘amil rafa’, nashab, dan jer.

Tanda Isim mabni

Ibnu Hisyam mengatakan,

كَهَؤُلَاءِ فِي لُزُوْمِ الْكَسْر، وَكَذَلِكَ حَذَامِ وَأَمْسِ فِي لُغَةِ الْحِجَازِيِّيْنَ

“Contoh isim mabni adalah  حَذَامِ, أَمْسِ, هَؤُلَاءِ, selamanya berakhiran harakat kasrah menurut dialeg Hijaz.”

Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya Ibnu Hisyam menyebutkan tanda isim mabni ada 4 macam, yaitu:

Pertama, mabni dengan harakat fathah;

Kedua, mabni dengan harakat sukun;

Ketiga, mabni dengan harakat dhammah;dan

Keempat, mabni dengan harakat kasrah.

Ibnu Hisyam menjelaskan isim mabni dimulai dari mabni dengan harakat kasrah. Isim mabni dengan harakat kasrah ada dua macam. Yaitu:

Pertama, disepakati mabni-nya dengan harakat kasrah. Seperti isim isyarah (kata tunjuk). Contohnya هَؤُلَاءِ. Semua orang Arab meng-kasrah akhir kata tersebut dalam semua keadaan. Contohnya:

هؤُلَاءِ الطُّلَّابِ مُجِدُّوْنَ

“Para siswa itu adalah siswa yang rajin.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya rafa’ sebagai mubtada’.

هؤُلَاءِ وَرَأَيْتُ

“Saya telah melihat mereka.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya manshub’ sebagai maf’ul bih (objek).

وَمَرَرْتُ بهؤُلَاءِ

“Saya berpapasan dengan mereka.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya isim majrur kerena didahului huruf jer.

Adapun huruf هـ (ha) pada kata yang bergaris bawah tersebut adalah huruf tanbih. Huruf tanbih fungsinya adalah huruf yang menyiapkan konsentrasi pendengar terhadap apa yang akan disampaikan. Huruf tersebut mabni dengan tanda sukun dan tidak ada kedudukannya di dalam i’rab.

Kedua, diperselisihkan status mabni-nya dengan tanda kasrah. Ibnu Hisyam menyebutkan dua contoh:

Yang pertama, semua nama muannats yang berwazan فَعَالِ. Contohnya:

حَذَامِ

Julukan diberikan kepada perempuan di zaman jahiliyyah yang jujur dan benar dalam menukil berita.”

سَجَاحِ

Istri Musalamah Al-Kadzab yang mengaku sebagai nabi.”

رَقَاشِ

Seorang wanita yang terkenal sebagai dukun perempuan.”

Menurut dialeg penduduk Hijaz, nama tersebut mabni dengan tanda kasrah ketika kedudukan rafa’, nashab, dan jer. Walaupun nama tersebut diakhiri oleh huruf ر (ra) ataupun tidak. Alasannya adalah dikarenakan diserupakan dengan kata نَزَالِ (turunlah). Kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna fi’il). Contohnya:

هذِهِ حَذَامِ

“Ini adalah Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai khabar mabni dengan keadaan kasrah.

رَأَيْتُ حَذَامِ

“Aku telah melihat Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek) mabni dengan tanda kasrah.

مَرَرْتُ بِحَذَامِ

“Aku telah melewati Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer dan mabni dengan harakat kasrah.

Adapun sebagian Bani Tamim, menganggap kata tersebut mu’rab (bisa berubah) dan di-i’rab seperti ismuladzi laa yansharif. Contohnya:

هذِهِ حَذَامُ

“Ini adalah Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai khobar هذِه  marfu’ dengan tanda dhammah.

رَأَيْتُ حَذَامَ

“Aku telah melihat Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek) manshub dengan tanda fathah.

مَرَرْتُ بِحَذَامَ

“Aku telah berpapasan dengan Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer dan majrur dengan tanda fathah pengganti kasrah karena isim mamnu’ minasshorfi.

Adapun mayoritas Bani Tamim, membedakan nama yang diakhiri huruf ر (ra), maka mabni dengan tanda kasrah. Sebagaimana pendapat yang dianut penduduk Hijaz. Contohnya ظَفَارِ (nama daerah di Yaman). Maka, kata tersebut mabni dengan tanda kasrah karena diakhiri huruf ر (ra). Adapun nama yang ber-wazan فَعَالٍ yang tidak berakhiran huruf ر (ra), maka kata tersebut mu’rab (bisa berubah) dan di-i’rab seperti ismuladzi laa yansharif.

Yang kedua: Kata yang diperselisihkan status mabni-nya adalah kata أمس . Penduduk Hijaz me-mabni-kan kata tersebut dengan tanda akhir kasrah pada semua keadaan i’rab dengan syarat:

Pertama, kata tersebut tidak berstatus sebagai zharaf (tidak menunjukkan keterangan waktu terjadinya perbuatan).

Kedua, kata tersebut tidak ada al.

Ketiga, tidak di-idhafah-kan.

Keempat, kata tersebut dimaksudkan artinya kemarin secara langsung. Bukan أمس  yang diartikan waktu “telah” secara umum. Contohnya dalam kalimat:

مَضَى أَمْسِ بِمَا فِيْهِ

“Kemarin beserta kejadian-kejadian yang terjadi pada waktu itu telah berlalu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempatnya rafa’ sebagai fa’il.

تَأَمَّلْتُ أَمْسِ بِمَا فِيْه

“Saya merenungi waktu kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempatnya nashab sebagai maf’ul bih.

ما رَأَيْتُهُ مُذْ أَمْسِ

“Saya tidak melihat dia sejak kemarin.”

Kata yang bergaris bawah tersebut di tempat kedudukan majrur sebagai mudhof ilaih dari kata مُذ.

Adapun sebagian penduduk Bani Tamim, menganggap kata kata tersebut mu’rab. Kata tersebut di-i’rab sebagaimana ismuladzi laa yansharif. Mereka me-rofa’-kan dengan tanda dhammah, nashab dan jer dengan tanda kasrah tanpa tanwin. Contohnya:

مَرَّ أَمْسُ بِمَا فِيْه

“Hari kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu telah lewat.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya marfu’ dengan tanda dhammah sebagai fa’il.

قَضَيْتُ أَمْسَ فِيْ الْمَكْتَبَةِ

“Saya habiskan hari kemarin di perpustakaan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya manshub dengan tanda fathah sebagai maf’ul bih.

إِنْتَهَيْتُ مِنْ عَمَلِي مُذْ أَمْسِ

“Saya selesai dari pekerjaan saya sejak kemarin.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya majrur dengan tanda fathah sebagai isim majrur karena didahului huruf jer.

Mayoritas Bani Tamim menganggap kata tersebut ismuladzi laa yansharif ketika kedudukannya rafa’ saja dan mereka me-mabni-kan kata tersebut ketika kedudukannya manshub dan majrur. Sehingga, mayoritas Bani Tamim tidak memasukkan kata tersebut dalam kategori ismuladzi laa yansharif. Sehingga, mereka mengatakan:

مَرَّ أَمْسُ بِمَا فِيْه

“Hari kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu telah lewat.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya marfu’ dengan tanda dhammah sebagai fa’il.

قَضَيْتُ أَمْسِ فِيْ الْمَكْتَبَةِ

“Saya habiskan hari kemarin di perpustakaan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempat kedudukan mashub sebagai maf’ul bih.

انْتَهَيْتُ مِنْ عَمَلِي مُذْ أَمْسِ

“Saya selesai dari pekerjaan saya sejak kemarin.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempat kedudukan majrur  karena didahului huruf jer.

Penjelasan أَمْس yang telah dijelaskan tersebut, apabila tidak berkedudukan sebagai zharaf, akan tetapi hanya menunjukkan makna kemarin secara langsung. Namun, apabila kata أَمْس bermakna dan berkedudukan sebagai zharaf (menunjukkan waktu terjadinya perbuatan) dengan makna في (di waktu kemarin). Contohnya:

سَرَّتْنِيْ زِيَارَتُكَ أَمْسِ

“Kunjunganmu kemarin membuatku bahagia.”

Maka, kata bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai zharaf (menunjukkan waktu terjadinya perbuatan) mabni dengan tanda kasrah menurut dua dialek Hijaz dan Bani Tamim.

Apabila yang dimaksudkan kata أَمْس tersebut adalah hari kemarin kapanpun secara umum, berupa mudhaf, dan ada أل, maka kata tersebut mu’rab. Contohnya:

قَضَيْنَا أَمْسًا فِي نُزْهَةٍ

“Kami habiskan waktu kemarin dengan liburan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut manshub dengan tanda fathah sebagai maf’ul bih.

أَمْسُنا كَانَ جَمِيْلًا

“Masa lalu kami indah.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda dhammah sebagai mubtada.

إنَّ الْأَمْسَ كَانَ جَمِيْلًا

“Sesungguhnya masa lalu itu adalah masa lalu yang indah.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut manshub dengan tanda fathah sebagai isim inna.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata)

Lanjut ke bagian 4: Insyaallah Bersambung

***

Penulis: Rafi Nugraha

Sumber: https://muslim.or.id/91476-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-3-mengenal-isim-murob-dan-mabni.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 3)

Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah)

Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman,

وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115)

Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,

وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا

“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6)

Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih AlJaami’ no. 4316)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih AlJaami’ no. 4315)

Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah.

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“

Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877)

Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah AlGhaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya.

Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah AtTawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah AsySyaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman,

وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80)

Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186)

Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak.

Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah.

Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi.

Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82)

Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar,

لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

“Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)

Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam AlMushanaf no. 37925)

Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)

[Bersambung]

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/91696-sikap-seorang-mukmin-ketika-di-puncak-kesulitan-bag-3.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Lebih dari 207.000 Warga Amerika Serikat Terinfeksi Sifilis  

Penularan sifilis di Amerika Serikat (AS) meluas dan kini berada pada tingkat kasus tertinggi yang tercatat sejak tahun 1950-an, menurut data resmi, dikutip National Public Radio (NPR).

Laporan tahunan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), kasus penyakit menular seksual (PMS) meningkat hampir 80% menjadi lebih dari 207.000 antara tahun 2018 – 2022.  

Angka tersebut meningkat di semua kelompok umur, termasuk bayi baru lahir, dan di seluruh wilayah negara. Pada tahun 2022, dilaporkan 3,755 kasus bayi yang lahir dengan sifilis di AS, yang mencerminkan peningkatan yang mengkhawatirkan sebesar 937% dalam dekade terakhir, kata CDC.

Analisis terhadap klaim Medicaid tahun 2017–2019 di enam negara bagian selatan (Georgia, Kentucky, Louisiana, North Carolina, South Carolina, dan Tennessee) menemukan bahwa meskipun undang-undang negara bagian mewajibkan skrining sifilis prenatal, tingkat skrining sebenarnya berkisar antara 56% hingga 91%.

Laporan tersebut melanjutkan bahwa kelompok ras dan etnis minoritas adalah kelompok yang paling terkena dampaknya karena “ketimpangan sosial yang sudah berlangsung lama dan seringkali berujung pada kesenjangan kesehatan.”

Para ahli menunjukkan berbagai alasan yang menyebabkan peningkatan ini, termasuk meningkatnya penyalahgunaan narkoba yang terkait dengan perilaku seksual berisiko, penurunan penggunaan kondom, kondisi sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung, dan berkurangnya layanan infeksi menular seksual (IMS) di tingkat negara bagian dan lokal.

“Karena IMS seringkali tidak menunjukkan gejala, dan skrining diperlukan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat waktu, perubahan dalam akses terhadap layanan kesehatan seksual dapat mempengaruhi jumlah infeksi yang didiagnosis dan dilaporkan,” kata CDC.

Stigma seputar IMS juga dapat menghalangi orang untuk mencari perawatan, dan “mengubur kebenaran bahwa semua orang berhak mendapatkan layanan kesehatan seksual yang berkualitas,” kata Laura Bachmann, penjabat direktur Divisi Pencegahan PMS di CDC, dalam sebuah wawancara dengan NPR.

“Hal ini juga dapat menyebabkan masalah di tingkat penyedia layanan ketika berbicara dengan orang-orang mengenai masalah ini.”

PMS yang dapat menyebabkan luka pada alat kelamin dan mulut didiagnosis di seluruh AS dengan tahun pelaporan terbaru pada tahun 2022.

Jumlah kasus dan tahun yang terlibat meningkat sebesar 17 persen dalam satu tahun dan melonjak sebesar 83 persen dibandingkan lima tahun lalu.

Secara keseluruhan, data menunjukkan 2,5 juta orang Amerika akan terkena PMS pada tahun 2022, tingkat yang sama seperti tahun lalu.

Sekretaris Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, Xavier Becerra menyebut angka-angka tersebut “tidak dapat diterima”.

“Pemerintahan Biden-Harris berkomitmen untuk mengatasi masalah mendesak ini dan menggunakan segala cara yang tersedia untuk menghilangkan kesenjangan dalam sistem layanan kesehatan kita,” katanya.*

HIDAYATULLAH

Dana Haji yang Dibayarkan Jamaah akan Digunakan untuk 5 Hal Berikut ini

Terdapat 7.376 calon jamaah haji Sumatra Utara melunasi biaya haji.

Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sumatra Utara (Sumut) mencatat 7.376 orang melunasi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) sebesar Rp51.145.139 per orang tahun ini.

“Nah sampai kemarin dari kuota itu, jemaah Sumatra Utara yang melunasi sudah 7.376 orang,” ucap Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Sumut Zulfan Efendi di Medan, Selasa.

Pihaknya menyatakan masa pelunasan untuk Embarkasi Medan telah dibuka sejak 10 Januari hingga 12 Februari 2024 dengan jumlah kuota haji Sumatra Utara tahun ini sebanyak 8.328 orang.

Besaran biaya perjalanan ibadah haji pada 2024 akan dipergunakan untuk biaya penerbangan haji, biaya akomodasi di Mekah, biaya akomodasi di Madinah, biaya hidup, dan visa.

Data Kanwil Kemenag Provinsi Sumatra Utara menyebut kuota haji pada 2024 sebanyak 8.328 orang terdiri atas jemaah 7.815 orang, lanjut usia 416, petugas haji daerah 66 orang, dan pembimbing kelompok bimbingan ibadah haji dan umrah 31 orang.

“Jadi kalau persentasenya dari kuota jamaah haji Sumatra Utara 8.328 orang itu, sekitar 88,57 persen sampai kemarin tahap pelunasan,” ungkap Zulfan.

Pihaknya juga mengungkapkan bahwa pelunasan tahap pertama tersebut kini telah diperpanjang dari 12 Februari 2024 menjadi 23 Februari mendatang.

Adapun perpanjang pelunasan tahap pertama itu diperuntukkan bagi jemaah haji Sumatera Utara masuk nomor porsi haji keberangkatan, dan prioritas lanjut usia bagi 33 kabupaten/kota di Sumut.

“Yang ketiga jemaah haji cadangan. Nah itulah pelunasan tahap pertama untuk mereka yang tiga kategori tadi,” tutur Zulfan mantan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.

sumber : Antara

Ibnu Firnas: Cendekiawan Muslim Asal Spanyol Cikal Bakal Penemu Pesawat Terbang

Seperti yang sudah diketahui jika Wright Bersaudara merupakan penemu pesawat terbang pertama, namun siapa sangka jika cikal bakal penemu pesawat terbang justru lahir dari dunia Islam. Iya, Abbas Abu al-Qasim bin Firnas ibn Wirdas al-Takurini atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Firnas lah ternyata yang mempopulerkan penemu mesin penerbangan pertama.

Sebelum menemukan mesin penerbangan, Ibnu Firnas mencoba terbang dengan bantuan kerangka bambu serta sayap yang terbuat dari sutra, kayu, dan bulu asli. Ia juga dikenal sebagai manusia pertama yang terbang.

Para sejarawan mengatakan saat usia Ibnu Firnas 60 sampai 70 tahun, ia melompat dari tebing gunung di Yaman yakni Jabal Al-Arus. Pada percobaannya tersebut, ia berhasil terbang selama 10 menit di angkasa kemudian jatuh dan terluka.

Pada saat itu Ibnu Firnas menyadari kesalahannya yakni ia tidak menghitung mekanisme pendaratan. Sehingga saat terbang di angkasa, ia tidak bisa menyeimbangkan penerbangan dan mendarat secara paksa.

Di sisa hidupnya, selama 12 tahun Ibnu Firnas baru menemukan jika pendaratan dilakukan dengan koordinasi antara ekor dan sayap. Setelah mengetahui hal itu, ia pun mempelajari bagaimana cara burung terbang dan mendarat.

Dari hasil penelitiannya tersebut, Ibnu Firnas mengklaim jika dirinya lah sebagai dalang teori penciptaan ornithopter yakni pesawat yang meniru burung dan terbang dengan mengepakkan sayap. Kemudian pada akhir abad ke-20, desain mesin terbangnya kemudian menjadi dasar teknik di dunia penerbangan.

Selain penemu mesin penerbangan dan orang pertama kali terbang, Ibnu Firnas juga merupakan orang pertama yang berhasil terbang dengan mesin lebih berat. Sedangkan eksperimen terbang pertama yang dilakukan oleh dua filsuf asal China yakni Mozi dan Lu Ban pada abad ke-5 namun terbang dengan benda disebut sebagai penemu layang-layang.

Lahir dan Wafat

Abbas Ibn Firnas sendiri lahir pada tahun 810 di Izn-Rand-Onda di Andalusia. Sekarang daerah tersebut bernama Ronda yang terletak di Spanyol.

Ibnu Firnas meninggal pada tahun 890-895 Masehi. Para ahli sejarawan turut mengatakan jika cedera pada Ibnu Firnas saat mencoba terbang mungkin menjadi salah satu penyebab ia meninggal dunia.

Karya

Bukan hanya sebagai penemu, Ibnu Firnas juga merupakan polimatik Andalusia yakni seorang penemu, fisikawan, kimiawan, teknisi, musisi dan seorang penyair berbahasa Arab.

Selain menemukan cikal bakal pesawat terbang, Ibnu Firnas juga mempunyai karya besar lainnya di dunia sains dan teknologi bahkan di dunia astronomi. Berikut ini beberapa karya dari Abbas Ibn Firnas.

  1. Pelopor Kacamata Andalusia

Ibnu Firnas juga turut berjasa bagi para tunanetra, pasalnya ia merupakan pelopor di balik penciptaan kacamata Andalusia yang sangat terkenal itu. Dengan penemuannya tersebut, para tunanetra pun bisa merasakan manfaatnya. Selain itu, ia juga termasuk pembuat lensa untuk membantu membaca.

  1. Menemukan Jam Bertenaga Air

Ketertarikan Ibnu Firnas di dunia sains dan teknologi juga mengantarkannya menemukan jam bertenaga air. Hasil karyanya tersebut yang berhasil membuat jam bertenaga air kemudian disebut sebagai Al-Maqata.

  1. Membuat Kaca dari Batu dan Pasir

Penemuan jenius lainnya dari Ibnu Firnas adalah berhasil membuat kaca dari batu dan pasir. Dari penemuannya tersebut, ilmuwan muslim itu berhasil membuat sejarawan terkejut dan memujinya.

  1. Membuat Sebuah Rantai Cincin yang Menggambarkan Pergerakan Planet

Di dunia astronomi, Ibnu Firnas juga turut menyumbangkan penemuannya. Ia berhasil membuat sebuah rantai cincin yang menggambarkan pergerakan planet. Tak cuma itu saja, ia juga berhasil mempelajari gravitasi serta menentukan dasar pembuatan pesawat luar angkasa.

Penghargaan

Menurut para sejarawan, Ibnu Firnas berhasil menyelesaikan penemuan-penemuannya tersebut setelah mengalami kecelakaan saat uji coba terbang yang membuatnya lumpuh. Keterbatasan yang ia alami tak menyurutkan kegigihannya dalam menemukan penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi umat manusia.

Terbukti, Ibnu Firnas berhasil menyumbangkan banyak hal untuk kemajuan ilmu pengetahuan manusia saat ini. Maka tak heran jika nama dan sosoknya senantiasa dikenang. Sebagai bentuk penghargaan, di beberapa negara terutama di negara-negara mayoritas muslim, nama Ibnu Firnas dijadikan nama bandara, jembatan, bukit, taman, hingga badan ilmiah.

Salah satunya adalah jembatan di atas sungai Guadalquivir di Cordoba, Spanyol, juga dinamai sesuai namanya. Bahkan di dekat Bandara Baghdad terdapat patung Ibnu Firnas. Itulah sedikit riwayat Ibnu Firnas, cendekiawan muslim asal Spanyol sekaligus orang pertama kali penemu cikal bakal pesawat terbang. Wallahu ‘alam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Pesan Nabi untuk Pemuda yang Sedang Jatuh Cinta

Rasa cinta yang tumbuh pada laki-laki terhadap perempuan merupakan hal yang wajar. Ketika dua insan saling cinta rasanya dunia hanya milik mereka berdua, begitulah ungkapan para pemabuk cinta. Nah berikut pesan Nabi untuk pemuda yang sedang jatuh cinta.

Cinta juga ibarat obat dari dokter, ia akan menjadi penyembuh bagi orang yang terkena penyakit senyampang mengikuti aturan dan petunjuk dokter. Namun ada saatnya, obat akan menjadi racun ketika digunakan dengan berlebihan. 

Demikian juga cinta ia harus disikapi dengan bijak sesuai aturan. Nah berikut ini pesan Nabi Saw kepada pemuda yang sedang jatuh cinta.

Dalam literatur Islam dijumpai beberapa keterangan bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta, memiliki beberapa tanda. Hal ini telah sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya Raudlatul Muhibbin sebagai berikut:   

Pertama, seseorang yang sedang jatuh cinta ia akan ketagihan dan tidak pernah merasa bosan memandang seseorang yang dicintainya. Sebagaimana perkataan seorang penyair berikut:

ومن عجب أني أحِنُّ إليهمُ # وأسأل عنهم من لقيتُ وهم معي

وتطلبهم عيني وهم في سوادها # ويشتاقهم قلبي وهم بين أضلعي

Sungguh ajaib betapa ingatanku kepadanya terus tertuju

Kutanya tentang dia pada siapa pun padahal dia bersamaku

Mataku selalu mencari padahal dia melekat di hitam mataku

Dan hatiku merindunya sementara dia di antara tulang rusukku

Kedua, banyak mengingat dan menyebut nama kekasihnya baik ketika suka maupun duka. Seorang penyair berkata:

من أحب شيئًا أكثر من ذكره

Artinya:“Barangsiapa mencintai suatu hal maka ia akan banyak menyebutnya”.

Ketiga, lebih mengutamakan kemauan sang kekasih dari pada kepentingan dirinya sendiri. Seorang penyair berkata:

ما أحسن الصبر وأمَّا على # أن لا أرى وجهك يومًا فلا

لو أنَّ يومًا منك أو ساعةً # تُباعُ بالدُّنيا إذًا ما غلا

Betapa indahnya sebuah kesabaran karena aku

tak sanggup untuk tidak melihat wajahmu

Apabila satu hari atau satu detik bersama dirimu 

harus ditukar dengan dunia tentulah dirimu lebih mahal harganya.

Perihal pesan Nabi Saw untuk pemuda yang sedang jatuh cinta, dalam kitab Mukhtarul hadits tepatnya pada hadits ke 46 dijelaskan, bahwa Nabi Saw berpesan agar mencintai seseorang dengan ala kadarnya saja, jangan terlalu berlebihan. Karena bisa jadi seseorang yang amat kita cinta sekarang, suatu saat akan menjadi seseorang yang amat kita benci.

Penjelasan lebih lengkapnya sebagai berikut:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وأَبْغَضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

Artinya:“Cintailah sahabat dekatmu sesederhana mungkin, barangkali satu hari nanti ia menjadi orang yang kamu benci dan bencilah dengan benci sesederhana mungkin karena siapa tahu suatu hari nanti ia akan menjadi sahabat dekatmu”. (HR.Tirmidzi)

Sabda Nabi Saw diatas mengajarkan kita agar tidak mencintai dan membenci seseorang dengan berlebihan dalam artian kita harus bersikap moderat. Sebagaimana firman Allah Swt berikut: 

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikianlah kami menjadikan kalian umat yang moderat“. [QS. Al-Baqarah :143]

Demikian penjelasan tentang pesan Nabi saw untuk pemuda yang sedang jatuh cinta. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Hukum Ghasab dalam Islam

Dalam Islam, kepemilikan harta dan hak individu sangat dijunjung tinggi. Mengambil hak milik orang lain tanpa izin, yang dikenal dengan istilah ghasab, merupakan perbuatan yang dilarang dan memiliki konsekuensi serius. Artikel ini akan membahas tentang pengertian ghasab, hukum ghasab dalam Islam, dan langkah-langkah yang harus diambil ketika terjadi ghasab.

Secara bahasa, ghasab berarti “merampas” atau “mengambil secara paksa.” Sedangkan menurut istilah syara’, ghasab adalah menguasai, menggunakan, atau mengambil manfaat dari harta orang lain secara zalim dan tanpa izin. Ghasab bisa terjadi pada benda apapun, baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, seperti tanah, kendaraan, uang, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Ibnu Muflih al Hanbali, dalam kitab al-Mubdi’u Syarh al-Muqni’, Jilid V, [Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 2007] halaman 19 bahwa tindakan ghasab ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengambil harta orang lain tanpa izin, memaksa seseorang untuk menyerahkan haknya, atau menggunakan kekuasaan untuk menguasai hak orang lain.

Untuk itu, pelaku ghasab wajib mengganti dan mengembalikan barang yang dighasabnya. Jika pelakunya membangun di atas tanahnya, maka dia wajib mengembalikannya kecuali jika sudah rusak. Jika pelakunya memaku pintu dengan paku, maka dia wajib mencabutnya dan mengembalikannya.

فصل ويلزمه رد المغصوب إن قدر على رده ، وإن غرم عليه أضعاف قيمته ، وإن خلطه بما يتميز منه لزمه تخليصه ورده ، وإن بنى عليه لزمه رده إلا أن يكون قد بلي ، وإن سمر بالمسامير بابا لزمه قلعها وردها ، وإن زرع الأرض وردها بعد أخذ الزرع فعليه أجرتها ، وإن أدركها ربها والزرع قائم خير بين تركه إلى الحصاد بأجرته وبين أخذه بعوضه ، وهل ذلك قيمته أو نفقته ؛ على وجهين ، ويحتمل أن يكون الزرع للغاصب وعليه الأجرة ، وإن غرسها أو بنى فيها أخذ بقلع غرسه وبنائه ، وتسوية الأرض ، وأرش نقصها ، وأجرتها

Artinya; Dan wajib baginya mengembalikan barang yang dirampas jika dia mampu mengembalikannya, meskipun dia harus membayar ganti rugi berkali lipat dari nilainya. Jika dia mencampurkannya dengan barang lain yang dapat dibedakan, maka dia wajib memisahkannya dan mengembalikannya. Jika dia membangun di atasnya, maka dia wajib mengembalikannya kecuali jika sudah rusak.

Jika dia memaku pintu dengan paku, maka dia wajib mencabutnya dan mengembalikannya. Jika dia menanami tanah tersebut dan mengembalikannya setelah mengambil hasil panen, maka dia wajib membayar sewanya. Jika pemiliknya menemukannya dan hasil panen masih ada, maka dia memiliki pilihan antara meninggalkannya sampai panen dengan membayar sewanya atau mengambilnya dengan ganti rugi.

Apakah ganti rugi tersebut berupa nilainya atau biayanya? Ada dua pendapat. Ada kemungkinan bahwa hasil panen milik si perampas dan dia harus membayar sewanya. Jika dia menanam atau membangun di dalamnya, maka dia harus membayar untuk mencabut tanaman atau bangunannya, meratakan tanah, mengganti biaya kerusakannya, dan membayar sewanya. [Ibnu Muflih al Hanbali, _al-Mubdi’u Syarh al-Muqni’, Jilid V, [Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 2007] halaman 19]

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab, Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Jilid II, [Beirut; Dar Ihya at Turats al-Arabi, tt] halaman 470, ghasab adalah tindakan menguasai hak orang lain, baik berupa harta maupun hak istimewa, secara melanggar hukum atau paksaan.

Tindakan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengambil harta orang lain tanpa izin, memaksa seseorang untuk menyerahkan haknya, atau menggunakan kekuasaan untuk menguasai hak orang lain.

( كتاب الغصب ) ( هو ) لغة أخذ الشيء ظلما وقيل بشرط المجاهرة وشرعا ( الاستيلاء ) ويرجع فيه للعرف كما يتضح بالأمثلة الآتية وليس منه منع المالك من سقي ماشيته أو غرسه حتى تلف فلا ضمان ، ( على حق الغير ) ، ولو خمرا وكلبا محترمين وسائر الحقوق والاختصاصات كحق متحجر وكإقامة من قعد بسوق أو مسجد

Artinya; Kitab al-Ghasab. Definisi secara bahasa, (ghaṣab) berarti mengambil sesuatu secara zalim. Ada juga yang mengatakan bahwa ghaṣab harus dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan secara syar’i, ghaṣab berarti “penguasaan”. Dalam hal ini, penentuan apakah suatu perbuatan termasuk ghaṣab atau tidak harus dikembalikan kepada adat kebiasaan setempat, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam contoh-contoh berikut. [Pada hak orang lain), meskipun itu adalah minuman keras atau anjing yang diharamkan.

Selain itu, ghasab juga dapat dilakukan terhadap hak-hak dan keistimewaan orang lain, seperti hak atas tanah yang sudah diuruk dan hak untuk duduk di pasar atau masjid. [Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab, Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Jilid II, [Beirut; Dar Ihya at Turats al-Arabi, tt] halaman 470].

Demikian penjelasan terkait hukum ghasab dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa

Derita yang dialami saudara-saudara kita di Palestina saat ini sungguh sangat memilukan. Sebagai seorang muslim, semestinya kita juga ikut berempati secara mendalam atas ujian berat yang mereka alami. Empati dapat kita wujudkan dengan bantuan materiil berupa donasi dan imateriel berupa doa-doa yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah Ta’ala untuk mereka.

Berkaca dari tragedi yang –qadarullah- hingga kini masih belum berujung tersebut, menjadi penting pula bagi kita untuk muhasabah diri. Betapa besar karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita, berupa keamanan bangsa dan negara, di mana penghuninya merupakan manusia-manusia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun, dengan kasih sayang Allah Ta’ala, semua dapat menyatu dalam satu kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Menghadapi ancaman perpecahan

Kini, kita sedang dihadapkan dalam sebuah kontestasi politik yang sarat akan potensi perpecahan. Disadari atau tidak, perbedaan sudut pandang dalam berpolitik telah banyak menjadikan saudara sekandung saling bermusuhan, keluarga semula bahagia menjadi berantakan, dan konflik sosial yang tak berkesudahan hanya karena beda pilihan.

Sungguh, suatu perkara yang sangat kecil yang tidak layak menjadi alasan kita untuk saling bermusuhan. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa persaudaraan itu merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih persaudaraan sesama muslim yang tak pernah putus selama orang tersebut masih merupakan muslim yang beriman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling tanahusy (menyakiti dalam jual beli)! Janganlah saling benci!  Janganlah saling membelakangi (mendiamkan)! Dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya! Jadilah hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini -beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)

Nikmat keamanan bangsa

Saudaraku, kenikmatan berupa keamanan bangsa ini semestinya kita syukuri dengan cara menjaganya agar senantiasa dalam koridor ketentuan syar’i. Hadis di atas jelas menuntun kita untuk bersatu dan saling menjaga kerukunan satu sama lain, serta saling menghormati. Demikianlah, wujud konkret dari rasa syukur tersebut. Karena, semakin kita pandai bersyukur atas segala nikmat tersebut, maka Allah Ta’ala pun akan semakin menambah karunia-Nya kepada kita.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 07)

Saudaraku, perhatikanlah! Ayat di atas semakin menegaskan bahwa syukur merupakan syarat mutlak ditambahkannya rezeki untuk kita. Rezeki yang tak semua umat dapat memperolehnya. Rezeki yang diimpi-impikan oleh saudara-saudara kita muslimin yang tertindas di negeri Palestina, Syiria, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Rezeki itu berupa keamanan bangsa dan negara. Jauh dari konflik sosial yang berkepanjangan, serta mendapatkan kesempatan untuk terus berkembang.

Sebaliknya, kufur akan mendatangkan azab Allah yang sungguh amat berat. Kita telah melalui berbagai musibah penjajahan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Mendengar dan membaca sejarah yang ada, sungguh zaman di mana mayoritas usia produktif benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah, masa depan terasa suram, dan nyawa tak penting untuk dipertimbangkan.

Namun, alhamdulillah, semua penderitaan tersebut berakhir dengan kemerdekaan. Sebuah karunia yang tak ternilai yang kadangkala baru akan terasa apabila seseorang dihadapkan kembali pada musibah yang mengancam kemerdekaan dan kebebasannya.

Karunia Allah yang disyukuri

Dalam konteks karunia Allah berupa keamanan bangsa, kita jangan pernah luput untuk bersyukur. Jangan pernah pula mencoba untuk memancing datangnya murka Allah Ta’ala dengan berlaku kufur.

Saling mengompori dengan sengaja untuk memecah belah umat, menjadi contoh sikap yang benar-benar menunjukkan kekufuran yang dapat mengundang azab Allah Ta’ala. Janganlah karena perbedaan pandangan -khususnya pandangan politik saat ini- di antara kita, kemudian menjadikan alasan tersebut sebagai dalil pembenaran untuk saling mencaci, memfitnah, menzalimi satu sama lain, bahkan berujung pada kematian tanpa hak. Wal’iyadzu billah.

Marilah sejenak merenung. Kita hidup di sebuah negara yang sangat heterogen. Berbagai kepercayaan dan dogma diakui di negeri ini. Beribu bahasa, ratusan suku bangsa, dan beragam ideologi politik, sosial dan ekonomi senantiasa eksis di tengah-tengah kehidupan kita. Hal itu pun telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada konflik sosial yang permanen yang bertahan lama hanya karena perbedaan tersebut.

Nyatanya, sejak era nenek moyang kita dahulu hingga pada zaman yang penuh dengan fitnah ini, kita masih mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala berupa rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu dapat terjaga baik. Ingat, semua karunia ini ada atas kehendak dan izin dari Allah Ta’ala.

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 3)

Merindukan pemimpin yang adil?

Memang, kita masih merindukan dan mengharapkan bangsa yang kaya akan karunia Allah Ta’ala. Dari limpahan kekayaan sumber daya alam ini, rakyatnya jauh lebih sejahtera. Kita menginginkan pemimpin yang adil, yang taat, yang berpegang teguh pada syariat Allah Ta’ala.

Namun, jangan lupa, kita pun tidak boleh luput dari kesadaran bahwa upaya mewujudkan seorang pemimpin dengan kriteria ideal tersebut hanya akan terwujud apabila masing-masing individu umat memprioritaskan pendidikan, pengasuhan, dan pengajaran keluarga untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Serta memperdalam ilmu agama sebagai bekal akhirat, menjadi prioritas utama. Dengan demikian, dari individu keluarga yang telah terdidik secara Islam tersebut, barulah kemudian lahir seorang pemimpin yang adil.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم

Di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2: 177-178)

Sibukkan diri dengan menuntut ilmu

Orang yang memahami bagaimana sesungguhnya sikap terbaik dalam menghadapi suatu persoalan cenderung akan lebih tenang dalam bersikap dan bertutur kata. Tidak terkecuali terhadap persoalan potensi perpecahan di masa-masa yang sarat akan potensi perpecahan seperti saat pemilihan umum saat ini.

Pemahaman yang dimaksud tentu saja merujuk pada bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya membimbing kita dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Terkhusus dalam menentukan sikap dalam menghadapi dinamika hubungan sosial masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat keamanan bangsa. Maka, sungguh kita telah dituntun untuk menentukan sikap yang benar.

Seorang muslim, tentunya akan berupaya untuk mencari jalan terbaik dalam menentukan langkah. Terhadap situasi Pemilu seperti ini, kita merujuk pada hasil ijtihad para alim ulama di mana kita boleh memilih dengan pertimbangan maslahat dan mudarat. Selengkapnya terkait fatwa-fatwa ulama dalam memberikan suara dalam pemilu dapat diakses disini (https://muslim.or.id/20605-fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html).

Sekali lagi, semakin kita mendorong diri untuk memperdalam ilmu agama, maka semakin tenang pula diri kita dalam menyikapi segala problematika kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan antar sesama dengan menghindari segala potensi konflik sebagai bukti konkret rasa syukur kita terhadap karunia keamanan bangsa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan bagi negeri kita tercinta ini berupa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,

رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ

Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 126)

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/91646-menysukuri-nikmat-keamanan-bangsa.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

MUI Tegaskan Haram Memberi dan Menerima ‘Serangan Fajar’

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa memberi dan menerima ‘serangan fajar’ hukumnya haram.

“Serangan fajar” yang dimaksud adalah politik uang yang memang diketahui santer terjadi pada masa-masa menjelang Pemilu.

Sehari jelang Pemilu pada Rabu (14/2/2024), MUI pun mengingatkan masyarakat agar mewaspadai adanya politik uang atau ‘serangan fajar’ tersebut.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.

“Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram,” jelasnya dikutip dari MUI Digital, Selasa (13/2/2024).

Prof Niam menegaskan, praktik yang dikenal dengan serangan fajar itu hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.

Prof Niam mengungungkapkan, para pelaku dan penerima serangan fajar juga tidak hidupnya berkah.

Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menjelaskan, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi.

Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.

“Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shiddiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya,” ujar Prof Niam dalam keterangannya pada sela-sela Rapat Pimpinan Harian rutin MUI di Aula Buya Hamka, Jakarta.

Prof Niam menambahkan, dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi.

Ia pun menyampaikan, MUI telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.

Penetapan fatwa itu dilakukan pada Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tahun 2018.

Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:

  1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
  2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
  3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
  4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.* (SKR)

HIDAYATULLAH